Ilustrasi pemulihan aliran listrik.
Energi

Kadin: Industri Serap 43 Persen Kebutuhan Listrik, Investasi Harus Digeber

  • Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 telah disahkan dengan visi mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Hingga tahun 2060, sektor industri bakal membutuhkan 774 TWh atau sekitar 43% dari total kebutuhan listrik nasional sebesar sekitar 1.813 TWh pada tahun 2060.

Energi

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 telah disahkan dengan visi mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Hingga tahun 2060, sektor industri bakal membutuhkan 774 TWh atau sekitar 43% dari total kebutuhan listrik nasional sebesar sekitar 1.813 TWh pada tahun 2060. 

Wakil Ketua Umum Bidang ESDM Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Aryo Djojohadikusumo , mengatakan berbagai langkah strategis sangat diperlukan untuk memastikan ketersediaan energi listrik yang cukup, andal, dan berkelanjutan. “Pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan memegang peranan kunci dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%,” kata Aryo di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024. 

Pernyataan Aryo menanggapi terbitnya RUKN 2024-2060 yang merupakan pembaruan dari dokumen serupa periode 2019-2038. Dokumen ini disusun untuk menjawab tantangan kebutuhan listrik nasional yang terus meningkat. 

Proyeksi kebutuhan energi listrik menunjukkan lonjakan signifikan dari 482 TWh pada 2024 menjadi 1.813 TWh pada 2060 dengan rata-rata pertumbuhan kebutuhan listrik 3,8% per tahun. Konsumsi listrik per kapita juga diprediksi meningkat hingga lebih dari 5.000 kWh per tahun. 

Menurut Aryo, listrik bukan hanya kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga fondasi utama bagi sektor industri, pariwisata, dan infrastruktur lainnya. Target 8% pertumbuhan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa investasi besar-besaran pada sektor ini. 

Guna mencapai visi itu, Aryo menitikberatkan pada kolaborasi pemerintah dan swasta. Dia menyebut peran sektor swasta krusial dalam pencapaian target RUKN. “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan investasi tahunan sekitar US$30 miliar untuk mengembangkan pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik. Oleh karena itu, kemitraan dengan pihak swasta menjadi kebutuhan yang mendesak,” jelasnya.

Kolaborasi Jadi Prioritas

Kolaborasi antara Pemerintah dan Sektor Swasta dinilai menjadi langkah prioritas dan menjadi solusi strategis untuk menjembatani kebutuhan investasi yang besar di sektor ketenagalistrikan. 

Berbagai model kolaborasi yang ditawarkan dinilai memberikan fleksibilitas bagi pemerintah dan sektor swasta untuk saling berbagi risiko, tanggung jawab, dan keuntungan dengan cara yang lebih sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak.

“Dalam kolaborasi dengan swasta, pemerintah dapat memberikan jaminan proyek atau insentif fiskal, sementara sektor swasta menyediakan pembiayaan dan keahlian teknis,” tambah Aryo. 

Aryo menjelaskan, pemerintah perlu memanfaatkan peluang kolaborasi dengan swasta, guna mendanai proyek-proyek besar seperti pembangunan pembangkit berbasis energi terbarukan, supergrid antarpulau, serta infrastruktur transmisi dan distribusi listrik di wilayah terpencil.  Skema kolaborasi juga membuka peluang diversifikasi investasi. 

Dengan mekanisme ini, perusahaan swasta tidak hanya berinvestasi dalam pembangunan pembangkit listrik, tetapi juga di sektor pendukung seperti smart grid dan pengisian kendaraan listrik. 

Hal ini memberikan dampak positif pada peningkatan efisiensi jaringan listrik nasional sekaligus mendukung target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. “Dengan pembagian peran yang jelas, pembangunan infrastruktur listrik dapat lebih cepat terealisasi, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal),” imbuhnya.

Ketua Komite Tetap Rencana Strategis dan Kelembagaan Bidang ESDM Kadin Indonesia, M. Maulana menambahkan, salah satu prioritas dalam RUKN adalah transisi menuju energi bersih. Pada tahun 2060, sekitar 73,6% dari bauran energi nasional diharapkan berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT). 

Maulana menekankan pengembangan pembangkit berbasis EBT seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi tidak hanya penting untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga untuk menjamin keberlanjutan pasokan energi di Tanah Air. 

“Transisi energi harus dilakukan secara bertahap dan terukur. Teknologi rendah karbon, seperti Carbon Capture and Storage (CCS), serta pengembangan pembangkit yang fleksibel menjadi bagian dari solusi untuk memastikan transisi ini berjalan lancar,” terangnya.

Baca Juga: Bahlil Janjikan Pembangkit Nuklir Siap Beroperasi di 2032

Selain penambahan kapasitas pembangkit, pengembangan supergrid menjadi langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi distribusi listrik di seluruh Indonesia. Dalam rumusan RUKN, proyek interkoneksi antarpulau seperti Sumatera-Jawa, Jawa-Bali, dan Bali-Nusa Tenggara akan memperkuat konektivitas energi sekaligus memastikan pemerataan pasokan listrik hingga ke daerah-daerah terpencil. 

Lebih lanjut Maulana menyampaikan konektivitas listrik yang lebih baik tidak hanya menjamin kebutuhan domestik, tetapi juga mendukung daya saing kawasan industri dan pariwisata. “Kawasan seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara akan mendapatkan manfaat besar dari jaringan listrik yang lebih andal,” kata dia. 

Meskipun memiliki potensi besar, implementasi RUKN tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah kebutuhan akan regulasi yang mendukung partisipasi sektor swasta. Di sisi lain, pendanaan proyek besar-besaran juga harus diupayakan agar tidak membebani anggaran negara.  “Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang mendukung investasi, seperti penyederhanaan perizinan dan jaminan kepastian hukum,” tutur Maulana. 

Dengan visi besar yang dimiliki RUKN, Indonesia diharapkan tidak hanya memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga menjadi salah satu negara dengan ekonomi hijau yang kompetitif di tingkat global. “Kolaborasi antara pemerintah dan swasta adalah jembatan utama menuju masa depan ketenagalistrikan yang lebih baik,” pungkasnya.