Kadin Tolak Kenaikan Tarif Pelabuhan Tanjung Priok Hingga 39 Persen
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menyatakan kenaikan tarif di Pelabuhan Tanjung Priok bakal menghambat upaya pemerintah menurunkan biaya logistik nasional.
Industri
JAKARTA – Keputusan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau Pelindo II menaikkan berbagai tarif di Pelabuhan Tanjung Priok, DKI Jakarta, menuai protes dari kalangan pengusaha.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan Rico Rustombi mengungkap ketentuan ini bakal menghambat upaya pemerintah menurunkan biaya logistik nasional.
Padahal, kata Rico, pemerintah tengah mengupayakan penurunan biaya logistik nasional dari 23,5% menjadi 17% pada 2024. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
“Dengan kenaikan sejumlah pos tarif hingga 39% dibandingkan tarif lama, ini akan berdampak langsung pada peningkatan biaya logistik,” ujar Rico dalam konferensi pers, Selasa 13 April 2021.
Sebelumnya, Pelindo II melalui Surat Edaran HM.608/1/12/JICT-2021 memutuskan menaikan sejumlah pos tarif hingga 39%. Misalnya pelayanan jasa penumpukan dan petikemas ekspor dan impor untuk petikemas isi 20” yang membengkak 58% dari Rp17.500 per box per hari menjadi Rp42.500 per box per hari.
Tidak hanya itu, kenaikkan tarif di pelabuhan berdampak pada sejumlah industri lainnya. Pasalnya, terjadi penyesuaian tarif di hulu logistik yang membuat industri lain ikut terdampak. Sektor industri hingga kegiatan ekspor impor, sambung Rico, bakal merasakan dampak negatif dari ketentuan baru ini.
“Kenaikan biaya tersebut dapat berdampak pada peningkatan biaya bahan baku industri, peningkatan harga jual barang jadi, dan penurunan daya saing industri nasional secara umum,” jelas Rico.
Kebijakan ini dinilai kontraproduktif dengan rencana pengembangan ekosistem logistik nasional atau National Logistic Ecosystem (NLE). NLE adalah proyek integrasi data kegiatan angkut logistik di jalur darat, udara, dan pelabuhan.
NLE ini akan menghimpun data yang mencatat rencana kedatangan sarana pengangkut (RKSP) yang memuat barang niaga yang diangkut (outward manifest) atau didatangkan (inward manifest).
Proyek ini telah diluncurkan di Batam dan bakal merambah daerah-daerah lainnya. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap, NLE merupakan program strategis dalam menghidupkan investasi di Indonesia.
“Kita semua pengen Indonesia bersaing, negara di seberang kita (Singapura) itu bisa 8 persen dan kita 23,5 persen. Itu kan cost, jadi coba kita tekan dengan NLE ini,” kata Luhut dalam peluncuran Batam Logistic Ecosystem (BLE) beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, biaya logistik terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia memang tercatat tertinggi di Asia. Biaya yang harus dikeluarkan pelaku perdagangan mencapai 23,5% dari PDB. Indonesia tertinggal, bahkan di kawasan Asia Tenggara.
Indonesia bersanding dengan Vietnam yang masih mencatatkan biaya logistik per PDB lebih dari 20%. Sementara itu, biaya logistik per PDB di Malaysia, Thailand, dan Singapura masing-masing mencapai 13%, 15%, dan 8%. (LRD)