Kala “Wakil Tuhan” Menuntut Kenaikan Gaji
- Di tengah buruknya kinerja lembaga peradilan, Solidaritas Hakim Indonesia menuntut kenaikan gaji 242%. Sah-sah saja. Tapi, mengingat masih banyak hakim yang aktif bermain mata dengan koruptor, tuntutan itu harus diimbangi perbaikan sistem, pembinaan dan pengawasan.
Kolom
Wakil Tuhan. Satu-satunya profesi di dunia yang berhak menyandang predikat sangat mentereng sekaligus maha berat itu hanya hakim. Ini membawa konsekuensi hakim wajib menjaga marwahnya sebagai harga mati, tak bisa ditawar. Sedikit saja dia mengurangi standar etika dan moral, kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan runtuh.
Sayangnya perhatian pemerintah terhadap korps pengadil sangat kurang. Sudah 12 tahun hakim tak mendapat kenaikan gaji pokok –termasuk inflasi tahunan- dan tunjangan. Agar negara sudi memperbaiki kesejahteraan hakim, pada 4 Oktober lalu 1.748 hakim—sekitar 22% dari total hakim, sepakat melakukan aksi cuti bersama selama sepekan. Mereka menuntut pemerintah memperbaiki kesejahteraan hakim.
Saat ini, para hakim tingkat pratama yang telah bekerja delapan tahun, rata-rata menerima upah antara Rp12 juta sampai Rp14 juta setiap bulan. Banyak hakim menganggap angka itu tidak layak. Terutama bagi hakim yang bertugas di daerah terpencil, jauh dari domisili asalnya. Mereka harus menyewa tempat tinggal dan ongkos pergi-pulang dari kampung halaman ke tempat bertugas.
Singkat kata, seorang hakim bisa mendapatkan gaji Rp 126 juta hingga Rp 542 juta per tahun –tergantung masa kerja dan golongan. Angka ini belum ditambah honorarium dari setiap perkara yang diadili. Melalui gerakan Solidaritas Hakim Indonesia, mereka menuntut presiden merevisi PP 94/2012 dan memperbaiki gaji serta tunjangan hakim.
Merujuk perhitungan inflasi, mereka menyebut gaji pokok ideal hakim untuk tahun 2024-2034 harus meningkat 242% dari gaji pokok tahun 2012. Persentase yang sama, juga mereka tuntut pada penyesuaian tunjangan jabatan hakim.
Mereka meminta pula hak keuangan dan fasilitas hakim ditilik setiap lima tahun “agar relevan dengan kondisi ekonomi dan biaya hidup yang berkembang”.
Tuntutan itu tak mengada-ada. Upah yang kurang di tengah tingginya beban kerja juga mempengaruhi kesehatan hakim. Sepanjang 1 Januari -12 Juli 2021 ada 55 hakim yang meninggal di berbagai wilayah Indonesia. Dari jumlah itu, 16 diantaranya wafat akibat mengidap Covid-19.
Tak sedikit pula hakim yang meninggal akibat beban perkara yang ditangani. Bayangkan di sebuah Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan yang hanya memiliki tiga hakim, ada 840 perkara yang harus ditangani.
Di tengah hidup yang prihatin dan penghasilan yang minim tak jarang mereka digoda integritasnya oleh pencari keadilan. Seorang hakim bercerita pihaknya pernah didatangi oleh seorang pejabat yang mengiming-imingi uang Rp7 miliar. Tujuannya apa lagi kalau bukan agar hakim memberi keputusan yang menguntungkan si pejabat.
Mahkamah Agung Sangat Sayang Koruptor
Kisah suap menyuap memang seolah sudah menyatu dengan profesi hakim. Sepanjang Januari-April 2024 Komisi Yudisial (KY) menerima 267 laporan dan 197 tembusan terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dari ratusan laporan tersebut, KY mengusulkan penjatuhan sanksi kepada 33 hakim setelah dinyatakan terbukti melanggar KEPPH.
Sebanyak 17 orang hakim diusulkan sanksi ringan, 5 orang hakim diusulkan sanksi sedang, dan 8 orang hakim diusulkan sanksi berat. Sementara 3 orang hakim tidak bisa diberikan usul penjatuhan sanksi karena laporan tersebut sudah terlebih dahulu dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung (MA).
Jenis pelanggaran KEPPH yang paling banyak dilakukan adalah bersikap tidak profesional (14 orang hakim). Selebihnya, menunjukkan keberpihakan kepada pihak berperkara (5 orang), menerima suap atau gratifikasi (4 orang), perselingkuhan (3 orang), kepemilikan senjata api tanpa izin (1 orang), menelantarkan istri dan anak (1 orang), tidak membayar kewajiban utang (1 orang) dan berperilaku tidak pantas (1 orang).
Dari berbagai pelanggaran KEPPH, KY mengusulkan 5 orang hakim dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian. Usul ini telah dibawa ke Majelis Kehormatan Hakim.
Ada pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, dalam rentang tahun 2010-2022 terdapat 21 hakim yang terjerat kasus suap dan korupsi.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir juga banyak hakim di Mahkamah Agung (MA) yang tidak menjaga marwahnya. Meski mendapat tunjangan bulanan Rp72,8 juta, mereka sangat sayang dengan koruptor. Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2023, rata-rata vonis pengadilan bagi penggangsir uang rakyat hanya 3 tahun 4 bulan.
Sudah begitu, “benteng peradilan terakhir” juga sering kebobolan. MA getol mengobral diskon pemotongan masa hukuman melalui proses Peninjauan Kembali (PK). Masih berdasarkan data tren vonis ICW, pada tahun 2021 tercatat ada 15 terpidana korupsi yang dikurangi hukumannya melalui upaya hukum luar biasa tersebut.
MA juga berkontribusi terhadap pembebasan bersyarat 23 napi korupsi beberapa waktu lalu. Melalui uji materil Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, MA justru membatalkan regulasi yang secara ketat mengatur syarat pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat, untuk terpidana kasus korupsi.
Sangat disayangkan, sungguh. Padahal MA sempat punya hakim yang berintegritas dan sangat ditakuti koruptor. Dia adalah Artidjo Alkostar yang tak segan menambah masa hukuman bagi koruptor yang mendapat vonis ringan di pengadilan tingkat I dan banding. Saat itu tak satu pun koruptor berani mengajukan kasasi. Tapi sejak Artidjo pensiun, mereka ramai-ramai mengajukan kasasi dan PK. Hasilnya: wow, semuanya dapat bonus korting masa hukuman.
ICW sendiri membagi vonis hukuman penjara menjadi tiga, yakni ringan (di bawah 4 tahun), sedang (di atas 4 tahun, di bawah 10 tahun), dan berat (di atas 10 tahun). Data ICW menunjukkan bahwa pengadilan masih lebih sering mengganjar terdakwa dengan vonis ringan yaitu sebanyak 615 putusan.
Sedangkan tahun 2023 ada 1.718 terdakwa korupsi yang menghasilkan kerugian negara Rp56 triliun. Dari koruptor sebanyak itu, hanya 10 terdakwa yang ketiban vonis berat.
Lebih parah lagi, di tahun yang sama ada 59 terdakwa yang diputus bebas atau lepas. Bebas berarti terdakwa dinyatakan tidak terbukti. Sedangkan lepas artinya hakim berpendapat perbuatan terdakwa bukan tindak pidana.
Menunggu Sanksi Bagi Hakim yang Menguntungkan Kaesang
Terlepas dari masih banyak hakim yang busuk, tuntutan dari Solidaritas Hakim Indonesia mendapat sambutan positif dari pemerintah. Kementerian PANRB telah mengusulkan gaji pokok hakim naik sebesar 8-15 persen, tunjangan bertambah 45-70 persen, uang pensiun terdongkrak 8-15 persen dari gaji pokok, dan tunjangan kemahalan terkerek 36,03 persen sesuai dengan inflasi sejak 2013-2021.
Presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan dilantik tanggal 20 Oktober juga menanggapi positif tuntutan dari komunitas “yang mulia”. Ia sepakat yudikatif harus kuat. "Saya berpendapat bahwa para hakim harus diperbaiki kualitas hidupnya dan harus dijamin sangat mandiri dan bisa menjalankan tugas sebagai hakim dengan sebaik-baiknya," ujarnya.
Pertanyaannya sekarang apakah kesejahteraan bisa meningkatlkan integritas hakim? Belum tentu. Tanpa diimbangi perbaikan sistem, seperti pembinaan dan pengawasan, berapa pun gaji yang dinaikkan tidak bakal memberikan dampak apapun.
Sebagai langkah pertama untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga peradilan, sikap KY atas putusan MA yang memungkinkan calon Gubernur berusia 30 tahun saat pelantikan layak ditunggu. Jika KY akhirnya menyatakan ada pelanggaran etik di balik pertimbangan putusan itu, MA jelas harus memberi sanksi kepada hakim yang membuat putusan menguntungkan bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep.
Kita tunggu. Apakah profesi hakim di Indonesia memang layak menyandang julukan ‘wakil Tuhan”?