<p>Kaleidoskop 2020. Ilustrasi Grafis: Azka Yusra/TrenAsia</p>

Kaleidoskop 2020 (Serial 4): Meski Pandemi, Digital Ekonomi Kian Bernyali

  • 2020 merupakan tahun yang berat bagi dunia, termasuk Indonesia. Pandemi COVID-19 tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tapi juga pada sendi perekonomian.

Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – 2020 merupakan tahun yang berat bagi dunia, termasuk Indonesia. Pandemi COVID-19 tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tapi juga pada sendi perekonomian.

Berbagai kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran virus corona jenis baru itu justru membuat perekonomian nasional terjungkal. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) alias lockdown menjadi salah satu bukti kebijakan yang membuat perekonomian harus berjalan terseok-seok.

Hal ini memaksa semua pihak yang berada pada sistem ekonomi memutar otak agar roda perekonomian dapat terus berjalan, meskipun dengan langkah yang lambat. Digitalisasi pun menjadi alternatif paling masuk akal untuk menjawab permasalahan ekonomi di masa pandemi.

Kala pemerintah menetapkan aturan agar masyarakat jaga jarak, semua aktivitas mulai dari bekerja, rapat, transaksi pembayaran, hingga belanja mengandalkan sistem daring.

Pada tahun 2020 pula, masyarakat berbondong-bondong beralih ke sistem online, dari aktivitas individu hingga menjalankan operasional bisnis.

Pelaku usaha mulai dari kelas mikro hingga perusahaan blue chip yang telah siap memanfaatkan sistem daring, ialah yang mampu bertahan di masa pagebluk ini. Singkat kata, pandemi di tahun 2020 membuat berkah tersendiri bagi perekonomian digital Tanah Air.

Bukan omong kosong, hal ini dibuktikan dari sejumlah laporan perusahaan global serta beberapa aksi korporasi perusahaan rintisan berbasis teknologi yang dilakukan di tahun ini.

Tak hanya itu, beberapa capaian industri yang memanfaatkan sistem digital lainnya juga turut menjadi bukti kejayaan ekonomi digital dalam negeri di tahun ini.

Ilustrasi pungutan pajak layanan digital hingga e-commerce / Shutterstock
Ekonomi Digital Indonesia

Laporan e-Conomy SEA 2020 dari Google, Temasek, dan Bain & Company mengungkapkan ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai US$44 miliar atau setara Rp624,6 (asumsi kurs Rp14.195 per dolar Amerika Serikat).

Managing Director Google Indonesia, Randy Jusuf mengatakan, sektor perdagangan elektronik tumbuh 54% menjadi US$32 miliar atau sekitar Rp454,2 triliun dibandingkan dengan tahun lalu senilai US$21 miliar atau Rp298 triliun.

Ia menyatakan, kenaikan tersebut didorong oleh aktivitas masyarakat yang beralih berjualan online, terutama akibat adanya pandemi COVID-19. Dengan adanya peralihan perilaku tersebut, pertumbuhan pemasok lokal turut bertumbuh hingga lima kali lipat.

Hal ini juga didorong oleh program 13% usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Go Online yang dicanangkan pemerintah.

“Laporan tahun ini menunjukkan e-commerce mengalami kenaikan pendapatan yang pesat,” ujarnya dalam webinar laporan e-Conomy SEA dari Google, Temasek, dan Bain & Company, Selasa 24 November 2020.

Nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara juga diprediksi masih akan bertumbuh. Nilainya diperkirakan mencapai US$105 miliar atau setara dengan Rp1.490 triliun di tahun ini.

Di Indonesia sendiri, terdapat 37% konsumen baru yang memanfaatkan digital akibat pagebluk. Sekitar 56% konsumen digital baru itu berasal dari daerah-daerah dan lebih dari 90% mengaku akan terus menggunakan layanan digital pascapandemi.

Sementara itu, waktu online rata-rata masyarakat Indonesia per harinya selama pandemi untuk tujuan pribadi tercatat meningkat dari 3,6 jam menjadi 4,7 jam selama PSBB, dan kemudian 4,3 jam setelah PSBB.

Driver ojek daring GrabBike dan Gojek berhenti dipersimpangan jalan kawasan Kebun Jeruk, Jakarta, Selasa, 22 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Aksi Start up Raksasa RI

Start up menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem ekonomi digital. Meski pandemi, sejumlah start up Tanah Air malah melakukan aksi korporasi yang terbilang cukup besar.

Sebagai contoh, isu PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) yang akan bergabung alias merger dengan Grab. Kedua perusahaan ride-hailing ini diketahui tengah menyelesaikan beberapa kesepakatan sebelum proses penggabungan perusahaan pada awal Desember 2020.

Di samping itu, pada November 2020, Gojek juga sukses mendapat suntikan dana dari PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) sebesar US$150 juta, setara Rp2,1 triliun. Investasi ini dinilai akan mendukung kedua perusahaan dalam mengakselerasi transformasi digital di Tanah Air.

Berkat transaksi itu, saham induk perusahaan Telkomsel, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) sontak menguat 4,89% ke posisi Rp3.220 per lembar saham pada perdagangan Selasa, 17 November 2020. Saham dengan kode emiten TLKM itu pun menjadi saham yang paling diburu asing dengan total transaksi Rp548,3 miliar.

Tak sampai disitu, decacorn yang didirikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim itu pun melebarkan sayapnya ke bisnis perbankan digital dengan menambah kepemilikan saham sebanyak 1,96 miliar lembar di PT Bank Jago Tbk (ARTO).

Transaksi itu dilakukan melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa (GoPay) dengan nilai Rp1.150 per lembar atau total Rp2,25 triliun pada perdagangan Jumat 18 Desember 2020.

Produk-produk yang laris manis di e-commerce Tokopedia saat pandemi / Tokopedia.com
Tokopedia

Kabar menghebohkan juga datang dari perusahaan e-commerce lokal, Tokopedia. Perusahaan raksasa digital global Google Inc asal AS dan Temasek Holdings dari Singapura resmi menjadi pemegang saham unicorn satu ini.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh CEO sekaligus Co-Founder Tokopedia, William Tanuwijaya. Namun, tidak disebutkan jumlah investasi yang dikeluarkan oleh Google dan Temasek.

“Kami sangat senang menyambut Temasek dan Google sebagai pemegang saham Tokopedia. Kami merasa terhormat atas kepercayaan dan dukungan mereka kepada Tokopedia dan Indonesia,” tulis William di akun Instagram pribadinya, Selasa 17 November 2020.

Suntikkan dana dari Google dan Temasek digadang-gadang akan menyulap status Tokopedia menjadi decacorn, menyusul Gojek. Valuasi saham Tokopedia terakhir kali diperkirakan sebesar US$7,5 miliar atau Rp105 triliun.

Usai disuntik Google dan Temasek, Perusahaan investasi asal Hong Kong yang didukung oleh taipan Asia Richard Li dan investor Silicon Valley Peter Thiel, Bridgetown Holdings Ltd dikabarkan berencana akan melakukan merger Tokopedia.

Berdasarkan laporan Bloomberg, pada pertengahan Desember 2020, Bridgetown Holdings tengah menjajaki struktur dan kelayakan kesepakatan dengan Tokopedia. Perusahaan lain milik Richard Li, yakni Pacific Century Group, diketahui sudah menjadi investor minoritas di Tokopedia.

Belum usai dengan capaian itu, Tokopedia tengah genjar menyiapkan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham yang direncanakan pada tahun 2020. Tokopedia berencana melakukan pencatatan ganda (dual listing) di Negeri Paman Sam dan Indonesia.

Namun, nampaknya rencana ini harus diundur hingga 2021 dengan target penggalangan dana sebesar US$1 miliar. Pencatatan ganda dirancang untuk membantu perusahaan menarik investor AS yang berkantong tebal dengan antusiasme yang kuat pada saham emiten teknologi.

Ketua AFPI terpilih Adrian Gunadi mengikuti sidang virtual MUNAS AFPI 2020 di Jakarta, Rabu, 30 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Fintech

Selain e-commerce, sektor financial tecknology (fintech) juga patut diperhitungkan dalam ekosistem ekonomi digital. Terutama, pada sistem pembayaran digital yang saat ini digandrungi masyarakat, ditambah dengan adanya pandemi seperti sekarang.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), nilai transaksi uang elektronik pada November 2020 melonjak 20,27% year-on-year (yoy). Demikian pula dengan volume dan nilai transaksi digital banking pada Oktober 2020 masing-masing tumbuh 29,98% yoy dan 2,11% yoy.

Penggunaan platform dompet digital seperti OVO, DANA, GoPay, ShopeePay, dan LinkAja kian diminati di kala pandemi. Lima pemain besar dalam bisnis e-money di Indonesia ini terus bersaing mendapatkan pangsa pasar terbesar.

Hingga akhir tahun 2020, ShopeePay dinobatkan sebagai e-wallet paling populer yang digunakan oleh masyarakat versi Snapcart Indonesia. Sistem pembayaran milik perusahaan e-commerce Shopee ini berhasil meraih 50% pangsa pasar.

Capaian tersebut cukup jauh jika dibandingkan dengan empat platform uang elektronik populer lainnya, seperti OVO 23%, GoPay 12%, DANA 12%, dan LinkAja yang hanya mampu meraih 3%.

Di sisi lain, dari kelima platform e-money tersebut, hanya ShopeePay yang justru tidak menerima kepercayaan dari pemerintah sebagai mitra penyalur bantuan insentif Program Kartu Prakerja.

Pada pertengahan tahun 2020, sempat beredar rumor merger antara OVO dan DANA demi menyaingi GoPay. Hal ini sebagai upaya untuk menekan aksi ‘bakar uang’ yang dilakukan pesaingnya. OVO merupakan bagian dari SoftBank Group Corp, sedangkan DANA didukung oleh afiliasi dari Alibaba Group Holding Ltd.

Masih di tahun 2020, super app ride-hailing Grab Inc sukses memimpin tahapan penggalangan dana seri-B LinkAja. Dompet digital pelat merah ini pun meraih investasi hingga US$100 juta setara Rp1,4 triliun.

Secara bersamaan, pendanaan itu juga dilakukan oleh PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), BRI Ventura Investama milik PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, serta Mandiri Capital Indonesia milik PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Pasar di sektor digital Indonesia merupakan yang paling besar di ASEAN. Tak ayal jika perusahaan uang elektronik asing pun ingin turut beroperasi di Tanah Air.

Dua perusahaan e-money asal China, WeChat Pay dan Alipay menjadi perusahaan asing yang paling ‘ngotot’ ingin masuk ke Indonesia. Setelah melewati perjalanan cukup panjang, akhirnya keduanya mendapatkan izin operasi.

PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) bakal memfasilitasi transaksi pembayaran melalui WeChat Pay pada merchant yang menjadi mitra di seluruh Indonesia. Sementara, BRI yang akan menjadi mitra Alipay untuk memproses transaksi di dalam negeri.

Ilustrasi kredit online fintech peer to peer (P2P) lending. / Shutterstock
Industri Kredit Online

Pertumbuhan industri fintech peer-to-peer (P2P) lending juga memberikan kontribusi yang signifikan pada perkembangan ekonomi digital nasional.

Bagaimana tidak, sejak 2018 hingga 2020, pertumbuhan penyaluran kredit pada industri jasa keuangan berbasis teknologi ini tembus 400% lebih.

Yang awalnya dianggap musuh, di tahun 2020 ini para pelaku perbankan tak sungkan lagi menggandeng perusahaan-perusahaan pinjaman online (pinjol) untuk melebarkan sayap bisnis.

Bahkan, pemerintah memercayai fintech lending sebagai alternatif penyaluran stimulus kredit usaha rakyat (KUR) di tengah pandemi.

Catatan mengesankan lain juga berhasil ditorehkan oleh pelaku fintech P2P lending pada 2020. Sebagai contoh perusahaan pinjol multiguna Kredivo yang sukses meraih pendanaan sebesar US$100 juta atau sekitar Rp1,4 triliun.

Investasi di dapat dari perusahaan investasi Victory Park Capital Advisors, LLC. (VPC) yang berbasis di Chicago, AS. Pendanaan lini kredit ini digadang-gadang yang terbesar pada industri fintech lending se-Asia Tenggara.

Sementara, di penghujung tahun heboh kabar holding fintech terbesar RI yang akan dilakukan Akulaku. Perusahaan fintech ini merupakan pemegang saham mayoritas PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB) dengan porsi kepemilikan 24,98%.

Setelah proses akuisisi, nama Bank Yudha Bhakti berganti menjadi PT Bank Neo Commerce Tbk. Akulaku juga diketahui menjadi pemegang saham mayoritas PT Trimuda Nuansa Citra Tbk (TNCA) dengan porsi kepemilikan 31,62%.

Dengan adanya kabar tersebut, saham TNCA melesat 19,07% dari Rp366 per lembar menjadi Rp462 selama sepekan (14-18 Desember 2020). Bahkan, Bursa Efek Indonesia (BEI) menempatkan saham TNCA dalam daftar unusal market activity (UMA). (SKO)

Artikel ini merupakan sambungan dari serial Kaleidoskop 2020 sebelumnya:

  1. Kaleidoskop 2020 (Serial 1): Pandemi dan Jalan Terjal Ekonomi RI
  2. Kaleidoskop 2020 (Serial 2): Aksi Korporasi Kakap dan Bangkitnya Investor Lokal Milenial
  3. Kaleidoskop 2020 (Serial 3): Pupusnya Harapan Kebangkitan Industri Properti