<p>Kaleidoskop 2020. Ilustrasi Grafis: Azka Yusra/TrenAsia</p>
Industri

Kaleidoskop 2020 (Serial 5): Skandal Hingga Aksi Konglomerat di Sektor Jasa Keuangan

  • Artikel terakhir dari 5 serial Kaleidoskop 2020.

Industri
Sukirno

Sukirno

Author

JAKARTA – Periode 2020 menjadi momentum yang berat bagi situasi perekonomian Indonesia. Saat pandemi mulai merangsek ke Indonesia awal Maret 2020, secara serentak pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk antisipasi penanganan awal.

Di sektor keuangan, Bank Indonesia (BI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut mendorong industri ini untuk ikut tanggap mengatasi permasalahan.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga memutuskan untuk menempatkan dana di Himpunan bank milik negara (Himbara) dan sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD) dengan total nilai Rp78 triliun.

Kendati situasi ekonomi sedang melemah, aksi korporasi sejumlah bank tetap gencar dilakukan. Mulai dari right issue, penggabungan alias merger, hingga akuisisi oleh bank asing. Namun, ada pula skandal dan rumor tak sedap yang mewarnai industri perbankan di tahun angka kembar ini. Kemunculan dokumen rahasia FinCEN sempat menggegerkan sektor keuangan.

FinCEN Files mengungkap 19 perbankan Indonesia terseret dugaan skandal transaksi janggal / BBC
Skandal dan Kasus Kakap

Gempar di industri keuangan sepanjang 2020 diawali dengan terungkapnya kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Nominal gagal bayar yang terjadi pada produk JS Saving Plan ini mencapai Rp12,4 triliun.

Setidaknya terdapat 17.000 pemegang polis yang menjadi korban, baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun warga asing. Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan beberapa nama tersangka, antara lain BT, HH, HR, HP, S, JHT, FH dan 13 perusahaan manajer investasi (MI).

Awal September 2020 pemerintah akhirnya menetapkan Indonesia Financial Group (IFG) Life sebagai perusahaan pengganti Jiwasraya. Sebagai modal pendiriannya, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp20 triliun yang berasal dari penyertaan modal negara (PMN).

Skema restrukturisasi ini dipilih setelah mempertimbangkan opsi bailout dan likuidasi. Perkembangan terbaru, perusahaan yang ditargetkan bakal beroperasi pada Januari 2021 ini masih menunggu persetujuan izin dari OJK, baik dari sisi produk maupun pengalihan portofolio nasabah.

Di sisi lain, dunia perbankan juga sempat gempar dengan adanya laporan The Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) Files. Dokumen tersebut menyebut keterlibatan 19 perbankan nasional dalam transaksi janggal.

Diduga, 19 bank ini telah melakukan transaksi janggal dengan nilai US$504,65 juta atau setara Rp7,5 triliun dengan asumsi kurs Rp14.800 per dolar Amerika Serikat. Lebih rinci, dana tersebut berasal dari uang masuk ke Indonesia senilai US$218,49 juta setara Rp3,23 triliun. Plus, transaksi keluar mencapai US$286,16 juta atau Rp4,23 triliun.

Uang kertas rupiah baru edisi HUT ke-75 RI. / Bi.go.id
Antisipasi Dampak Pandemi

Sementara di dalam negeri permasalahan baru terus muncul, perkembangan virus corona yang berasal dari Wuhan, China, semakin mengkhawatirkan. Tak bisa mengelak, Indonesia pun pada Maret 2020 akhirnya ikut mencatat kasus ini untuk kali pertama.

Menyikapi hal ini, OJK pun mengeluarkan Peraturan OJK Republik Indonesia Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 pada tanggal 16 Maret 2020. Regulasi ini mengatur restrukturisasi kredit kepada debitur yang terdampak, baik perorangan, UMKM, maupun korporasi.

Menjelang akhir kuartal II-2020, pemerintah melalui Kemenkeu menempatkan dana sebesar Rp30 triliun di Himbara dalam rangka percepatan program PEN.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, penempatan dana tersebut diberikan dalam bentuk deposito dengan suku bunga sebesar 80% dari suku bunga acuan BI 4,25% saat itu. Dananya tidak bisa digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) dan valuta asing (valas).

Seiring berjalannya waktu, penempatan dana ini berlanjut ke tahap II di mana Himbara kembali mendapat guyuran Rp17,5 triliun Bahkan, BPD juga ikut kecipratan dana senilai Rp11,5 triliun. Dengan demikian, alokasi pagu penempatan dana di bank secara total mencapai Rp78 triliun.

Masih terkait dengan kebijakan regulator, pada minggu kedua Desember 2020, OJK akhirnya mengeluarkan aturan resmi terkait perpanjangan restrukturisasi kredit. Dengan demikian, peraturan yang semula berakhir pada Maret 2021 ini sah diperpanjang hingga akhir Maret 2022. Adapun pokok-pokok pengaturan bagi debitur yang terkena dampak pandemi tidak berubah dari ketentuan awal.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani (kedua kiri), Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (kiri), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wimboh Santoso (kedua kanan) dan Kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto (kanan) saat hadir pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 September 2020. Raker tersebut membahas asumsi dasar Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Isu dan Respons Pasar

Berakhirnya kuartal III menandai masuknya bulan ketujuh alias Juli 2020. Di sisi regulator, saat itu sempat mencuat isu pengembalian tugas dan fungsi pengawasan perbankan dari OJK ke BI.

Dalam hal ini, OJK yang mulai memegang fungsi pengawasan sejak 2013, dianggap gagal melaksanakan tugas. Penyebab salah satunya adalah maraknya kasus negatif yang melanda industri keuangan dalam beberapa waktu terakhir.

Saat bersamaan, outbreak COVID-19 di Indonesia membuat nilai tukar rupiah merosot pada Maret 2020. Rupiah tergencet di posisi Rp16.550, nyaris mendekati Rp17.000. Para analis menyebut, pelemahan ini disebabkan oleh kepanikan investor di pasar keuangan. Ketidakpastian hasil penanganan oleh pemerintah dipandang negatif oleh mayoritas pelaku pasar.

Tahun yang sama, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang dilaksanakan pada 19 November 2020 memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) saat ini berada di level 3,75%.

Tingkat suku bunga acuan ini menjadi yang terendah sepanjang sejarah. Selain pemangkasan suku bunga acuan, dalam RDG tersebut suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility juga turun 25 bps masing-masing menjadi 3% dan 4,5%.

Alhasil, pengumuman tersebut membuat kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis, 19 November 2020 berhasil ditutup menguat 0,66% atau 36,54 basis poin ke level 5.594,05.

Direktur Utama Bank Bukopin Rivan A. Purwantono saat hadir dalam Konferensi Pers Virtual dengan Tema “Transformasi Menuju Bukopin Baru” di Jakarta, Senin, 30 November 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Aksi Konglomerat hingga Investor Asing

Meski terjadi pandemi, tampaknya investor lokal dan asing tetap membidik peluang bisnis. Aksi-aksi korporasi yang dilakukan konglomerat hingga investor asing justru makin gencar terjadi pada 2020.

Tepatnya Juli 2020, pemantauan sektor keuangan khususnya perbankan tertuju pada akuisisi PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) oleh KB Kookmin Bank. Perusahaan yang dulunya dikenal sebagai bank koperasi ini kini digenggam oleh bank asing asal Korea Selatan.

Lewat Penawaran Umum Terbatas (PUT) V pada 27 Juli 2020 dan skema private placement pada awal September 2020, KB Kookmin Bank akhirnya resmi menjadi pemegang saham pengendali (PSP) dengan porsi kepemilikan saham sebesar 67%. Ini membuat modal dasar perseroan bertambah dari semula Rp2,5 triliun menjadi kurang lebih Rp3,5 triliun.

Dengan demikian, rincian komposisi pemegang saham bank yang kini bernama KB Bukopin, yakni publik, termasuk di dalamnya Kopelindo sebesar 18,14%, Bosowa Corporindo 11,68%, dan Negara RI 3,18%.

Namun, perpindahan porsi PSP ini rupanya tak berakhir begitu saja. Muncul ketidakpuasan dari pemegang saham lain atas keputusan tersebut. Dampaknya, Bosowa pada 27 Agustus 2020 dan berlanjut pada 25 November melayangkan gugatan di PN Jakarta Pusat. Perkembangan mutakhir, kasus ini masih diproses di pengadilan.

Konglomerat terkaya di Indonesia Michael dan Robert Budi Hartono, lewat bank swasta terbesar di Indonesia, yakni PT Bank Central Asia Tbk alias BCA dinyatakan resmi mengakuisisi PT Bank Interim Indonesia. Aksi itu terjadi pada akhir September 2020.

Kepemilikan saham BCA di Bank Interim pun menjadi 99,999973%. Akuisisi ini diakui oleh manajemen BCA sebagai langkah pengembangan bisnis anak usaha, yakni dengan menggabungkan alias memerger PT Bank BCA Syariah dengan Bank Interim. Pascapenggabungan, unit usaha syariah BCA ini akan menjadi perusahaan penerima atau surviving entity.

Masih dalam rangka perluasan bisnis bank, seiring berjalannya waktu fintech tak lagi dilihat sebagai pesaing, melainkan justru potensi yang menggiurkan bagi perbankan. Sejumlah bank pun ramai-ramai melebarkan sayap dengan cara menyuntik modal ke perusahaan peer-to-peer lending (P2PL) ini.

PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP), misalnya, bank ini membuka channeling dengan menjadi lender institutional PT Simplefi Teknologi indonesia (AwanTunai). Sebelumnya, BCA juga menyuntikkan dana hingga Rp200 miliar kepada anak usahanya, PT Central Capital Ventura (CCV). Dana tersebut ditujukan untuk mengembangkan fintech.

Kemudian, salah satu bank pelat merah, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI bahkan mendirikan layanan digital dengan mengalokasikan belanja modal (capital expenditure/capex) senilai Rp4,8 triliun untuk ekspansi bisnis online ini.

PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah (BNIS) telah mempublikasikan Ringkasan Rancangan Penggabungan Usaha (merger) / Dok. Kementerian BUMN
Megamerger Bank Syariah

Di sisi lain setelah direncanakan sejak Juli 2020, perjanjian penggabungan bersyarat merger bank syariah pelat merah akhirnya diteken pada 12 Oktober 2020. Bank Syariah Mandiri, Bank BRISyariah, dan BNI Syariah ini pun bakal bergabung menjadi satu di mana BRI Syariah dipilih sebagai entitas yang menerima penggabungan (surviving entity).

Dalam perkembangannya, akta penggabungan yang ditetapkan pada 16 Desember 2020 juga memutuskan kesepakatan nama bank hasil merger, yakni PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS). Di samping itu, susunan lengkap direksi dan komisaris perseroan juga telah disusun.

Adapun jadwal efektif kerja para pengurus akan dimulai 1 Februari 2021 setelah merger mendapat persetujuan dari OJK. Setelah merger rampung, rincian komposisi pemegang saham akan dipegang masing-masing oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) 51,2%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) 25,0% dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) 17,4%. Selain itu, ada pula komposisi kepemilikan saham dari DPLK BRI – Saham Syariah 2% dan publik sebesar 4,4%.

Menutup bulan terakhir di 2020 juga menjadi momentum tersendiri bagi PT Bank Jago Tbk (ARTO). Tepatnya pada 18 Desember 2020, PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek Indonesia) telah menambah kepemilikan saham sebanyak 1,96 miliar lembar. Dengan nilai Rp1.150 per lembar saham, aksi korporasi yang dilakukan melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa (GoPay) tersebut setara dengan Rp2,25 triliun.

Dengan adanya transaksi ini, berarti sebanyak 2,4 miliar saham Bank Jago telah dimiliki Gojek. Persentasenya mencapai 22,16% dari seluruh saham beredar. Sebelumnya, porsi kepemilikan saham Gojek di ARTO hanya 449,14 juta lembar atau 4,14%. Sementara itu, PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT) tetap menjadi pemegang saham mayoritas dengan porsi kepemilikan 51%. (SKO)

Artikel ini merupakan sambungan terakhir dari serial Kaleidoskop 2020 sebelumnya:

  1. Kaleidoskop 2020 (Serial 1): Pandemi dan Jalan Terjal Ekonomi RI
  2. Kaleidoskop 2020 (Serial 2): Aksi Korporasi Kakap dan Bangkitnya Investor Lokal Milenial
  3. Kaleidoskop 2020 (Serial 3): Pupusnya Harapan Kebangkitan Industri Properti
  4. Kaleidoskop 2020 (Serial 4): Meski Pandemi, Digital Ekonomi Kian Bernyali