Ilustrasi perusahaan penguasa tambang batu bara di Indonesia / Ilustrasi: Azka Yusra
Industri

Kaleidoskop 2021 : Berkah Batu Bara di Tengah Cuaca Buruk Iklim Investasi Hulu Migas

  • Kaleidoskop 2021: Banyak rintangan dan tantangan yang harus dilalui oleh sektor tersebut di tengah kampanye negara-negara dunia dalam mempromosikan transisi energi menuju energi hijau atau ramah lingkungan untuk menekan pemanasan global.
Industri
Muhammad Farhan Syah

Muhammad Farhan Syah

Author

JAKARTA – Tidak berlebihan jika menyebut sektor energi telah mengalami gejolak dan dinamika yang beragam dalam perjalanannya sepanjang tahun 2021. Banyak rintangan dan tantangan yang harus dilalui oleh sektor tersebut di tengah kampanye negara-negara dunia dalam mempromosikan transisi energi menuju energi hijau atau ramah lingkungan untuk menekan pemanasan global.

Indonesia sebagai negara pengekspor bahan baku energi fosil terbesar juga turut berkomitmen untuk mulai mengubah arah setir penggunaan energinya menuju energi yang lebih ramah lingkungan atau disebut sebagai Energi Baru Terbarukan (EBT) secara bertahap.

Komitmen tersebut sudah lebih dahulu tercatat dalam perjanjian paris pada 2015 yang juga diikuti oleh 170 negara lainnya.

Negara-negara tersebut sepakat untuk bersama-sama memerangi disrupsi perubahan iklim yang sebagian besar disebabkan oleh emisi karbon dari pengolahan indusrtri hulu energi yang berdampak pada peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK).

Tahun ini, komitmen tersebut juga terus dipertegas kembali oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya pada pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP26 menyampaikan bahwa Indonesia telah melakukan berbagai upaya langkah konkret dalam hal mewujudkan target pengurangan emisi GRK sebanyak 29% pada 2030, dan mengejar target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah selama setahun ini yang merupakan sebagai bagian dari upaya dalam menuju NZE di antaranya adalah dengan mengembangkan ekosistem mobil listrik, dan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di beberapa wilayah.

Pemerintah melalui istana juga menyebut telah melakukan optimalisasi pada pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis clean energy yang termasuk di dalamnya adalah membangun kawasan industri hijau terbesar dunia di Kalimantan Utara.

Namun, di tengah gegap gempita ihwal rencana dekarbonisasi di sektor energi yang sebelumnya telah direncanakan oleh negara-negara besar dengan salah satunya membatasi penggunaan batu bara, malapetaka justru datang menghantam negara-negara tersebut.

Krisis Energi Global

Presiden Joko Widodo saat melakukan groundbreaking pabrik baterai kendaraan listrik pertama di Asia Tenggara milik PT Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Konsorsium LG dari Korea Selatan. / Setkab.go.id

Berbagai situasi dan kondisi yang terjadi seakan tidak mendukung upaya dekarbonisasi negara-negara di dunia dalam mengurangi emisi GRK pada sektor energi tahun ini.

China sebagai salah satu negara dengan kebutuhan konsumsi energi terbesar mengalami kesulitan karena adanya berbagai faktor yang menyebabkan produksi energi domestik tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam nasional. Hal tersebut mengakibatkan China mengalami defisit pada neraca kebutuhan energinya hingga berada di tahapan krisis.

Faktor yang menyebabkan krisis pada energi di Negeri Tirai Bambu tersebut awalnya bermula ketika terjadi penurunan secara drastis jumlah produksi listrik di China yang disebabkan oleh menurunnya debit air sebagai sumber utama dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, Dahlan Iskan menyebutkan bahwa produksi listrik di China pada keadaan normal melalui PLTA mencapai 300.000 (Mega Watt/MW). Penurunan secara drastis pada debit air tersebut berimbas pada hasil output produksi listrik dari PLTA yang juga menurun hingga 2/3 dari yang seharusnya.

Penurunan debit air yang disebabkan oleh rendahnya curah hujan membuat pemerintah China harus mengintensifkan produksi listriknya melalui pembangkit listrik lainnya yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Meski begitu, berbagai kecelakaan kerja yang marak terjadi dalam beberapa waktu terakhir di tambang batu bara mengharuskan pemerintah juga harus mengambil keputusan untuk menutup sejumlah tambang-tambang yang ada.

Berbagai macam persoalan tersebut akhirnya berimbas pada terbatasnya stok batu bara yang dimiliki oleh China sebagai bahan baku utama dalam menghasilkan listrik melalui PLTU. Kondisi tersebut juga diperparah dengan meningkatnya demand seiring dengan datangnya musim dingin yang membuat kebutuhan akan energi menjadi meningkat di negara tersebut.

Krisis energi yang menimpa juga tidak hanya terjadi di China, namun sejumlah negara-negara di Eropa dan Asia Utara lainnya turut mengalami permasalahan serupa. Pada akhirnya, permasalahan yang menimpa negara-negara tersebut berakumulasi pada melonjaknya permintaan serta kebutuhan akan batu bara secara global.

Harga Batu Bara, Minyak, dan Gas Meroket

Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di perairan Banten. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Meningkatnya permintaan secara serentak terhadap kebutuhan pada batu bara sebagai bahan utama produksi listrik melalui PLTU membuat harga komoditas emas hitam dunia tersebut menjadi naik secara signifikan.

Tercatat sampai periode bulan ini, Harga Batu Bara Acuan (HBA) per Desember 2021 telah melejit hingga 167% (year-on-year/yoy) menjadi US159,79 per ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$56,69 per ton.

Sedangkan pada bulan November 2021, HBA menyentuh level tertinggi yang pernah dicapai setelah lebih dari 10 tahun terakhir menjadi sebesar US$215.01 per ton. pergerakan harga batu bara dunia ICE Newcastle juga saat ini masih menjulang tinggi di harga US$171,1 per ton pada 30 Desember 2021.

Selain harga batu bara, lonjakan kenaikan harga juga terjadi di beberapa komoditas lainnya. Kenaikan tersebut ikut terjadi seiring berjalannya fenomena periode commodity suppercycle sepanjang tahun 2021.

Komoditas tersebut di antarnya adalah pada sektor mineral yakni minyak bumi dan gas alam, serta komoditas minyak nabati Crude Palm Oil (CPO) atau kelapa sawit mentah.

Harga minyak mentah Brent (CO1) mengalami kenaikan hingga 52,9%yoy menjadi US78,94 per barel pada 30 Desember 2021 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelunnya pada 30 Desember 2020 sebesar US$51,63 per barel.

Minyak dengan jenis light sweet WTI (CL1) juga tercatat mengalami kenaikan hingga 57,75% yoy menjadi sebesar US$76,35 per barel dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar US$48,4 per barel.

Sedangkan untuk harga gas alam (NG1), tercatat sampai dengan 30 Desember 2021 mengalami kenaikan  hingga  57,02% yoy menjadi sebesar US$3,80 per juta Britihs termal unit (Million British Thermal Unit/MMBTU) dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar US$ 2,42 per MMBTU.

Hal serupa juga terjadi pada komoditas minyak nabati kelapa sawit mentah, perdagangan harga minyak sawit berjangka Malaysia mengalami kenaikan hingga 32,25% yoy pada 29 Desember 2021 menjadi sebesar 4.695 ringgit Malaysia per ton dibandingkan dengan pada periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 3.550 ringgit Malaysia per ton.

Peningkatan harga komoditas supercycle serta batu bara pada tahun 2021 memberikan keuntungan yang berlimpah bagi Indonesia. Hal tersebut mengingat Indonesia termasuk ke dalam jajaran negara dengan jumlah produksi batu bara terbesar ke-4 di dunia.

Rezeki dari perdagangan komoditas batu bara juga kian menggila dengan merenggangnya hubungan China dan Australia. Hal tersebut membuat China enggan untuk membuka pintu impor batu bara dari Negeri Kanguru tersebut sehingga memberikan kesempatan lebih besar bagi Indonesia untuk dapat menmasok lebih banyak kebutuhan batu bara ke China.

Para pengusaha di sektor batu bara juga  turut bersyukur dengan meningkatnya permintaan supply pada komoditas batu bara yang terjadi sepanjang tahun 2021. Beberapa saham emiten pada sektor batu bara bahkan tidak luput dari cipratan sentimen positif yang menyebabkan sejumlah saham ikut terbang seiring dengan kenaikan harga yang terjadi pada batu bara.

Meski sejumlah permasalahan yang terjadi pada krisis energi di beberapa negara memberikan dampak positif bagi Indonesia melalui perdagangan komoditas, masih banyak hal-hal lain yang juga menjadi PR dan harus diselesaikan oleh seluruh pemangku kepentingan dalam sektor energi.

Berbagai target pencapaian tercatat tidak dapat dieksekusi secara maksimal selama tahun 2021. Berbagai permasalahan yang ada di tahun ini juga justru menjadi indikator bagi sejumlah ahli dalam menilai penurunan performa yang terjadi pada sektor energi dibandingkan dengan tahun sebelumnya di 2020.

Pengamat Energi dan Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyinggung secara eksplisit beberapa persoalan yang membuat performa sektor energi di tahun ini kurang memuaskan, bahkan lebih buruk dari tahun 2020.

Lifting migas semakin menurun, Kenaikan harga minyak dunia tidak memberikan benefit lantaran Indonesia sudah net importer. Selain itu, impor minyak mentah dan BBM makin meningkat,” ujar Fahmy Radhi kepada TrenAsia.com pada 30 Desember 2021.

Berdasarkan data SKK Migas, realisasi produksi terangkut (lifting) minyak hingga 30 September 2021 mencapai 661.100 barel per hari (bph) atau hanya 93,8% dari target tahun ini 705.000 bph.

Kondisi tersebut kian diperparah dengan adanya aksi hengkang sejumlah perusahaan raksasa migas global yang satu persatu mulai melepas kegiatan eksplorasinya di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.

Cuaca Buruk pada Iklim Investasi Hulu Migas

Realisasi produksi terangkut (lifting) minyak hingga 30 September 2021 mencapai 661.100 barel per hari (bph) atau hanya 93,8% dari target tahun ini 705.000 bph / Pixabay

Beberapa raksasa migas yang memutuskan untuk hengkang tersebut di antaranya adalah Shell dari Blok Masela, Chevron dari Blok Rokan, Total dari Blok Mahakam.

Di penghujung tahun ini, terdapat satu raksasa migas lainnya yang turut hengkang dan menambah panjang daftar perusahaan yang kabur melepas kegiatan eksplorasinya di Indonesia, yakni adalah ConocoPhillips dari Blok Corridor (Corridor PSC) pada 8 Desember 2021.

Beberapa faktor disebut-sebut memang menjadi penyebab dari hengkangnya beberapa perusahaan raksasa migas dunia tersebut. 

Salah satu faktor di antaranya adalah karena iklim investasi hulu migas di Indonesia yang dinilai tidak begitu menarik saat ini dibandingkan dengan negara-negara lain, hingga efek dari adanya proses transisi penggunaan energi dari berbasis fosil ke EBT yang sedang berlangsung.

Meski begitu, proses transisi energi yang terjadi di tahun ini juga tercatat tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal tersebut dipertegas oleh pengamat energi asal UGM Fahmy.

“Capaian EBT tidak menggembirakan, hingga akhir tahun 2021 bauran EBT terhitung masih rendah berada di kisaran 11 persen,” ujarnya.

Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa sangat mustahil Indonesia dapat mencapai target 23% bauran EBT pada tahun 2025 sesuai dengan target pemerintah jika melihat apa yang telah terjadi sampai sejauh ini terhadap perkembangan EBT.

Selain itu, memang secara kebijakan fiskal, Indonesia dinilai masih jauh tertinggal dari negara-negara tetangga lain yang berada di kawasan ASEAN dalam hal memperindah iklim investasi hulu migas agar lebih menarik bagi para investor global. 

Saat ini, persaingan beberapa negara dalam rangka menggaet investor kakap memang diketahui semakin kompetitif di tahun ini. Sebagai contoh, Malaysia hingga Thailand telah menyiapkan strategi untuk membuat iklim investasi hulu migas di negaranya menjadi lebih menarik.

Sejumlah strategi yang dilakukan tersebut di antaranya dengan memberikan berbagai macam kemudahan melalui kebijakan fiskal seperti memberikan bonus tanda tangan dengan nilai minimal US$330.000, serta hanya memberikan keterlibatan lokal sebesar 5% pada proyek yang dijalankan sebagaimana dilakukan oleh Thailand.

Cuaca buruk yang terjadi di iklim investasi hulu migas di Indonesia memang tidak hanya disebabkan karena kurangnya insentif pada kebijakan fiskal yang diberikan oleh pemerintah, hal lain seperti minimnya cadangan terbukti yang dimiliki Indonesia dinilai menjadi pertimbangan para perusahaan kakap.

“Cadangan terbukti yang dimiliki oleh Indonesia masih sedikit jika dibandingkan dengan data geologis yang menunjukkan potensi besarnya dari cadangan migas di Indonesia,” ujar Fahmy.

Dengan tingginya dispartitas pada jumlah cadangan terbukti dibandingkan dengan data geologis, tentunya hal tersebut menjadi pertimbangan lebih lanjut bagi para investor kakap untuk menkalkulasi kembali peluang investasinya,

Mengingat, dengan tingginya kesenjangan antara cadangan terbukti dibandingkan dengan data geologis yang ada, hal itu akan berdampak pada kebutuhan dana yang tidak sedikit dalam melakukan kegiatan eksplorasi, terlebih di tengah situasi ketidakpastian akibat krisis energi serta pandemi yang terjadi.

Dengan situasi ketidakpastian yang terjadi ditandai dengan lesunya iklim investasi hulu migas di Indonesia, pengamat telah memproyeksikan bahwa beberapa target pemerintah akan sangat sulit tercapai. Termasuk di antaranya adalah target produksi migas sebesar 1 juta barel minyak per hari (bph) dan 12 miliar standar kaki kubik per hari oleh SKK Migas pada 2030.