Ilustrasi bank digital di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia
Industri

Kaleidoskop 2021: Tren Perbankan Digital Kian Seksi hingga Bank Mini Diakuisisi

  • Setidaknya ada tiga tren baru yang terjadi di industri perbankan pada tahun 2021: menjamurnya bank digital, satgas BLBI yang terus mengejar obligator prioritas hingga maraksa bank mini yang mengubah struktur kepemilikan saham demi memenuhi ketentuan modal inti minimal dari OJK.

Industri

Yosi Winosa

JAKARTA - Tahun 2021 menjadi tahun bersejarah bagi industri perbankan. Di tengah pasang surut pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarat (PPKM) sejalan dengan pandemi COVID-19, industri perbankan mengalami perubahan yang cukup signifikan. 

Setidaknya ada tiga tren baru yang terjadi di industri perbankan pada tahun 2021: menjamurnya bank digital, satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terus mengejar obligor prioritas hingga maraknya bank mini yang diakuisisi serta mengubah struktur kepemilikan saham demi memenuhi ketentuan modal inti minimal dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menjamurnya Bank Digital

Ilustrasi pemilik PT Bank Jago Tbk (ARTO) Jerry Ng yang kekayaannya melejit hingga menjadi konglomerat terkaya ke-5 di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia

Tahun 2021 menjadi tahun di mana bank digital menjadi mainstream di Indonesia. Meskipun sebenarnya, bank digital pertama sudah lahir pada tahun 2016, yakni Jenius milik PT Bank BTPN Tbk (BTPN). 

Hal ini juga tidak terlepas dari lahirnya Peraturan OJK (POJK) tentang bank digital pada Agustus 2021 lalu, yakni POJK No.12 tahun 2021. Beleid ini mendefinisikan bank digital sebagai Bank Berbadan Hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha yang utamanya melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat (KP), atau dapat menggunakan kantor fisik yang terbatas.

Bank digital memiliki berbagai kemudahan yang ditawarkan, seperti kecepatan dan kemudahan proses transaksi, fleksibilitas dan skalabilitas serta agility yang memungkinkan mereka bisa mamatok bunga yang lebih tinggi demi mengerek laba. Bank digital menjadi cikal bakal lahirnya era banking everywhere di masa depan.

Dengan demikian, bank digital sangat ideal meraih ceruk pasar nasabah baru yang belum bankable. Jika bank digital bisa melampaui 50% saja dari masyarakat unbankable, mereka akan mampu bertahan dan bersaing dengan perbankan konvensional yang sudah jauh lebih dulu mapan. 

Adapun bank digital yang lahir di tahun 2021 adalah sebagai berikut :

Melengkapi kemunculan bank digital, bank konvensional Tanah Air juga masih melakukan aksi korporasi yang menarik, seiring dengan pertumbuhan industri di mana kredit tumbuh hingga sebesar 4,4% di tahun 2021.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) misalnya, pada pertengahan September lalu menggelar rights issue atau penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) dengan menerbitkan 28,7 miliar lembar saham senilai Rp95,9 triliun. Aksi korporasi ini merupakan rights issue terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang dilakukan oleh bank pemerintah.

Satgas BLBI Kejar Setoran Obligator Prioritas

Ilustrasi kewajiban 48 obligor dan debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada pemerintah mencapai Rp110,45 triliun / Grafis: Deva Satria/TrenAsia

Tahun 2021 menandai progres signifikan dari upaya pemerintah dalam mengejar utang BLBI yang digulirkan pada era krisis keuangan Asia tahun 1998 silam. 

Seperti diketahui, saat itu pemerintah bertindak sebagai penjamin (blanket guarantee) bagi seluruh bank yang terdampak krisis, dengan menerbitkan obligasi pemerintah yang diserap oleb BI sebagai standby buyer. Nilainya sekitar Rp110,5 triliun.

Sayangnya hingga kini mereka, sekitar 48 obligor dan debitur mangkrak dan tidak melunasi pinjaman tersebut, sehingga pemerintah masih harus mencicil pokok dan bunga utang kepada BI. 

Pada 15 April 2021, beredar Dokumen Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang memuat 7 obligor prioritas Satgas BLBI, sebagai berikut.

1. Trijono Gondokusumo - Bank Putra Surya Perkasa. Dasar utangnya adalah Akta Pengakuan Utang (APU) dengan outstanding utang sebesar Rp4,89 triliun. Jaminan utang tersebut ada, namun tidak cukup.

2. Kaharudin Ongko - Bank Umum Nasional (BUN). Dasar utang yang ditagihkan adalah Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) sebesar Rp7,83 triliun. Jaminan utang ada, namun tidak cukup.

3. Sjamsul Nursalim - Bank Dewa Rutji. Dasar utang Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK sebesar Rp470,65 miliar. Tidak ada jaminan yang dikuasai dari utang tersebut, tapi Sjamsul diperkirakan mempunyai kemampuan membayar.

4. Sujanto Gondokusumo - Bank Dharmala. Dasar utang Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK sebesar Rp822,25 miliar. Tidak ada jaminan yang dikuasai dari utang tersebut, tapi Sujanto diperkirakan mempunyai kemampuan membayar.

5. Hindarto Tantular/Anton Tantular - Bank Central Dagang. Dasar utang Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK sebesar Rp1,47 triliun. Tidak ada jaminan yang dikuasai dari utang tersebut, tapi diperkirakan mempunyai kemampuan membayar.

6. Marimutu Sinivasan - Group Texmaco. Dasar utangnya adalah Surat PPA dengan oustanding Rp 31,72 triliun dan beberapa juta dolar AS. Jaminan utang tersebut ada, namun tidak cukup.

7. Siti Hardianti Rukmana - PT Citra Cs. Utang masing-masing Rp191,6 miliar, Rp471,4 miliar, Rp14,79 miliar dan beberapa juta dolar AS. Jaminan aset atas utang tersebut tidak ada, jaminan hanya berupa SK proyek.

Hingga Desember 2021, Satgas BLBI telah berhasil mengembalikan dana BLBI sebesar Rp314 miliar dan 13 juta meter persegi lahan di berbagai daerah di Indonesia yang merupakan aset milik obligor dan debitur dana BLBI.

Satgas akan bekerja sampai 31 Desember 2023 mendatang untuk mengejar seluruh obligor/debitor, khususnya untuk obligor prioritas. Satgas BLBI, atau Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sendiri terbentuk pada Juni 2021.

Marak Aksi Private Placement dan Rights Issue Bank Mini

Ilustrasi aplikasi PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) milik konglomerat Chairul Tanjung / Dok. Allo Bank

Sejalan dengan amanat Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum mengenai pemenuhan Modal Inti Minimum yang dikeluarkan pada September 2021 lalu dipastikan semua bank harus memenuhi modal inti minimum Rp2 triliun pada akhir tahun 2021.

Kalau tidak, bank akan diturunkan kelasnya menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). OJK juga mengubah kategori bank dari semula berdasarkan Bank Umum kelompok Usaha (BUKU) menjadi Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI).

Sejak itu, ramai bank mini (dengan modal inti di bawah Rp6 triliun) melakukan Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) atau private placement. Selain lewat privat placement, bank mini juga melakukan rights issue untuk menambah modal inti mereka.

Di antara bank mini yang melakukan private placement maupun rights issue dalam rangka menambah modal inti mereka adalah PT Bank Victoria International Tbk (BVIC), PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR), PT Bank Nationalnobu Tbk (NOBU), PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA), PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI), PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB), PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI),  PT Bank Ganesha Tbk (BGTG), PT Bank JTrust Indonesia Tbk (BCIC) dan PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA).

Setali tiga uang, aksi bank mini tersebut, dikombinasikan dengan tren bank digital, juga turut memicu aksi Merger and Acquisition (M&A) dari investor lokal maupun global.

Bukan apa-apa, ketimbang mendirikan bank baru dengan modal yang harus dikeluarkan minimal Rp10 triliun, lebih masuk akal untuk mengakuisisi bank mini karena modal yang dibutuhkan seharusnya lebih kecil karena memang awalnya diarahkan untuk memenuhi ketentuan pemenuhan modal. Lantas, bagaimana tren industri perbankan pada 2022?