Ilustrasi Kalender Pranata Mangsa. (warisanbudaya.kemdikbud.go.id)
Nasional

Kalender Kuno Penentuan Musim di Indonesia

  • Setiap daerah di Indonesia juga memiliki sistem kalender tradisinya sendiri. Kalender-kalender ini dianggap sebagai kearifan lokal yang menggambarkan adat dan kebudayaan daerah masing-masing.
Nasional
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Di Indonesia, terdapat dua kalender yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, yaitu Kalender Masehi dan Kalender Hijriyah. Kedua kalender tersebut merupakan yang paling umum digunakan di Indonesia.

Selain itu, setiap daerah di Indonesia juga memiliki sistem kalender tradisinya sendiri. Kalender-kalender ini dianggap sebagai kearifan lokal yang menggambarkan adat dan kebudayaan daerah masing-masing.

Apalagi dengan kondisi geografis beraneka ragam membuat setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam mengolah lahan pertanian. Maka dari itu, berikut adalah beberapa kalender lokal penentu musim yang ada di Indonesia.

Kalender Tradisional Penentu Musim di Indonesia

Ilustrasi aktivitas petani. (UGM)

Berikut beberapa kalender kuno yang dianggap sebagai kearifan lokal di daerah masing-masing:

Parhalaan

Parhalaan atau kalender Batak merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Batak. Parhalaan adalah sistem kalender yang tidak hanya mencatat waktu, tetapi juga mengatur berbagai aspek kehidupan sehari-hari serta berbagai upacara adat.

Kalender ini digunakan untuk menentukan hari baik atau hari buruk, penentuan waktu untuk upacara adat seperti membuat huta/kampong, menentukan hari untuk kegiatan lading dan bercocok tanam, serta berbagai upacara penting lainnya seperti kelahiran, kematian, menggali tulang belulang, membangun rumah, dan menentukan waktu korban kerbau bius.

Masyarakat Batak sangat gemar dengan ilmu astronomi dan ilmu astrologi. Dikarenakan pengetahuan mereka terkait dengan adanya kalender Batak yang bercorak sebuah gambar ini membuktikan bahwa masayrakat Batak ini telah menggunakan ilmu tersebut. Oleh karena itu, Parhalaan ini dituliskan pada bambu, tulang dan kulit kayu sebagai media dalam penulisan Parhalaan atau kalender Batak.

Masyarakat Batak sangat tertarik pada ilmu astronomi dan astrologi. Parhalaan, atau kalender Batak, secara tradisional dituliskan pada bambu, tulang, dan kulit kayu sebagai media untuk mencatatnya.

Ada 30 nama hari dalam parhalaan yaitu, Artia, Suma, Anggara, Muda, Boraspati, Sikkora, Samisara, Artia Ni Aek, Suma Ni Anggara, Anggara Sampulu, Muda Ni Mangadop, Boraspati Langkop, Sikkora Lambok, Samisara Purnama, Tula, Suma Ni Holom, Anggara Ni Holom, Muda Ni Holom.

Ada juga Boraspati Ni Holom, Sikkora Mora Turun, Samisara Mora Turun, Artia Ni Anggara, Suma Ni Mate, Anggara Ni Begu, Muda Ni Mate, Boraspati Na Gok, Sikkora Hundul, Samisara Bulan Mate, Hurung dan Ringkar.

Selain hari, parhalaan terdiri dari 12 bulan, di antaranya, Sada (Januari), Sipaha Dua (Februari), Sipaha Tolu (Maret), Sipaha Opat (April), Sipaha Lima (Mei), Sipaha Onom (Juni), Sipaha Pitu (Juli), Sipaha Ualu (Agustus), Sipaha Sia (September), dan Sipaha Sampulu (Oktober). Sedangkan bulan ke-11 (November) disebut dengan Bulan Li, bulan ke-12 (Desember) disebut dengan Hurung.

Papan Katika

Papan Ketika adalah salah satu warisan budaya dari suku Dayak Benuaq di Kalimantan Timur. Sebelum mengenal konsep waktu dan kalender, suku Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung menggunakan Papan Ketika. Papan Ketika berfungsi sebagai alat untuk menentukan apakah suatu aktivitas akan memberikan hasil yang baik pada hari yang dipilih.

Jika Papan Ketika menunjukkan hasil yang tidak baik, mereka akan menunggu sampai hasilnya baik sebelum melaksanakan aktivitas tersebut. Namun, saat ini, tidak banyak generasi terbaru, khususnya keturunan Dayak Benuaq, yang mengenal atau mendengar tentang Papan Ketika.

Rowot Sasak

Kalender tradisional yang dikembangkan dan diikuti oleh masyarakat Sasak disebut kalender Rowot. Masyarakat Sasak menggunakan kalender ini sebagai pedoman untuk penyelenggaraan gawe (upacara adat), beteletan (bercocok tanam), pembagian musim, arah naga, dan wuku (pengaruh posisi rasi bintang terhadap peristiwa-peristiwa di permukaan bumi).

Sistem kerja kalender Rowot ini didasarkan pada pengamatan gejala alam dan fenomena astronomi. Salah satu fenomena astronomi yang dimaksud adalah peredaran gugus bintang Pleiades atau atau gugus bintang Seven Sister yang kemudian dikenal sebagai bintang Rowot oleh masyarakat Sasak.

Jarak Rasi bintang Rowot dengan Bumi sekitar 541 tahun cahaya. Pengetahuan tentang perbintangan dan fungsinya telah digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Sasak sebagai panduan dalam aktivitas sehari-hari seperti perjalanan, bertani, berladang, dan kehidupan lainnya.

Selain sebagai penanda waktu, kemunculan bintang Rowot juga menjadi penanda utama bagi masyarakat Sasak untuk mengenali perpindahan musim dari ketaun (musim hujan) ke kebalit (musim kemarau).

Wariga

Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Wariga Bali adalah pengetahuan yang mengajarkan sistem kalender atau tarikh tradisional Bali. Sistem ini terutama digunakan untuk menentukan hari baik dan buruk dalam rangka memulai suatu pekerjaan. Wariga Bali berperan sebagai panduan bagi manusia dalam mencapai hasil terbaik.

Pranata Mangsa

Pranata Mangsa dalam bahasa Jawa berarti ketentuan musim, ini adalah sistem penanggalan atau kalender yang digunakan terutama untuk kegiatan pertanian dan penangkapan ikan. Kalender ini disusun berdasarkan peredaran matahari. Pranata Mangsa memiliki satu siklus (setahun) dengan durasi 365 atau 366 hari.

Kalender ini mencakup berbagai fenologi dan gejala alam lainnya yang digunakan sebagai pedoman dalam kegiatan pertanian serta persiapan menghadapi bencana seperti kekeringan, wabah penyakit, serangan hama, atau banjir yang mungkin terjadi pada waktu-waktu tertentu.

Pranata mangsa dalam versi pengetahuan yang dipegang petani atau nelayan diwariskan secara oral (dari mulut ke mulut). Selain itu, kalender ini bersifat lokal dan temporal, artinya dibatasi oleh tempat dan waktu, sehingga detail yang berlaku untuk satu tempat tidak selalu berlaku untuk tempat lain.

Petani menggunakan Pranata Mangsa sebagai panduan untuk menentukan waktu awal tanam mereka, sementara nelayan menggunakannya untuk menentukan waktu melaut atau memprediksi jenis tangkapan. Namun, beberapa deskripsi dalam Pranata Mangsa saat ini kurang dapat dipercaya karena perkembangan teknologi yang ada di beberapa tempat.

Pranata mangsa versi Kasunanan berlaku untuk wilayah di antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Setahun menurut penanggalan ini terbagi menjadi empat musim utama, yaitu musim kemarau atau ketiga (88 hari), musim pancaroba menjelang hujan atau labuh (95 hari), musim hujan atau rendheng (95 hari), dan pancaroba akhir musim hujan atau mareng (86 hari).

Itu dia beberapa kalender kuno penentu musim di beberapa daerah Indonesia.