Kantongi Pendidikan Tinggi, Gen Z Tiongkok Ogah Kerja
- BEIJING - Kaum muda di Tiongkok diketahui mulai muak dengan prospek pekerjaan. Alhasil, meski mengantongi pendidikan tinggi, mereka lebih memilih menjadi genera
Dunia
BEIJING - Kaum muda di Tiongkok diketahui mulai muak dengan prospek pekerjaan. Alhasil, meski mengantongi pendidikan tinggi, mereka lebih memilih menjadi generasi kaum rebahan yang enggan bekerja.
Hal ini merupakan masalah yang semakin besar bagi Tiongkok. Tentu saja, memiliki keterkaitan sehingga menjadi masalah bagi perekonomian AS.
Sebagimana diketahui, perekonomian Tiongkok saat ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Ekonomi negara ini goyah lantaran harus menerapkan kebijakan lockdown yang sangat ketat terhadap pandemi ini.
Selain itu, Neraca perdagangan telah melambat secara dramatis dan negara ini memiliki utang sekitar US$9 triliun sehingga mengancam stabilitas keuangan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.
Belum pulih dari Pandemi, Tiongkok tampaknya tidak bisa memasukkan lulusan perguruan tinggi mudanya ke dalam dunia kerja. Tingkat pengangguran warga Tiongkok pada kelompok usia 16 hingga 24 tahun meningkat hingga mencapai rekor 21% pada Mei 2023.
- 7 Rekomendasi Kuliner Khas Semarang
- Besar Pasak Daripada Tiang, Orang Amerika Mulai Kikis Tabungan untuk Hidup
- Berlaku Selama Januari-Juni 2024, Ini Kriteria Rumah Bebas PPN
Pada Mei, angka pengangguran diketahui naik dari 15,4% dibanding periode yang sama dua tahun sebelumnya. Angka tersebut dibandingkan dengan tingkat pengangguran kaum muda AS sebesar 7,4% pada bulan Mei.
Secara tidak langsung, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas di Tiongkok yang dapat membebani AS karena sangat bergantung pada Tiongkok untuk barang dan jasa. Meskipun ada upaya untuk memisahkan diri dari Tiongkok , Tiongkok masih menjadi pasar ekspor terbesar ketiga bagi AS, dan perusahaan-perusahaan Amerika memperoleh miliaran dolar setiap tahunnya dari penjualan di Tiongkok.
Pada tahun 2022, ekspor AS ke Tiongkok berjumlah $197,3 miliar, naik 2,8% dari tahun 2021, dan impor dari Tiongkok berjumlah $563,6 miliar, naik 7,1% dari tahun 2021.
Menyusul tingginya angka pengangguran kaum muda pada bulan Mei, pemerintah Tiongkok kemudian mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mempublikasikan statistik tersebut, dan juru bicara Biro Statistik Nasional mengatakan pada bulan Agustus bahwa survei yang digunakan para peneliti untuk mengumpulkan data perlu dioptimalisasi.
Pengumuman bahwa data tersebut tidak lagi dipublikasikan menuai kritik dan sarkasme di situs media sosial Tiongkok, Weibo.
"hal ini tidak hanya berdampak buruk bagi Tiongkok, namun berdampak pada seluruh dunia.” kata Benn Steil, peneliti senior dan direktur ekonomi internasional di Council on Foreign Relations.
Iya juga berpendapat bahwa saat ini Tiongkok benar-benar menghadapi krisis dalam hal kemampuannya meningkatkan pertumbuhan produktivitas.
Steil mencatat, generasi muda Tiongkok yang berpendidikan tinggi sangat berharap untuk bekerja di sektor jasa seperti ilmu komputer dibandingkan manufaktur. Sayangnya, tidak tersedia cukup lapangan kerja di sektor tersebut sehingga keterampilan lulusan tersebut tidak dimanfaatkan.
“Fakta bahwa tidak ada lapangan kerja di sektor jasa adalah akibat langsung dari buruknya manajemen perekonomian nasional di Tiongkok,” kata Steil.
Dia menambahkan bahwa selama kebijakan ekonomi buruk Tiongkok menghambat produktivitas, maka akan ada peluang ekspor yang jauh lebih sedikit bagi perusahaan-perusahaan AS.
Selain itu, seperti yang ditulis oleh dosen senior di Victoria University of Wellington Christian Yao dalam sebuah komentar baru-baru ini, krisis pengangguran kaum muda yang berkepanjangan di Tiongkok dapat memicu kerusuhan sipil yang berdampak pada hubungan internasional dengan mengancam akan mengganggu stabilitas perdagangan dan rantai pasokan.
Sebuah laporan pada bulan Juni dari lembaga think tank China Macroeconomy Forum mengatakan bahwa krisis ini dapat berlanjut selama dekade berikutnya dan semakin intensif dalam jangka pendek, dan ada perbaikan signifikan yang harus dilakukan untuk memastikan keterampilan yang diperoleh lulusan perguruan tinggi sesuai dengan pekerjaan yang tersedia.
Mengutip laporan bulan Juni oleh New York Times, jika hal ini tidak ditangani dengan benar, hal ini akan menimbulkan masalah sosial lain di luar perekonomian, dan bahkan dapat memicu masalah politik.