Kasus Fraud Indofarma, Serikat Pekerja Desak Penyitaan Aset Eks Dirut
- Selain penegakan hukum, Meida berharap Kejaksaan berupaya mengembalikan kerugian negara dengan menyita aset para tersangka. Ia menegaskan agar aset tersebut diserahkan kepada negara, dalam hal ini Indofarma, jika di persidangan terbukti para tersangka telah merugikan negara. "Kerugian negara harus dikembalikan. Kelakuan segelintir orang telah menyusahkan 1.300 pegawai di Indofarma dan anak perusahaannya,” tegas Meida.
BUMN
JAKARTA—Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kesehatan mendesak Kejaksaan RI untuk menyita aset milik tersangka kasus fraud PT Indofarma Tbk (INAF). Sikap itu menyusul penetapan eks Direktur Utama Indofarma, Arief Pramuhanto, sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan 2020-2023.
Arief bersama dua orang lain ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta karena telah merugikan keuangan negara senilai Rp371 miliar. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja (SP) BUMN Kesehatan, Ridwan Kamil, mengatakan Indofarma hancur karena inefisiensi.
Selama tujuh tahun terakhir, pihaknya menyebut karyawan Indofarma tidak menerima kenaikan gaji. Dia mengatakan penetapan ketiga tersangka memperkuat dugaan terjadinya praktik korupsi di Indofarma, khususnya pada periode 2020-2023 lalu. “Ini sudah kami ungkap di Komisi VI DPR RI. Inefisiensi terjadi karena korupsi," ujar Kamil dalam keterangan resmi, dikutip Senin, 23 September 2024.
Saat menjabat sebagai Ketua Serikat Pekerja Indofarma, Kamil mengaku telah menginformasikan potensi korupsi tersebut kepada Dewan Komisaris Indofarma, Kementerian BUMN, dan Komisi VI DPR. “Para direksi yang korup itu bukan kami yang minta dan bukan kami yang memilih. Namun saat kerusakan terjadi, kami para pekerja yang paling dirugikan,” tegasnya.
Ketua Umum Serikat Pekerja Indofarma, Meidawati, mendukung pengungkapan atas kasus korupsi di Indofarma oleh Kejaksaan Agung. Pihaknya meminta Kejaksaan lebih serius menuntaskan kasus korupsi INAF. Hal itu dengan menyeret ke pengadilan semua yang terlibat dalam kehancuran Indofarma saat ini.
Menyusahkan 1.300 Pegawai
Selain penegakan hukum, Meida berharap Kejaksaan berupaya mengembalikan kerugian negara dengan menyita aset para tersangka. Ia menegaskan agar aset tersebut diserahkan kepada negara, dalam hal ini Indofarma, jika di persidangan terbukti para tersangka telah merugikan negara.
"Kerugian negara harus dikembalikan. Kelakuan segelintir orang telah menyusahkan 1.300 pegawai di Indofarma dan anak perusahaannya,” tegas Meida. Pihaknya berharap dengan penetapan tersangka kasus dugaan korupsi di Indofarma, para pemangku kepentingan segera menentukan langkah komprehensif terkait konsep penyelamatan perusahaan farmasi itu di masa depan. “Kami menuntut penyelamatan,” ujarnya.
Direktur Utama Indofarma, Yeliandriani, mengatakan perusahaan mendukung proses hukum yang sedang berjalan. Mereka juga berkomitmen untuk menjaga kredibilitas, akuntabilitas, dan transparansi dalam menghadapi kasus tersebut.
Yeliandriani menegaskan proses hukum yang melibatkan mantan direktur utama dan dua pejabat lainnya tidak akan mengganggu operasional perusahaan. Indofarma tetap fokus pada rencana penyehatan dan penyelamatan perusahaan. “Termasuk, restrukturisasi keuangan dan reorientasi bisnis untuk memperkuat fondasi perusahaan,” kata Yeliandriani.
Pengamat BUMN, Herry Gunawan, menyayangkan bobroknya BUMN farmasi terjadi di tengah prospek bisnis obat dan alat kesehatan di Indonesia. “Nilai pasar farmasi itu masih sangat besar ke depannya. Sayang pengelolaan BUMN farmasi RI masih berantakan, tujuannya tidak jelas,” ujarnya kepada TrenAsia beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Anak Usaha Indofarma Ketahuan Utang Pinjol Rp40 Miliar Tanpa Tujuan Jelas
Herry mengakui potensi menjanjikan bidang pengobatan tidak serta merta memuluskan setiap pegiat industri ini. Kenyataannya, beberapa tantangan perlu menjadi perhatian baik pelaku usaha maupun pemerintah.
Herry menjelaskan BUMN farmasi Indonesia masih mengimpor obat dan bahan baku hampir 90%. Sehingga, yang menikmati cuan lebih banyak adalah perusahaan asing. Berdasarkan hasil riset Datanetesia Institute, neraca perdagangan impor di farmasi Indonesia semakin merosot sejak 10 tahun kebelakang.
Pada 2014 tercatat impor terkoeksi di angka US$710,2 juta, sempat naik tipis di 2015 diangka US$739 juta dan US$801,8 di 2016. Koreksi yang dalam juga terjadi di tahun tahun berikutnya 2017,2018,2019 dan 2020 yang masing-masing diangka US$924,5 juta, US$990,5 juta, US$912,2 juta, dan US$1.158,8 juta.
Namun saat 2021 koreksi terdalam juga mengguncang industri farmasi Indonesia tercatat US$4,359 juta dan di 2022 di angka US$1,511 juta. Masalah lain yang harus dihadapi BUMN farmasi ialah kurang adaptif dalam menghadapi perubahan zaman.
Herry mengatakan seharusnya BUMN farmasi mempermudah masyarakat memperoleh akses ke digital, bukan malah memperbanyak jaringan apotek yang justru tak mendatangkan untung banyak. “Sekarang mereka lebih sibuk dengan jaringan fisik. Nah, itu juga persoalan, banyak juga yang kalah bersaing jadinya,” ujarnya.