ZAROF.jpg
Nasional

Kasus Hakim Zarof Simpan Uang Suap Rp1 T Dinilai Jadi Warning Pentingnya RUU Pembatasan Uang Kartal

  • Kasus Zarof kembali mendorong KPK untuk mendesak DPR agar RUU Pembatasan Uang Kartal segera disahkan. RUU ini bertujuan untuk membatasi jumlah uang tunai yang dapat ditransaksikan sekaligus memperketat pengawasan terhadap penggunaan uang tunai dalam transaksi besar.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Penangkapan Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), dengan temuan uang tunai hampir Rp1 triliun dalam berbagai mata uang dan emas senilai Rp75 miliar, telah mengguncang publik. Kasus ini mengangkat kembali perdebatan tentang kelemahan sistem pengawasan keuangan tunai di Indonesia, yang sulit dilacak dan cenderung dimanfaatkan dalam berbagai tindak korupsi. 

Menanggapi kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Pembatasan Uang Kartal sebagai langkah penting dalam memerangi korupsi berbasis uang tunai.

Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, menekankan bahwa penggunaan uang tunai dalam praktik korupsi menyulitkan aparat penegak hukum dalam melacak sumber dan aliran dana. 

“KPK tetap terus berharap dan mendorong agar para wakil rakyat di DPR ini dapat memahami dan membahas rancangan undang-undang tersebut,” terang Tessa, dalam keterangan resmi, di Jakarta, dilansir Rabu, 30 Oktober 2024.

Kasus Zarof menjadi contoh nyata bahwa tanpa kontrol ketat atas peredaran uang kartal, penegak hukum menghadapi tantangan besar dalam mendeteksi dan membuktikan korupsi tunai.

Penggeledahan dan Temuan Kejaksaan Agung

Temuan yang mengejutkan dalam kasus Zarof bermula dari penggeledahan oleh Kejaksaan Agung di rumahnya di kawasan Senayan dan Hotel Le Meridien, Bali. Dalam penggeledahan tersebut, penyidik menyita uang tunai senilai Rp920,9 miliar dalam berbagai mata uang, emas seberat 51 kg, sertifikat berlian, dan berbagai kuitansi transaksi. 

Kejagung menyebut uang tunai dalam jumlah besar ini diduga berasal dari praktik makelar kasus di MA sejak 2012 hingga 2022, serta gratifikasi yang diterima Zarof ketika ia menjabat sebagai Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA.

Lebih lanjut, Kejaksaan Agung menduga bahwa Zarof juga terlibat dalam pengaturan kasus kasasi di MA. Ia diduga memfasilitasi suap untuk membantu kasasi terdakwa Ronald Tannur, sesuai permintaan pengacara LR, yang kini turut menjadi tersangka dalam kasus ini. 

Praktik suap untuk memperlancar proses hukum ini membuka celah korupsi besar yang kerap kali dilakukan dengan uang tunai, yang sulit terlacak dan diawasi.

Desakan KPK untuk Pengesahan RUU Pembatasan Uang Kartal

Kasus Zarof kembali mendorong KPK untuk mendesak DPR agar RUU Pembatasan Uang Kartal segera disahkan. RUU ini bertujuan untuk membatasi jumlah uang tunai yang dapat ditransaksikan sekaligus memperketat pengawasan terhadap penggunaan uang tunai dalam transaksi besar. 

Pembahasan RUU ini sebenarnya sudah lama menjadi perhatian KPK, Kejaksaan Agung, dan kepolisian sebagai upaya menutup ruang bagi korupsi berbasis tunai. Namun, hingga saat ini, RUU tersebut belum menjadi prioritas di DPR, bersamaan dengan RUU Perampasan Aset yang juga dinilai penting untuk memperkuat upaya penindakan hukum.

"Informasi terakhir bahwa RUU tersebut belum menjadi prioritas oleh para wakil rakyat di Senayan," ujar Tessa.

Kekecewaan KPK terhadap lambannya pembahasan RUU ini bukan tanpa alasan. Kasus-kasus besar, seperti yang melibatkan Zarof, menunjukkan bahwa tanpa regulasi ketat mengenai uang tunai, aparat penegak hukum akan terus kesulitan dalam membongkar skema korupsi yang mengandalkan transaksi tunai dalam jumlah besar.

"KPK menekankan pentingnya pembahasan RUU perampasan aset dan uang kartal ini untuk dapat dibahas oleh para wakil rakyat di DPR," tambah Tessa.

Menutup Celah Korupsi dengan Pembatasan Uang Kartal

Pembatasan uang kartal diharapkan menjadi solusi bagi pemerintah dalam menutup celah korupsi yang selama ini terjadi melalui transaksi tunai. Dengan regulasi yang ketat, para pelaku korupsi akan semakin sulit memanfaatkan uang tunai dalam transaksi yang tidak terlacak, dan aparat hukum dapat lebih mudah melacak setiap aliran dana mencurigakan. 

Penerapan pembatasan ini juga telah dilakukan di berbagai negara untuk memerangi kejahatan finansial dan mendorong penggunaan sistem pembayaran non-tunai yang lebih mudah dilacak.

Kasus Zarof menunjukkan bahwa celah korupsi yang memanfaatkan uang tunai harus segera ditutup. Dengan mengesahkan RUU Pembatasan Uang Kartal, pemerintah dan DPR dapat menunjukkan komitmen nyata dalam memerangi korupsi dan memastikan sistem keuangan yang lebih transparan dan akuntabel.