<p>Ilustrasi bursa berjangka</p>
Dunia

Kasus Omicron Meningkat, IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia Jadi 4,5 Persen

  • “Pemulihan ekonomi global yang berkelanjutan menghadapi banyak tantangan saat pandemi memasuki tahun ketiga."

Dunia

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 dari yang awalnya 4,9% menjadi 4,5%. Salah satu alasannya adalah karena meningkatnya kasus Omicron

Wakil Direktur Pelaksana Pertama IMF Gita Gopinath mengatakan pemulihan ekonomi global menghadapi banyak tantangan menjelang  tahun 2022. Pasalnya, peningkatan kasus Omicron memicu fenomena kurangnya tenaga kerja karena pembatasan mobilitas. 

“Pemulihan ekonomi global yang berkelanjutan menghadapi banyak tantangan saat pandemi memasuki tahun ketiga. Varian Omicron telah memperbaharui pembatasan mobilitas di banyak negara dan meningkatkan kekurangan tenaga kerja,” ujar Gita Gopinath sebagaimana dikutip dari keterangan resmi IMF pada Jumat, 28 Januari 2022. 

Pada gilirannya, peningkatan kasus Omicron berdampak kepada gangguan pasokan, kenaikan inflasi, kenaikan harga pangan dan energi, serta rekor utang yang membatasi kemampuan banyak negara untuk mengatasi hambatan. 

IMF memprediksi dampak Omicron akan mulai memudar pada kuartal II-2022. Prediksi itu  karena varian Omicron yang dinilai memiliki risiko kematian lebih rendah dibandingkan dengan Delta yang menyebabkan tsunami COVID-19 pada 2021. 

“Beberapa tantangan, bagaimanapun, bisa berumur lebih pendek daripada yang lain. Varian baru ini dikaitkan dengan penyakit yang lebih ringan daripada Varian Delta dan rekor lonjakan infeksi diperkirakan akan menurun dengan relatif cepat,” kata Gopinath. 

Terlepas dari prediksi bahwa beban ekonomi dari varian Omicron hanya akan terasa pada kuartal pertama, namun IMF sendiri tidak bisa memungkiri adanya penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022. 

“Kami memproyeksikan pertumbuhan global tahun ini sebesar 4,4 persen, 0,5 poin persentase lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, terutama karena penurunan peringkat untuk Amerika Serikat dan China,” papar Gopinath.

Peringkat Negara Maju Turun

Penurunan peringkat Amerika Serikat mencerminkan prospek yang lebih rendah untuk pengesahan perbaikan fiskal, pencabutan akomodasi moneter yang lebih awal, serta adanya gangguan pasokan yang berkelanjutan.

Sementara itu, penurunan peringkat China merefleksikan berlanjutnya pengurangan sektor real estate dan pemulihan konsumsi swasta yang tidak sesuai ekspektasi. 

“Kami memperkirakan pertumbuhan global akan melambat menjadi 3,8 persen pada tahun 2023. Kami telah merevisi perkiraan inflasi 2022 kami untuk pasar maju dan berkembang serta negara dunia ketiga dengan tekanan harga tinggi yang diperkirakan akan bertahan lebih lama.

Ketidakseimbangan penawaran dan permintaan diasumsikan IMF akan menurun selama tahun 2022 berdasarkan ekspetasi peningkatan pasokan.

Sementara itu, harga energi dan pangan diperkirakan akan tumbuh ke tingkat yang lebih moderat pada 2022. Didasari asumsi ekspektasi inflasi tetap terjaga, IMF memperkirakan inflasi akan mereda tahun 2023. 

“Bahkan, saat pemulihan berlanjut, perbedaan prospek yang mengganggu di seluruh negara tetap ada. Sementara negara-negara maju diproyeksikan untuk kembali ke tren pra-pandemi tahun ini, beberapa pasar negara berkembang dan negara berkembang diproyeksikan akan mengalami kerugian output yang cukup besar dalam jangka menengah. 

Jumlah orang yang meninggalkan kemiskinan ekstrem diperkirakan sekitar 70 juta lebih tinggi dari tren pra-pandemi tahun lalu,” jelas Gopinath. 

Perkiraan-perkiraan yang dirancang oleh IMF pada akhirnya tetap tunduk kepada faktor ketidakpastian yang masih tinggi. Secara keseluruhan, risiko akan mengarah ke bawah. 

Munculnya varian yang lebih mematikan dapat memperpanjang krisis. Strategi nol Covid China dapat memperburuk gangguan pasokan global dan tekanan keuangan di sektor real estate negara itu menyebar ke kondisi ekonomi yang lebih luas. 

Kejutan inflasi yang lebih tinggi di Amerika Serikat pun dinilai dapat menimbulkan pengetatan moneter yang agresif oleh Federal Reserve (The Fed) dan memperketat kondisi keuangan global secara tajam. Meningkatnya ketegangan geopolitik dan kerusuhan sosial juga menimbulkan risiko terhadap prospek.

“Untuk memulai pemulihan yang lebih efektif, sangat penting untuk memutuskan cengkeraman pandemi. 

Ini membutuhkan upaya global untuk memastikan vaksinasi yang luas, pengujian, dan akses ke terapi, termasuk obat antivirus yang baru dikembangkan. Sampai sekarang, hanya 4%dari populasi negara-negara berpenghasilan rendah yang divaksinasi penuh dibandingkan 70% di negara-negara berpenghasilan tinggi,” papar Gopinath.