belalang.jpg
Sains

Kawanan Belalang Raksasa Makin Umum, Ini Benar-Benar Bukan Kabar Baik

  • Kawanan belalang bisa muncul dari beberapa lokasi sekaligus. Penelitian telah mengaitkan peristiwa dramatis ini dengan hujan lebat dan angin. Dan hal ini bukanlah kabar baik dalam konteks perubahan iklim.

Sains

Amirudin Zuhri

JAKARTA- Angin kencang dan hujan diperkirakan telah memicu wabah belalang gurun yang tersebar luas dan tersinkronisasi di wilayah-wilayah penting di dunia. Dan jumlah belalang yang rakus dan pemakan tanaman ini bisa bertambah hingga 25% karena perubahan iklim.

Penelitian yang diterbitkan Rabu 14 Februari di jurnal Science Advances ini adalah penelitian pertama yang menunjukkan hubungan kuat antara kawanan belalang berskala besar dan pola cuaca tertentu.

Skala dari megaswarms ini sungguh mencengangkan.  Satu kawanan dapat terdiri dari puluhan juta serangga dan tersebar di wilayah seluas  2.400 kilometer persegi. Wabah  terutama terjadi di Afrika Utara, sebagian Timur Tengah, dan Asia. 

Hanya dalam satu hari mereka dapat menghancurkan ribuan hektare lahan pertanian. Menghilangkan sumber pangan yang cukup untuk memberi makan 35.000 orang .

Terkadang, wabah terjadi di beberapa lokasi sekaligus, sehingga menyebabkan kerusakan tanaman dan kerawanan pangan pada skala regional. Misalnya pada tahun 2003, empat wabah terpisah dimulai secara bersamaan di Mauritania, Mali, Niger dan Sudan. Kemudian menyebar ke beberapa negara lain hingga menyebabkan kerugian panen sebesar US$2,5 miliar selama dua tahun berikutnya.

Memahami pemicu kejadian-kejadian ini dapat membantu petani memprediksi dan menghindari bencana. Namun para peneliti masih kesulitan untuk menentukan penyebab pastinya.

Berbasis Data

Untuk mengidentifikasinya, para peneliti meninjau database besar dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Basis data tersebut melacak jumlah wabah belalang di 36 negara dan periode 35 tahun antara tahun 1985 hingga 2020. Tim menggabungkan informasi ini dengan data meteorologi mengenai indikator seperti suhu, kecepatan angin, dan curah hujan.

“Mereka menemukan hubungan kuat antara keberadaan belalang dan kondisi iklim melalui analisis kami,” kata Xinyue Li, kandidat doktor di Universitas Nasional Singapura dan penulis utama makalah baru ini.

Kepada Live Science dia mengatakan secara khusus, data meteorologi menunjukkan  wabah belalang sering menyerang lebih dari satu negara pada saat yang bersamaan. Serangan juga cenderung terjadi bersamaan dengan periode curah hujan dan angin regional yang intens.

Li menjelaskan, salah satu teori menyatakan bahwa telur belalang yang diletakkan secara massal di dalam tanah, membutuhkan tingkat kelembapan tanah yang tinggi untuk berkembang dan menetas. Hujan deras juga meningkatkan pertumbuhan tanaman, menyediakan tanaman subur dan vegetasi lainnya sebagai sumber makanan siap pakai bagi tukik yang kemudian tumbuh dan terbang ke angkasa dalam kawanan.

Dan angin kencang dapat membantu membawa kawanan belalang dalam jarak yang jauh untuk memulai wabah di tempat-tempat baru.

Mengkhawatirkan

Penelitian baru ini memberikan pandangan yang mengkhawatirkan tentang masa depan akibat perubahan iklim.

Para peneliti membuat model berbagai kemungkinan skenario perubahan iklim antara tahun 2065 hingga 2100. Di mana emisi yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat menyebabkan lebih sedikit atau lebih banyak pemanasan di masa depan.

“Bahkan dalam skenario mitigasi dengan pengurangan emisi karbon secara drastis, masih akan ada peningkatan setidaknya 5% pada habitat belalang, dan titik api yang ada di Afrika dan Asia akan terus mengalami kawanan belalang,”  kata peneliti studi Xiaogang He, asisten profesor di teknik lingkungan di National University of Singapore. 

Dalam skenario iklim seperti biasa, perluasan belalang akan mendorong belalang ke wilayah baru yang sebelumnya tidak berpenghuni. Daerah itu seperti India bagian barat, Iran, Afghanistan, dan Turkmenistan.

“Mengingat peran penting Afrika dan Asia Selatan sebagai lumbung pangan global, serangan belalang yang terjadi secara bersamaan berpotensi memicu kegagalan panen secara luas, dan membahayakan ketahanan pangan global,” katanya.

Dia berharap temuan ini akan menyoroti sifat wabah belalang yang saling berhubungan. Mengatasi masalah ini secara regional, dan bukan satu per satu, dapat membantu para ilmuwan dalam memprediksi wabah belalang dengan lebih baik. Ini  pada gilirannya dapat memberikan masukan bagi sistem peringatan dini.