Kebijakan Plin-Plan Ekspor Minyak Goreng Pemerintah Bertentangan Dengan Multilateralisme Global
- Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto menyatakan pelarangan ekspor bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi di dunia yang sudah mengglobal saat ini.
Nasional
JAKARTA -Langkah pemerintah yang tidak konsisten dalam menetapkan kebijakan terkait upaya menjamin ketersediaan minyak goreng dan menstabilkan harga minyak goreng curah sebesar Rp14.000 per liter dinilai bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi dunia yang semakin mengglobal saat ini.
Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto menyatakan pelarangan ekspor bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi di dunia yang sudah mengglobal saat ini.
Menurutnya, tidak ada satu negara pun yang tidak membutuhkan negara lain dalam memenuhi kebutuhannya. Apalagi produk CPO ini adalah komoditas yang sudah diperdagangkan secara internasional selama ini. Karena itu, Rofik menilai kebijakan ini tidak solutif.
"Pelarangan ekspor ini dapat dipandang oleh dunia cuma sekadar gimmick untuk meraih simpati publik dan upaya menutupi kekurangan pemerintah dalam kemampuannya mengeksekusi kebijakan," kata dia dalam website resmi dikutip Selasa, 3 Mei 2022.
- BPJT: Arus Mudik Tol Trans Jawa Berjalan Lancar Tapi Masih Perlu Perbaikan
- Lebaran Tiba! Yuk Ramaikan Kumpul Keluarga dengan Kegiatan Asik
- Catat! Jadwal Operasional Cabang Bank Mandiri Selama Libur Lebaran 2022
Ditambahkan Rofik, kebijakan DMO untuk CPO sejatinya cukup dipenuhi 20 persen saja dari total produksi CPO. Kuncinya kebijakan harganya disesuaikan untuk mengurangi kebocoran ekspor, yaitu pemerintah membeli dengan harga yang bagus sehingga pengusaha dan petani dapat menikmati harga kenaikan komoditasnya di pasar internasional.
Sumber dana ini bisa dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang jumlah dananya meningkat seiring dengan harga komoditas CPO.
"Apa salahnya sebagian dana tersebut dinikmati juga oleh rakyat dalam bentuk minyak goreng dengan harga yang terjangkau," tambah Rofik.
Rofik juga menyayangkan kebijakan DMO yang terkesan plin-plan. Pertama dari segi konten, semula yang dilarang CPO (minyak sawit mentah), namun ternyata hanya bahan baku minyak goreng (RBD Palm Olein) yang kemudian diralat bahwa memang CPO yang dilarang ekspor.
Hal ini mengakibatkan pemangku kepentingan di industri minyak goreng gagal memahami keinginan pemerintah. Salah satu yang terdampak adalah adanya laporan pabrik kelapa sawit (PKS) yang mulai menolak hasil buah sawit petani.
Lalu juga sikap antara Presiden Jokowi dan Menko Perekonomian Airlangga Hartanto menunjukkan pesan yang berbeda. Terlihat tidak adanya kerja sama dan komunikasi yang tuntas di antara penyelenggara negara.
"Ada baiknya ketika Presiden dan Menteri terkait seperti Menko Perekonomian, Menperin, dan Mendag berada dalam satu forum ketika menyampaikan kebijakannya, sehingga langsung bisa dikomunikasikan detail pelaksanaan kebijakannya," kata Rofik.