Kegemaran Belanja Baju Bekas Bersama Nenek Menginspirasi Mahasiswi Ini Berbisnis Thrifting
- Tren "awulan" yang sejak dulu dikenal mulai bergeser nama menjadi "thrifting" atau "thrift shop".
De'Juragan
SURAKARTA - Keberadaan bisnis jual beli baju bekas telah berlangsung sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Kegiatan yang sering juga disebut awulan, awul-awul, dan babebo (baju bekas bos) di Jawa ini dulunya diminati oleh orang-orang sebagai alternatif murah belanja baju 'baru'.
Kegiatan ini digemari karena harga baju-bajunya murah, namun jika beruntung kita dapat mendapatkan pakaian bermerek dengan kualitas yang masih bagus layaknya baru. Harta karun bukan?
Seiring perkembangan waktu, kegiatan ini mulai diminati banyak anak muda yang kerap tampil modis dengan baju-baju bekas. Tren awulan pun mulai bergeser nama menjadi "thrifting" atau "thrift shop". Salah satu anak muda yang banyak berkecimpung di dunia thrifting ini adalah Okta.
Dalam wawancaranya dengan TrenAsia, perempuan dengan nama lengkap Oktaviana Eka Putri ini mengatakan bahwa ia sudah lama berkecimpung dalam dunia thrifting yaitu sejak tahun 2015. Saat itu, ia dan almarhum sang nenek kerap berburu baju secondhand import dari Korea dan China dengan harga Rp 10 ribu an.
Tak hanya baju bekas, ia juga menyukai barang-barang sisa toko dan barang lain yang bernuansa vintage dan unik.
Selanjutnya pada Mei 2020, tepatnya saat pandemi mulai melanda, ia bersama kelima orang temannya mendirikan sebuah bisnis thrifting bernama Unisexen.
Namun, yang Okta rasakan menjalankan bisnis dengan banyak orang artinya harus mampu menyatukan banyak ide, konsep, dan isi kepala yang berbeda-beda. Akhirnya mereka berlima pun mengambil jalan masing-masing. Ada yang meneruskan bisnis tersebut, ada yang berhenti berjualan, dan ada yang merintis bisnis sendiri, salah satunya Okta.
Bisnis jual beli fesyen second milik Okta yang baru ini diberi nama Utikakunq. Perempuan kelahiran Bantul, 12 Oktober 1999 ini mengatakan ia membuka bisnis thrifting sendiri berangkat dari keinginannya untuk menjual baju-baju second yang memang sesuai dengan model yang ia suka saja.
Di sinilah semua berawal, Okta mengatakan ia menjual hampir semua item fashion mulai dari pakaian, tas, topi, hingga sepatu saat ditanya apa saja produk second yang ia jual.
"Aku nyebutnya all outfit, celana, cardigan kemeja, kaos, crewneck dan semua jenis outfit sepatu, tas, topi dengan model yang vintage dan sesuai dengan tema Utikakunq. Kadang rework tapi akhir-akhir ini enggak."
Menjalankan bisnis Utikakunq memiliki lika-liku tersendiri bagi Okta, terlebih perempuan yang juga masih menempuh kuliah semester 8 ini memutuskan untuk menikah di usianya yang masih muda.
Tak lama setelah pernikahannya, ia mendapat kabar bahagia bahwa dirinya positif hamil dan kesibukan kuliah serta merawat bayi di dalam kandungannya inilah yang akhirnya menjadi kendala tersendiri baginya saat menjalankan roda bisnis Utikakunq.
Perempuan yang juga hobi berdagang ini menyebut omzet kotor yang bisa dihasilkan dari bisnis thriftingnya tersebut mencapai Rp3,6 juta perbulan.
Saat ditanya apa kelebihan berbisnis thrifting, ia tak ragu membagikannya kepada TrenAsia.
“Kelebihan modalnya dulu sedikit karena banyak orang yang suka ngethrift tapi mereka tidak tahu produsen atau tangan pertama itu di mana. Tapi kalau sekarang mahal banget 1 ball 200 pcs itu bisa Rp12 juta bahkan Rp20-an juta tergantung isinya misal brand full atau campur. Modal murah pinter-pinteran ambil barang bisa dari paket usaha atau sortir ke pedagang besar mereka buka ball kita sortir itu terbilang lebih murah disesuaikan dengan kantong masing-masing.”
Okta juga menjelaskan bahwa banyaknya peminat produk secondhand dikarenakan mereka bisa mendapatkan produk branded dengan harga yang sangat terjangkau dengan kisaran 50%-70% lebih murah daripada harga barang baru di store.
Selain itu, pelanggannya juga memiliki minat yang tinggi pada produk-produk yang langka, vintage, dan tidak ada duanya yang tidak bisa didapatkan jika berbelanja barang baru di store.
Selain fokus berbisnis, Okta juga menyampaikan bahwa ia memiliki keinginan untuk memulai gaya hidup yang minim sampah. Setelah nyemplung ke dunia bisnis pakaian, ia menyadari bahwa limbah pakaian adalah limbah terbesar kedua di dunia.
Mirisnya kondisi dibalik industri fast fashion juga menjadi pecut untuk dirinya terus berkarya di bidang thrifting karena tak seperti trend fast fashion, baju-baju thrifting dinilai lebih awet, hemat, dan bisa dipakai berkali-kali.
Akhir kata, Okta berharap bisnisnya terus berkembang dan dapat melebarkan sayap di bidang clothing line local brand.