Industri

Kehadiran Neo Bank Dinilai Sangat Mendesak

  • JAKARTA – Berkembangnya industri financial technology (fintech) mendorong sektor perbankan melakukan inovasi dan transformasi ke sektor digital. Apalagi, adanya pandemi COVID-19 membuat aktivitas transaksi keuangan lebih banyak menggunakan jalur digital daripada konvensional. “Digitalisasi adalah keniscayaan, jadi kebutuhan bagi industri padat modal seperti halnya perbankan,” ujar Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter […]

Industri
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Berkembangnya industri financial technology (fintech) mendorong sektor perbankan melakukan inovasi dan transformasi ke sektor digital. Apalagi, adanya pandemi COVID-19 membuat aktivitas transaksi keuangan lebih banyak menggunakan jalur digital daripada konvensional.

“Digitalisasi adalah keniscayaan, jadi kebutuhan bagi industri padat modal seperti halnya perbankan,” ujar Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Rabu, 2 Desember 2020.

Ia menjelaskan, kehadiran fintech yang memiliki banyak fleksibilitas telah menjadi tantangan bagi perbankan dalam menjaga pangsa pasar.

Sebagai contoh segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi target utama industri fintech lending. Padahal segmen inilah yang paling banyak menjadi target pasar hampir semua bank.

“Perbankan saat ini harus bersaing dengan fintech P2P lending. Karena itu, bank harus lebih mengambil inisiatif untuk mengoptimalkan produk dan layanan digital agar mampu bersaing,” jelasnya.

Piter menilai arah pengembangan bank digital sudah sejalan dengan upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mendorong bank kecil dan menengah untuk melakukan merger dan akuisisi guna memperkuat struktur modal. Sebab nilai investasi di bidang digital ini dapat dikatakan cukup mahal.

“OJK ingin dengan modal bank yang kuat maka bank-bank kecil-menengah bisa masuk ke era digital dan mampu beradaptasi sesuai dengan kebutuhan masa kini. Saat ini bank-bank masih fokus ke digitalisasi transaksi, belum masuk ke produk dan layanan digital yang lebih menantang,” tambahnya.

Neo Bank

Baginya, konsep bank digital seperti dimaksud saat ini dikenal dengan istilah Neo Bank yang merupakah wajah baru perbankan di era digital yang memungkinkan menjalankan layanan dan produknya seperti dijalankan oleh fintech.

Dengan mengadopsi strategi menjadi bank digital justru perbankan konvensional akan lebih mudah menjalankan layanan seperti yang sudah dijalankan oleh Fintech.

“Dengan digitalisasi, bank akan lebih efisien karena tak perlu banyak kantor cabang dan pengeluaran biaya operasional. Semuanya bisa dilayani melalui fasilitas digital,” ucap Piter.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Moch Amin Nurdin menuturkan, digitalisasi akan membantu pengembangan Bank Buku 3 dan Buku 4 untuk berkompetisi mengoptimalkan perubahan gaya hidup dan tuntutan dari para konsumen.

“Bagi bank kecil dan menengah menjadi bank digital adalah strategi yang tepat untuk masuk ke pasar yang menginginkan produk dan layanan yang lebih cepat dan simpel. Melalui digitalisasi inilah bank-bank itu akan bisa survive,” imbuhnya.

Menurut Amin, sudah ada beberapa bank yang membuat platform sebagai bank digital. Salah satu contohnya adalah aliansi kerja sama antara perbankan konvensional dengan fintech. Katanya, cara ini cukup efisien untuk menjangkau pasar yang lebih luas dengan biaya efisien.

Beberapa contoh Neo Bank adalah Bank BCA yang telah mengakuisisi Bank Royal dan mengubahnya menjadi Bank Digital BCA, BTPN dengan produknya bernama Jenius, serta Bank Artos yang dari awal dibentuk sebagai digital-first bank.

Tak hanya itu, bank asing juga telah menerapkan strategi digital bank, seperti Bank DBS dengan layanan Digibank dan UOB dengan produk TMRW.

“Dengan digitalisasi berarti ada pengalaman baru bagi nasabah. Tapi yang lebih penting, bank digital mampu menjangkau konsumen di wilayah yang sulit untuk dapat bertransaksi di bank dengan cepat dan taat proses,” pungkasnya.