<p>Presiden Jokowi /Youtube</p>
Industri

Kejahatan Siber di Indonesia Tinggi, Presiden Minta PPATK Mitigasi Shadow Economy

  • JAKARTA – Presiden Joko Widodo meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memitigasi shadow economy maupun kejahatan siber yang semakin marak di industri keuangan. Menurutnya, banyaknya kejahatan ekonomi saat ini utamanya dipengaruhi oleh pemanfaatan teknologi. “PPATK harus mengantisipasi munculnya tren kejahatan baru di bidang keuangan, dengan cara mengoptimalkan pencegahan tindak pencucian uang dan […]

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Presiden Joko Widodo meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memitigasi shadow economy maupun kejahatan siber yang semakin marak di industri keuangan. Menurutnya, banyaknya kejahatan ekonomi saat ini utamanya dipengaruhi oleh pemanfaatan teknologi.

“PPATK harus mengantisipasi munculnya tren kejahatan baru di bidang keuangan, dengan cara mengoptimalkan pencegahan tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme,” ujarnya dalam Koordinasi Tahunan dan Arahan Presiden RI mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) 2021 di Jakarta, Kamis, 14 Januari 2021.

Selain itu, pengawalan posisi strategis di lembaga negara juga mesti dilakukan, seperti menelusuri riwayat transaksi keuangan pejabat publik. Presiden pun mengimbau seluruh pihak untuk turut berpartisipasi aktif mendukung upaya tersebut.

“Saya mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mengawal dan melakukan pengawasan,” ungkapnya.

Seperti diketahui, tingkat fraud atau kejahatan penipuan di Indonesia, khususnya di sektor keuangan dan perbankan dinilai tidak menunjukkan adanya penurunan. Bahkan, kasus ini diprediksi bakal meningkat hingga 68% pada 2021.

Potensi serangan siber yang semakin rumit

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh The Asian Banker dan GBG, perusahaan teknologi global dalam manajemen fraud dan compliance, verifikasi identitas, dan intelijen, industri keuangan di Indonesia mengalami potensi serangan siber yang semakin rumit.

Managing Director GBG June Lee dalam konferensi daring September lalu mengatakan, hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya penggunaan internet di tengah situasi pandemi COVID-19. Di samping itu, adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) semakin mendorong masyarakat untuk melakukan transaksi secara digital, tak terkecuali dalam mengakses layanan keuangan.

June menyebut, pinjaman online atau pinjol menjadi salah satu layanan keuangan yang paling banyak diakses. Di sisi lain, 43% industri keuangan di Indonesia saat ini memang tengah melirik potensi besar dari financial technology (fintech). Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan lima negara lainnya, yakni Vietnam 38%, Thailand 33%, Malaysia 28%, China 25%, dan Australia 19%.

Selain fintech, hasil penelitian juga menyebutkan potensi keuangan digital lainnya, yakni dompet seluler 42%, aplikasi perbankan seluler 37%, pembayaran tagihan 35%, aplikasi kartu kredit instan 35%, e-banking 33%, pembayaran instan 25%, transfer dana 25%, aplikasi rekening bank instan 25%, sms banking 25%, invoice payment 23%, cryptocurrency 23%, dan persetujuan elektronik 20%.

Namun, seiring dengan pesatnya penggunaan teknologi, potensi munculnya kejahatan internet juga semakin tinggi. Money mule adalah salah satunya. June menjelaskan, jenis penipuan ini memadukan scam dengan first party fraud sehingga sulit untuk dideteksi.

Tumbuh Pesat

Pada 2019, money mule sendiri dinilai sebagai tipe fraud terbesar kedua yang memiliki dampak signifikan pada industri keuangan Indonesia. Pasalnya, ditemukan berbagai macam kejahatan, seperti pemalsuan identitas sebesar 55% dan pencurian identitas yang mencapai 53%. “Kedua kejahatan itu tumbuh pesat di Indonesia,” kata June.

Industri keuangan pun disarankan untuk lebih berhati-hati dalam menjaga keamanan digital nasabahnya. June mengakui, hal ini menjadi tantangan sulit di Indonesia, sebab masyarakat Indonesia telah terbiasa untuk bertatap muka secara langsung.

Namun, jika industri keuangan tidak menyiapkan strategi, June memperkirakan anggaran untuk menuntaskan fraud di Indonesiasemakin tinggi, yakni mencapai US$88,9 juta. Angka tersebut menjadi jumlah tertinggi ketiga setelah Thailand dan China.

Selain itu, industri keuangan juga diminta untuk melakukan monitoring seluruh proses digital pengguna untuk memanajemen risiko.

Mitigasi tersebut dapat dilakukan melalui teknologi digital end to end untuk memaksimalkan keakuratan deteksi penipuan hingga 30%. Dengan demikian, upaya perlindungan bagi konsumen di Indonesia dapat ditingkatkan.