Kemasan Rokok Polos Langgar Hak Konsumen Dapatkan Informasi Produk dan HAKI
- Para ahli hukum juga menilai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 ini bentuk pembangkangan dari kebijakan yang hierarkinya lebih tinggi.
Nasional
JAKARTA – Rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tercantum dalam penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dinilai melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang akurat, jelas, dan detail mengenai produk yang dikonsumsi. Para ahli hukum juga menilai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 ini bentuk pembangkangan dari kebijakan yang hierarkinya lebih tinggi.
Ahli Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho, mengatakan rokok merupakan produk legal yang memiliki hak untuk dipasarkan kepada konsumen dewasa. Penerapan Rancangan Permenkes melanggar hak konsumen yang telah dijamin dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tidak hanya itu, penyusunan kebijakan tersebut juga melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) produk dan dagang yang berlaku.
"Dari hierarki PP, menempatkan aturan yang lebih rendah harus koheren dengan aturan yang lebih tinggi. Kalau lebih rendah seperti Rancangan Permenkes yang menyimpang aturan lebih tinggi, baik UU Kesehatan, UU Keterbukaan Informasi publik, UU Perlindungan Konsumen, maka bukan hanya keliru tapi sudah membangkang dari aturan lebih tinggi. Konsekuensinya secara yuridis ini sudah cacat materil," ujar Ali.
Ali meminta kepada lembaga dan kementerian di Pemerintahan Indonesia untuk melihat alasan di balik bermasalahnya struktur aturan. Ali menjelaskan, ada tiga lapis yang perlu diketahui, yaitu, substansi, aparatur, atau budaya hukum yang bermasalah.
Ketiga lapis tersebut nyatanya tidak dipahami secara serius oleh lembaga pembentuk aturan, sehingga malah menimbulkan masalah baru saat membuat aturan baru. Menurut Ali, dibanding dengan terus mengubah aturan untuk menyempurnakan kebijakan yang sudah ada, Kementerian Kesehatan sebaiknya lebih menguatkan penegakan hukum yang konsisten.
"Penyakit hukum kita ini ada di penegakkan hukum, aturan tidak ada yang begitu bermasalah, hanya saja cara pandangannya ketika timbul dari adanya ketidakektifitasan pencegahan merokok dianggap substansinya bermasalah padahal itu tidak bermasalah, tinggal penegakannya," kata Ali.
Ali mencontohkan dengan aturan yang semakin ketat tanpa adanya penindakan yang optimal dan konsisten, justru malah membuat peredaran rokok ilegal semakin besar dan liar.
Padahal, jika Kementerian Kesehatan fokus pada penindakan hukum, termasuk edukasi masyarakat, justru akan lebih menyasar permasalahan yang ada. "Edukasi kan sebagian dari penegakan, amanat UU ini penegakkan hukum tidak hanya menindak bersalah tapi memberikan edukasi terhadap aturan yang ada," katanya.
Ali menegaskan, lembaga pembentuk peraturan memiliki kewajiban yang jarang dilakukan secara berkelanjutan dan tidak berkomitmen terkait sosialisasi kebijakan, di mana pihak-pihak ini lebih bersemangat membentuk aturan tetapi abai dengan tindakan sosialisasinya.
Sebelumnya, Guru Besar Universitas Sahid Jakarta, Prof. Dr. Ir. Kholil, M.Kom, meminta agar penyusunan Rancangan Permenkes disinkronisasi dengan aturan-aturan yang lebih tinggi hierarkinya. Ia mengingatkan, sinkronisasi peraturan ini pun penting melihat Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto telah mendesak agar mengkaji ulang semua aturan perundang-undangan agar harmonis dan sinkron sebagai langkah menuju Indonesia Emas 2045. Namun, upaya Kemenkes melalui Rancangan Permenkes justru menuai banyak perdebatan dan kekeliruan dalam tahapan hukum.
Prof. Kholil turut melihat adanya risiko persaingan usaha yang tidak sehat jika aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek diterbitkan. Bahkan, menurutnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan dibuat kerepotan dengan kondisi yang muncul akibat dari wacana peraturan inisiatif Kemenkes tersebut.
”Warnanya sama, jadi kalau ada produk yang tidak berkualitas atau dibuat asal-asalan, maka tidak bisa dibedakan. Siapa yang rugi? Konsumen lagi. Berikutnya perlindungan terhadap hukum jadi lemah,” tutupnya.