Pekerja melinting tembakau di gerai Kamarasa yang menjual tembakau dengan berbagai varian di kawasan Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu, 5 Januari 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Nasional

Kemendag Ngaku Tak Dilibatkan Kemenkes Rumuskan Kemasan Polos Rokok

  • Kendati Australia menerapkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, kata Angga, hal ini tidak bisa langsung diadopsi oleh Indonesia tanpa kajian mendalam.

Nasional

Debrinata Rizky

JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengaku belum dilibatkan secara resmi dalam perumusan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari PP Nomor 28 Tahun 2024. 

Hal ini disampaikan oleh Negosiator Perdagangan Ahli Madya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Angga Handian Putra yang menegaskan bahwa pihaknya belum terlibat resmi dalam perumusan RPMK. Sejalan dengan itu, Kemendag juga tengah memberikan perhatian khusus terhadap aturan tersebut, utamanya mengenai kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.

Angga berpandangan kemasan rokok polos tanpa merek tidak hanya mengatur tampilan produk, tetapi juga dapat berdampak pada hak-hak pengusaha, pedagang dan perdagangan internasional. "Kemasan rokok polos tanpa merek ini dapat menyinggung perdagangan dan mengganggu hak-hak pedagang," tegasnya dilansir pada Jumat 20 September 2024.

Ia turut memandang bahwa masih dibutuhkan studi ilmiah lebih jauh terhadap upaya menurunkan prevalensi perokok melalui kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dengan mengacu pada Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana Indonesia sendiri belum meratifikasi aturan global tersebut.

Kendati Australia menerapkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, kata Angga, hal ini tidak bisa langsung diadopsi oleh Indonesia tanpa kajian mendalam. Oleh karena itu, dia  berharap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat membuktikan regulasi melalui penelitian yang solid. "Kami membutuhkan studi ilmiah untuk mendukung efektivitas kebijakan ini. Struktur perdagangan Indonesia berbeda dengan negara lain," ungkap Angga.

Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak boleh asal-asalan dalam mengikuti tren kebijakan dunia, termasuk soal FCTC. "Saya tidak ingin kita sekedar ikut-ikutan, atau mengikuti tren atau karena sudah banyak negara yang sudah ikut sehingga kita juga latah ikut," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden pada tahun 2016 lalu.

Jokowi menambahkan, ikut atau tidaknya Indonesia kedalam FCTC akan terlebih dulu dikaji secara mendalam terutama terkait dampaknya pada tenaga kerja.

Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI), Suhendro mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak ekonomi dari PP 28/2024. Ia menilai larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak akan membebani pedagang, terutama di pasar tradisional yang sudah tertekan oleh perdagangan online.

"Kami mengikuti standar yang ada, tetapi jika larangan itu diterapkan, keberlangsungan hidup pedagang akan terancam," ujarnya.

Suhendro juga menyoroti kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang akan menyulitkan konsumen dalam membedakan rokok legal dan ilegal. Ia berpendapat bahwa perubahan ini dapat merugikan merek-merek tertentu yang memiliki konsumen loyal.

Efektivitas kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan zonasi larangan penjualan produk tembakau ini perlu dipertanyakan. Menurut Suhendro, untuk mencapai tujuan pemerintah soal kesehatan masyarakat perlu kajian mendalam dan peran semua pihak. “Perlu kajian yang mendalam dan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan,” jelas dia.

Menurutnya, masyarakat perlu diberikan edukasi lebih mengenai perbedaan antara produk legal dan ilegal, bukan hanya sekadar menerapkan kebijakan yang membingungkan.

Kedua narasumber sepakat bahwa edukasi kepada masyarakat harus menjadi prioritas. Suhendro menekankan pentingnya kolaborasi dengan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran akan risiko merokok. Sementara Angga berharap agar peraturan yang diterapkan bisa berbasis data dan penelitian yang valid.