Kemenkeu: Kemasan Rokok Polos Menyulitkan Pengawasan Produk Ilegal
- Direktur Jenderal Bea Cukai, Askolani mengatakan, penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan masalah dalam hal pengawasan, terutama terkait upaya membedakan jenis rokok yang beragam.
Nasional
JAKARTA – Sejumlah kementerian menyatakan tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Tak pelak, kebijakan yang diprakarsai oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ini, telah menuai polemik dan sorotan dari berbagai stakeholder lain, menyusul ancaman yang signifikan terhadap keberlangsungan ekonomi nasional.
Kementerian yang tidak terlibat dalam perumusan aturan ini termasuk Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga menyoroti proses yang dianggap tergesa-gesa meskipun ada banyak masukan yang belum diakomodir.
Teranyar, Direktur Jenderal Bea Cukai, Askolani, juga mengungkapkan pandangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait kebijakan kemasan rokok polos yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan.
Askolani menyampaikan, pihaknya telah memberikan masukan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengenai potensi risiko yang muncul dari penerapan kebijakan tersebut. Menurut dia, penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan masalah dalam hal pengawasan, terutama terkait upaya membedakan jenis rokok yang beragam.
"Jika semua rokok dikemas secara polos, akan sulit bagi kami untuk membedakan golongan dan jenis rokok hanya dari kemasan luarnya," ujarnya saat konferensi pers APBN Kita Edisi September 2024 di Jakarta.
Hal ini, menurutnya, dapat menghambat pengawasan yang selama ini dilakukan berdasarkan perbedaan kasat mata pada kemasan. Akibatnya, ancaman rokok ilegal di masyarakat akan meningkat, di mana selama ini Bea Cukai telah berupaya keras dalam menekan peredaran rokok ilegal.
Lebih lanjut, Askolani menjelaskan bahwa pembeda visual pada kemasan menjadi langkah proteksi awal bagi Ditjen Bea Cukai dalam memantau industri hasil tembakau. Jika kemasan rokok dibuat seragam tanpa ciri khas yang jelas, risiko pengawasan dapat meningkat.
"Kita tidak bisa lagi membedakan kemasan secara kasat mata, padahal itu adalah bagian penting dari perlindungan dan pengawasan kami," tambahnya.
Meskipun demikian, ia memastikan bahwa Kemenkeu telah memberikan sejumlah masukan kepada Kemenkes terkait dampak kebijakan ini, termasuk risiko yang dihadapi dalam pengawasan produk rokok di pasaran. "Kami sudah memberikan pandangan kepada Kemenkes mengenai risiko yang mungkin timbul dari penerapan kebijakan ini," pungkasnya.
Terakhir, Askolani menyampaikan bahwa kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Namun aspek pengawasan dan perlindungan hukum menjadi perhatian utama bagi Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Sehingga produk kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek perlu ditinjau kembali demi mengukur seberapa efektif aturan ini.
Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek menimbulkan kecemasan baru di tengah ancaman badai pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2025 seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini.
Tidak main-main, Jokowi menyebut pada tahun depan, 85 juta jiwa akan terancam kehilangan pekerjaan. Padahal, Indonesia tengah menyambut bonus demografi 2030, di mana seharusnya tersedia lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya.
"Kita tahu 96 negara sudah menjadi pasiennya IMF, ini sebuah angka yang menurut saya sangat mengerikan. Oleh sebab itu, kita harus fokus dalam bekerja mengelola ekonomi kita," tuturnya.