Industri

Kemkominfo Blokir 341 Aplikasi Fintech Abal-Abal

  • “Kemarin kami sudah memblokir 275 ditambah 66 (total 341).  Itu semua fintech ilegal, tak ada izin,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Samuel Abrijani Pangerapan, Jakarta, Selasa (13/11/2018). 

Industri
trenasia

trenasia

Author

JAKARTA– Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 341 aplikasi financial technology abal-abal karena merugikan masyarakat dan dapat merusak sistem perekonomian.

“Kemarin kami sudah memblokir 275 ditambah 66 (total 341).  Itu semua fintech ilegal, tak ada izin,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Samuel Abrijani Pangerapan, Jakarta, Selasa (13/11/2018).

Hal itu dilaukan untuk mengantisipasi pergerakan fintech ilegal di dalam negeri. Menurut Samuel, fintech di Indonesia adalah layanan baru yang tengah berkembang dan masih membutuhkan regulasi. “Sekarang kita kasih rambu ke mereka soal apa saja yang dilarang dan diizinkan,” imbuh dia.

Menurut Samuel, sah-sah saja bila masyarakat yang merasa tertipu melaporkan fintech atas kasus penipuan ke pihak kepolisian. “Karena mereka merasa dirugikan, ya bisa lapor polisi. Bisa juga lapor ke OJK,” katanya. 

Samuel berpesan kepada masyarakat agar tidak gampang terpengaruh oleh aplikasi tersebut, meski mereka mengiming-imingi untuk memberikan kemudahan dalam penyaluran kredit. Dia juga meminta agar masyarakat secara detail membaca atau mencari tahu tentang fintech. Adapun yang perlu diperhatikan antara lain, memeriksa nama fintech tersebut di situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Ciri-Ciri Fintech Abal-Abal

Lalu, bagaimana mengetahui apakah aplikasi tersebut merupakan abal-abal. Simak penjelasan dari pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berikut ini. 

Pertama, menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi bahwa fintech ilegal sengaja menyamarkan identitas perusahaannya. Alamat perusahaan itu juga tidak dicantumkan di halaman website atau aplikasinya.  “Alamat tidak akan pernah ketemu. Mereka sejak awal mendirikan memang sudah memiliki niat yang jahat,” kata Hendrikus. 

Kedua, fintech abal-abal biasanya memberikan pinjaman dengan mudah. Misalnya seperti kondisi dimana calon nasabah masih mengisi formulir maka dana bisa langsung dicairkan. “Sangat mudah memberi pinjaman, ini menggiurkan. Kalau fintech legal tidak mungkin semudah itu, akan ditanya kerja di mana, slip gaji, kemudian ada proses selanjutnya,” ujar dia. 

Ketiga, fintech ilegal dapat megakses data kontak dan data pribadi calon nasabahnya. Jadi, ketika kredit macet, mereka akan menelepon dengan cara meneror. Sedangkan untuk fintech legal sangat dilarang untuk mengakses data pribadi pengguna dengan alasan hukum. Fintech legal juga dilarang menagih di luar jam kerja. 

Hendrikus mengatakan, dengan ciri-ciri tersebut, publik diharapkan sudah mengetahui bahaya dari fintech ilegal dan dapat terhindar. ***(GEM)