<p>Karyawan berktivitas dengan latar pergerakan Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu, 14 Oktober 2020. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu bertahan di atas 5.000 dan parkir di zona hijau dengan menguat 0,85 persen ke level 5.176,099 pada akhir sesi. Sebanyak 213 saham menguat, 217 terkoreksi, dan 161 stagnan, IHSG mengalami penguatan seiring dengan sentimen Omnibus Law dan langkah Bank Indonesia untuk pemulihan ekonomi. Selain itu, rencana merger bank BUMN syariah turut mendorong saham-saham perbankan lainnya, dan mengisi jajaran top gainers hari ini. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Gaya Hidup

Kenali Ciri dan Modus Operandi Penjahat Berdasi di Pasar Modal

  • Lantas pertanyaannya, siapa saja sosok penjahat berdasi itu? Ada empat kelompok besar entitas legal yang kerap melakukan pelanggaran di pasar modal. Mereka adalah perusahaan efek, manajer investasi, lembaga penunjang, dan emiten atau perusahaan publik.

Gaya Hidup
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Modus kejahatan di pasar modal Indonesia tidak hanya dilakukan oleh entitas investasi ilegal. Sebab faktanya, ada pula oknum ‘penjahat berdasi’ yang sudah terdaftar dan legal justru melakukan pelanggaran serupa.

Kepala Deputi Pengawasan Pasar Modal 1A OJK Luthfy Zian Fuady menyebut, para bandit ini telah menyebabkan prahara yang hampir sama dengan kerugian pada investasi bodong. Sebagaimana disebutkan Luthfy, total kerugian investasi bodong 10 tahun terakhir telah mencapai Rp92 triliun.

Lantas pertanyaannya, siapa saja sosok penjahat berdasi itu? Menurut Luthfy, ada empat kelompok besar entitas legal yang kerap melakukan pelanggaran di pasar modal. Mereka adalah perusahaan efek, manajer investasi, lembaga penunjang, dan emiten atau perusahaan publik.

“Dari sisi filosofinya lebih jahat (dibandingkan pelaku investasi bodong), karena dia sudah punya izin tapi dia melakukan pelanggaran,” terang Luthfy dalam seminar daring Capital Market Summit & Expo 2020, Kamis 22 Oktober 2020.

Perusahaan efek, sambung Lutfhy, melanggar dengan menciptakan perdagangan semu. Dalam kata lain, oknum ‘garong’ ini sengaja mengerek harga naik maupun turun dengan tujuan untuk memanipulasi nilai saham.

Kejahatan lainnya yang sering terjadi adalah transaksi dan arranger efek tanpa izin yang dilakukan pegawai di perusahaan efek. Malah parahnya, para direksi yang sudah melalui fit and propert test pun kerap berperan dalam kejahatan terencana ini.

“Banyak juga pelanggaran yang dilakukan oleh para direksi ini dalam beberapa kasus yang pernah kita alami,” ungkap Luthfy.

Terkait manajer investasi, mereka kerap melanggar aturan terkait komposisi portofolio dan valuasi efek reksa dana. Dalam beberapa kesempatan, manajer investasi sengaja memindahkan portofolionya untuk mengejar keuntungan ataupun menghindari kerugian yang kerap berbenturan dengan kepentingan nasabah.

Selain itu, para oknum penjahat ini juga kerap memberikan jaminan investasi reksa dana dengan untung tetap (fixed return). Menurut Luthfy, hal ini merupakan pelanggaran mengingat reksa dana pasti menggunakan instrumen investasi yang penghasilannya terus bergerak.

“Sehingga tidak mungkin untuk memberikan janji yang sifatnya fixed return, setiap minggu, setiap hari, setiap bulan,” tegas dia.

Ilustrasi Fintech pinjaman online atau kredit online ilegal. / Foto: Modalrakyat.id
Pemalsuan Laporan Keuangan

Dari sisi emiten, mereka kerap tidak secara gamblang melaporkan keterbukaan informasi di laman Bursa Efek Indonesia (BEI). Padahal, pasar modal merupakan instrumen investasi yang betul-betul membutuhkan informasi sebagai acuan.

Di samping itu, kadang baik secara sengaja ataupun tidak, emiten kerap melampirkan angka yang salah dalam laporan keuangan. Kendatipun pada akhirnya mereka melakukan koreksi ulang, tetapi kesalahan itu sudah kadung membuat investor terjebak untuk memercayai nilai yang dilampirkan pada tahap awal.

Apalagi, terkadang informasi terkait kesalahan itu hanya sampai kepada orang-orang tertentu saja. Tak pelak, hal ini bisa menyebabkan adanya kesenjangan informasi antara satu investor dengan investor lainnya.

“Kesenjangan penguasaan informasi di pasar modal ini tentu bisa kemudian menyebabkan terjadinya perilaku yang bisa merugikan orang lain,” imbuh Luthfy.

Sementara pelanggaran yang kerap dilakukan profesi penunjang seperti akuntan publik maupun perusahaan legal, biasanya tidak jauh dari kesalahan kode etik. Beberapa oknum akuntan publik, sambung Luthfy, boleh jadi bersepakat dengan emiten untuk menyajikan suatu laporan keuangan yang tidak sesuai dengan capain perusahan sebenarnya.

“Entah karena ketidakcermatan dalam melakukan standar profesinya atau memang telah ada unsur kesengajaan di situ,” pungkas Lutfhy. (SKO)