Kenapa Kereta Api Tidak Bisa Berhenti Mendadak? Berikut Penjelasan KAI
- Kereta yang melaju dengan kecepatan 45 km/jam saja akan membutuhkan jarak pengereman untuk berhenti dengan sempurna sejauh 132 meter.
Nasional
JAKARTA - Sejumlah insiden kecelakaan kereta api mendapatkan sejumlah respons dari masyarakat. Salah satunya adalah pertanyaan yang banyak bermunculan di masyarakat mengenai sistem pengereman di transportasi kereta api. Secara sistem pengereman, kereta api membutuhkan jarak pengereman untuk benar-benar berhenti.
Mengutip dari situs resmi KAI, perusahaan mengeluarkan simulasi proses pengereman dan jarak yang dibutuhkan untuk benar-benar berhenti. Semakin cepat laju kereta akan membutuhkan jarak pengereman yang semakin panjang pula. Misalnya kereta yang melaju dengan kecepatan 45 km/jam saja akan membutuhkan jarak pengereman untuk berhenti dengan sempurna sejauh 132 meter. Sedangkan untuk kereta yang melaju dengan kecepatan 90 km/jam membutuhkan jarak pengereman sejauh 480 meter.
“Berbeda dengan transportasi darat pada umumnya, kereta api memiliki karakteristik yang secara teknis tidak dapat dilakukan pengereman secara mendadak. Untuk itu, kami menghimbau masyarakat agar lebih waspada dan berhati-hati sebelum melewati perlintasan sebidang,” ujar VP Public Relations KAI Joni Martinus.
- Sajikan Kentang Goreng dari Tempat Sampah, Pegawai Burger King Ditangkap Polisi
- Penjelasan Aturan OJK Tentang Pemisahan Unit Syariah Perusahaan Asuransi dan Reasuransi
- Jadi Penggerak Ekonomi Kreatif, Menparekraf Ikut Dorong Santri Manfaatkan AI
Melansir dari situs resmi KAI, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kereta api tidak dapat mengerem mendadak:
1. Panjang dan Berat Rangkaian Kereta Api
Hal yang menyebabkan kereta api tidak dapat berhenti mendadak adalah karena panjang dan bobot kereta api. Makin panjang dan berat rangkaiannya, maka jarak yang dibutuhkan kereta api untuk dapat benar-benar berhenti akan semakin panjang.
Di Indonesia, rata-rata 1 rangkaian kereta penumpang terdiri dari 8-12 kereta (gerbong) dengan bobot mencapai 600 ton, belum termasuk penumpang dan barang bawaannya. Dengan kondisi tersebut, maka akan dibutuhkan energi yang besar untuk membuat rangkaian kereta api berhenti.
2. Sistem Pengereman
Pengereman yang dipakai pada kereta api di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem jenis rem udara. Cara kerjanya adalah dengan mengompresi udara dan disimpan hingga proses pengereman terjadi. Saat masinis mengaktifkan sistem pengereman, udara tadi akan didistribusikan melalui pipa kecil di sepanjang roda dan membuat friksi pada roda. Friksi ini yang akan membuat kereta berhenti.
Walaupun kereta api telah dilengkapi dengan rem darurat, rem ini tetap tidak bisa berhenti mendadak. Rem ini hanya menghasilkan lebih banyak energi dan tekanan udara yang lebih besar untuk menghentikan kereta lebih cepat.
Jadi, meskipun masinis telah melihat ada yang menerobos palang kereta, selanjutnya melakukan proses pengereman, maka tetap akan membutuhkan suatu jarak pengereman agar benar – benar berhenti. Hal inilah yang nantinya menyebabkan kejadian tabrakan, apabila jarak pengereman tidak terpenuhi.
Adapun faktor yang berpengaruh pada jarak pengereman yaitu:
1. Kecepatan kereta api. Semakin tinggi kecepatan kereta api, maka semakin panjang jarak pengereman.
2. Kemiringan/lereng (gradient) jalan rel (datar, menurun, atau tanjakan).
3. Persentase pengereman yang diindikasikan dengan besarnya gaya rem.
4. Jenis kereta api (kereta penumpang/barang).
5. Jenis rem (blok komposit/blok besi cor).
6. Kondisi cuaca.
7. Dan berbagai faktor teknis lainnya.
Joni mengatakan, rem pada rangkaian kereta api bekerja dengan tekanan udara. Sistem kinerja rem pada roda dihubungkan ke piston dan susunan silinder. Mekanisme yang mengurangi tekanan udara di kereta api akan memaksa rem mengunci dengan roda.
Jika tekanan dilepaskan secara tiba-tiba, maka akan menyebabkan pengereman yang tidak seragam, sehingga rem bekerja lebih dulu dari titik keluarnya udara. Pengereman yang tidak seragam dapat menyebabkan kereta atau gerbong tergelincir, terseret, bahkan terguling.
“Kami terus mengingatkan kembali, bahwa tata cara melintas di perlintasan sebidang adalah berhenti di rambu tanda "STOP", tengok kiri-kanan, apabila telah yakin aman, baru bisa melintas. Palang pintu, sirine dan penjaga perlintasan adalah alat bantu keamanan semata. Alat utama keselamatannya ada di rambu-rambu lalu lintas bertanda "STOP" tersebut. Jadi apabila masyarakat Ketika di perlintasan sudah melihat adanya kereta api walaupun masih jauh, maka seharusnya berhenti terlebih dahulu hingga kereta api tersebut lewat,” tutup Joni.
Sesuai dengan UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, pasal 114 menyatakan: "Pada perlintasan sebidang antara jalur KA dan jalan, pengemudi wajib:
a. Berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup dan/atau ada isyarat lain.
b. Mendahulukan kereta api, dan
c. Memberikan hak utama pada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.
Apabila pengguna jalan raya tidak mematuhi aturan tersebut, maka sanksi hukum telah menanti, sesuai sanksi hukum yang tertera pada aturan UU No: 22 tahun 2009, pasal 296 yang berbunyi : "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada perlintasan antara kereta api dan jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).