Kepastian Hukum Dulu, Investasi Kemudian
- Pemerintah tak bisa lagi memandang sebelah mata terhadap penegakan hukum. Tanpa itu jangan harap investasi mengalir deras
Kolom
Seorang pengacara senior di laman media sosialnya mengabarkan pertemuannya dengan seorang guru besar hukum dari universitas terkemuka asal Negeri Paman Sam, baru-baru ini. Jauh-jauh terbang dari Amerika Serikat sang professor rupanya ingin mengetahui perkembangan terkini penanganan korupsi di Indonesia. Dan sang advokat pun dengan senang hati menjawab apa adanya semua pertanyaan yang diajukan.
Pembicaraan kedua tokoh tentu tak lepas dari proses pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2019. Sebagaimana diketahui perangkat hukum anyar ini melucuti sejumlah senjata andalan lembaga antirasuah. Mulai dari degradasi kedudukan KPK yang ditempatkan di bawah ranah eksekutif, reaktivasi SP 3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), hingga kewenangan penyadapan.
Sudah begitu, eksekutif dan legislatif agaknya memang sengaja mengangkat Ketua KPK yang sarat akan perkara, yakni Firli Bahuri. Tujuannya apa lagi kalau bukan meruntuhkan wibawa lembaga yang bermarkas di Kuningan, Jakarta. Sebagaimana diketahui, saat ini Filrli berstatus tersangka rasuah dari mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang baru saja kena vonis 10 tahun penjara lantaran dinyatakan terbukti korupsi Rp44 miliar.
Vonis bagi koruptor pun terlalu empuk, tak ada efek jera. Ambil contoh hukuman bagi mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan Achsanul Qosasi yang cuma dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 4 bulan kurungan. Politisi Partai Demokrat dinyatakan bersalah setelah terbukti mengamankan opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan cara menghilangkan temuan indikasi korupsi di proyek pengadaan BTS oleh Kemenkominfo. Sanksi ringan diberikan, kata majelis hakim, karena terdakwa mengembalikan uang Rp40 miliar.
Hukuman enteng bagi Achsanul diawali oleh tuntutan jaksa yang hanya lima tahun, meski UU tentang Tindak Pidana Korupsi menyediakan sanksi maksimal 20 tahun.
Proses pelemahan terhadap KPK juga mengemuka di kasus yang menghadirkan Hakim Agung Gazalba Saleh sebagai terdakwa penerima gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Rp62,8 miliar. Gazalba mendapat hadiah putusan bebas setelah majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyatakan Jaksa KPK tidak berwenang menuntut tanpa delegasi kewenangan dari Jaksa Agung.
Sebuah putusan yang sungguh janggal. Sebab, tak ada ketentuannya jaksa KPK wajib mendapat rekomendasi terlebih dulu dari Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugasnya.
Korting Besar-Besaran Bagi Koruptor
Putusan bebas selanjutnya dihadiahkan bagi terdakwa Soetikno Soedarjo di kasus pengadaan pesawat sub 100 Seater CRJ-1000 dan Turbo Propeller ATR 72-600 untuk PT Garuda Indonesia Tbk. Sebelumnya, jaksa menuntut Soetikno dengan pidana 6 tahun penjara. Soetikno juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti USD 1.666.667,46 dan 4.344.363,19 euro subsider 3 tahun kurungan.
Ada juga bonus bagi Rafael Alun, terdakwa kasus gratifikasi dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Mantan pejabat Ditjen Pajak yang dihukum penjara 14 tahun itu bisa mengambil nafas lega setelah Mahkamah Agung (MA) memerintahkan Jaksa Penuntut Umum mengembalikan uang tunai senilai Rp 219. 862. 905,70 yang berasal dari rekening tabungan atas nama Ernie Meike Torondek, istri Rafael. Demikian halnya satu bidang tanah berikut bangunan rumah di Jalan Simprug Golf, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dengan luas 766 meter persegi, juga atas nama Ernie.
Putusan itu jelas hanya membuat MA selaku benteng peradilan terakhir tak punya wibawa. Padahal, sebelumnya MA sempat ditakuti koruptor. Yakni saat perkara kasasi korupsi ditangani oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar (almarhum). Terdakwa yang berani mengajukan kasasi pasti kapok. Ia niscaya menambah berat hukuman sang koruptor. Tapi sejak dia pensiun, satu per satu koruptor berani mengajukan kasasi dan akhirnya mendapat korting hukuman besar-besaran.
Mengacu pada serangkaian kasus tadi rasanya sudah sepantasnya jika Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia terus melorot. Tahun 2023 IPK Indonesia sebesar 34, sama dengan tahun sebelumnya.
Hanya Peringkat Enam di Asia Tenggara
Sebelum KPK dipimpin oleh Firli, di periode 1995-2022 pencapaian IPK tertinggi Indonesia di tahun 2019 dengan skor 40. Ada pun IPK rata-rata global yakni 43. Artinya, pada masa “jaya” KPK saja Indonesia masih tergabung dalam 2/3 negara yang memiliki IPK di bawah rata-rata global.
Semakin tinggi skor IPK suatu negara atau bersih dari korupsi akses masyarakat terhadap keadilan semakin dekat. Negara-negara itu, antara lain Denmark 90, Finlandia 87, Selandia Baru 85, Norwegia 84, Singapura 83, Swedia dan Swiss masing-masing 82.
Dari 10 negara di Asia Tenggara indeks IPK Indonesia berada di peringkat 6. Paling tinggi Singapura dengan skor 83, Malaysia 47, Timor Leste 42, Vietnam 42, Thailand 36, Indonesia 34, Filipina 33, Laos 31, Kamboja 24, dan Myanmar 23.
IPK tentu berkaitan erat dengan kepastian hukum. Nah sebelum mempertimbangkan untuk mengembangkan usahanya di sebuah negara sudah barang tentu investor menelisik kepastian hukum di sebuah negara.
Mengacu ke IPK, bukan tidak mungkin para investor global berpikir dua kali untuk menanam modal di Indonesia. Salah satu contohnya adalah sikap pengusaha kondang Elon Musk. Meski sudah habis-habisan dirayu oleh Menkomarinves Luhut Panjaitan untuk membuka pabrik mobil listrik Tesla berikut baterainya di Indonesia, taipan asal Amerika Serikat itu tak kunjung menggoreskan tanda tangannya.
Betul, belakangan Musk mau juga berbisnis di Indonesia melalui Starlink yang berjualan internet satelit. Tapi nilai investasi yang dikucurkannya sangat kecil, hanya Rp30 miliar.
Bandingkan dengan yang ditanamkan Musk di Malaysia. Negeri jiran ketiban durian runtuh berupa kepercayaan Musk untuk membangun kantor pusat dan layanan supercanggih di Selangor, impor kendaraan model terbaru, jaringan supercharger di seluruh lokasi strategis hingga pembangunan pusat pengalaman di kawasan metropolitan utama.
Upaya keras pemerintah mengundang investor ke Ibu Kota Nusantara sejauh ini juga belum membuahkan hasil. Iming-iming Hak Guna Usaha selama 190 tahun tak cukup kuat menggoyahkan iman investor agar mau segera membuka keran duitnya.
Alhasil, presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan dilantik tanggal 20 Oktober wajib memberi perhatian khusus pada kepastian hukum. Jangan salah, sang pengacara senior yang tadi diceritakan berdiskusi dengan seorang profesor ilmu hukum dari Negeri Adikuasa itu melayani banyak klien korporat multinasional. Pandangan dan pendapat dia pasti menjadi acuan sang guru besar dalam memberi nasehat bagi pengusaha-pengusaha yang ingin berinvestasi di Indonesia.