Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe (Reuters/Brendan McDermid)
Dunia

Keringanan Utang untuk Negara Miskin Didorong Masuk Transisi Hijau

  • Dia mengingatkan para delegasi bahwa banyak negara miskin kesulitan untuk melunasi utang mereka. Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya pada Mei tahun lalu setelah cadangan dolar negara pulau dengan 22 juta penduduk ini menurun hingga pada titik di mana mereka tidak lagi dapat membayar impor penting seperti bahan bakar dan obat-obatan.
Dunia
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Sri Lanka mengatakan keringanan utang bagi negara-negara berpendapatan rendah seharusnya menjadi bagian dari transisi hijau. Nihilnya tindakan terhadap utang tersebut bisa menjadi ancaman eksistensi bagi Inisiatif Belt and Road China.

Hal itu disampaikan Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe dalam pidato di sebuah panel tentang penghijauan Belt and Road Initiative di Beijing, Rabu, 18 Oktober 2023. Presiden mengatakan Rencana Kemakmuran Iklim Sri Lanka memerlukan investasi sebesar US$26,5 miliar hingga tahun 2042.

Adapun rencana jalan menuju netralitas karbon membutuhkan dana sebesar US$100 miliar hingga tahun 2050.  “Ini adalah beban yang sangat berat bagi Sri Lanka, tetapi kita bertekad untuk memastikan bahwa kita dapat memobilisasi sumber daya,” ujarnya, dikutip dari Reuters, Rabu. 

“Namun, ini tidak berlaku di semua negara, banyak negara yang tidak mampu menemukan sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mendukung transisi ini,” sambungnya.  “Ide-ide kita di bidang ini seharusnya mencakup keringanan utang bagi negara-negara berpendapatan rendah,” tambahnya.

Dia mengingatkan para delegasi bahwa banyak negara miskin kesulitan untuk melunasi utang mereka. Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya pada Mei tahun lalu setelah cadangan dolar negara pulau dengan 22 juta penduduk ini menurun hingga pada titik di mana mereka tidak lagi dapat membayar impor penting seperti bahan bakar dan obat-obatan.

Sri Lanka memiliki utang sekitar US$7 miliar kepada pemberi pinjaman China, baik dalam bentuk pinjaman bilateral maupun komersial. “Jika kita tidak membahas masalah ini tahun ini, maka saya tidak tahu apakah kita bisa mengadakan konferensi lagi dalam waktu tiga atau empat tahun,” tambah Wickremesinghe.

Negara kepulauan ini mencapai kesepakatan dengan Export-Import Bank of China pekan lalu yang mencakup sekitar US$4,2 miliar utang yang belum dilunasi, tetapi masih bekerja sama dengan kreditor bilateral penting lainnya, termasuk Jepang dan India, untuk mencapai rencana restrukturisasi utang.

Wickremesinghe mengatakan, bank pembangunan seperti Asian Infrastructure Investment Bank seharusnya juga memobilisasi dana tambahan.