Ribuan mobil pribadi dan bus berisi pemudik antre menaiki kapal sehingga menimbulkan kemacetan sepanjang jalan menuju Pelabuhan Merak, Banten, Kamis 20 April 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Kerugian Akibat Macet Jakarta Tembus Rp100 T per Tahun, Akibat Salah Strategi?

  • Kemacetan di wilayah Jakarta dan sekitarnya bisa berdampak pada aspek yang luas. Hal itu seperti pemborosan Bahan Bakar Minyak (BBM), oli, kerugian waktu, polusi udara, hingga kesehatan masyarakat.

Nasional

Ilyas Maulana Firdaus

JAKARTA — Kemacetan di wilayah Jakarta dan sekitarnya bisa berdampak pada aspek yang luas. Hal itu seperti pemborosan Bahan Bakar Minyak (BBM), oli, kerugian waktu, polusi udara, hingga kesehatan masyarakat.

Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik (SJBE) Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Zulkifli, merujuk pada data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa total kerugian yang diakibatkan oleh kemacetan mencapai Rp100 triliun per tahun.

“Sumber kerugian pertama berasal dari BBM, oli, dan segala yang terbuang akibat kemacetan mencapai Rp40 triliun,” jelas Zulkifli dikutip Rabu 18 September 2024.

Sementara sisa kerugiannya berasal dari kerugian waktu, polusi udara, dan kesehatan masyarakat yang mencapai angka Rp60 triliun. Sedangkan menurut data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan pada tahun 2021, kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp71,4 triliun per tahun. Kerugian ini berasal dari pemborosan pembakaran BBM dan penurunan produktivitas masyarakat akibat macet.

Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 jumlah kendaraan motor di Indonesia mencapai angka 136 juta kendaraan, secara keseluruhan Indonesia menempati urutan ketiga di Asia Tenggara sebagai negara yang paling banyak menggunakan atau memiliki kendaraan bermotor setelah Thailand dan Vietnam. Selain itu, pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia berada pada tingkat yang tinggi dalam kurun pertahunnya, yakni 10% dalam satu tahun.

Dari aspek kesehatan menurut artikel dari laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2023, hubungan antara lalu lintas dengan penyakit jantung tidak dapat dipungkiri. Kombinasi dari pencemaran lingkungan akibat lalu lintas, paparan terus-menerus dapat menyebabkan mengakibatkan penumpukan partikel berbahaya di paru-paru dan aliran darah.

Strategi Mengurai Kemacetan Lalu Lintas

Untuk mengurai kompleksitas kemacetan di Ibukota, Manajemen Pengendalian Lalu Lintas atau Transportation Demand Management (TDM) sudah dilakukan di beberapa wilayah di Jakarta. Pada tahun 2003 pemerintah memperkenalkan sistem kebijakan 3 in 1 untuk dapat melewati jalan-jalan tertentu.

Namun hal tersebut belum bisa menjawab dan menjadi solusi kemacetan karena muncul joki 3 in 1. Kebijakan 3 in 1 menjadi strategi di mana hanya 3 penumpang termasuk sopir dalam kendaraan yang bisa melewati ruas-ruas jalan tertentu.

Tidak selesai sampai di situ, kebijakan diubah menjadi pembatasan plat nomor ganjil - genap di tahun 2016 hingga sekarang. Namun kebijakan ini malah mendorong masyarakat untuk memiliki lebih dari satu kendaraan untuk mengakali kebijakan tersebut. 

Kebijakan push dan pull dari TDM harus berjalan dengan beriringan, dengan kebijakan yang mempersulit pengguna kendaraan pribadi harus ada kemudahan dalam mencapai akses transportasi umum.

Seperti mengoperasikan Bus Rapid Transit (BRT) dan Mass Rapid Transit (MRT) untuk menunjang kebutuhan mobilisasi masyarakat, serta memberikan subsidi untuk pengguna transportasi umum. 

Selain itu, JakLingko juga diterapkan pada tahun 2020 sebagai alat transportasi umum, dengan upaya lain perluasan trotoar dan jalur pesepeda yang nyaman juga harus didukung. 

Dengan kenyamanan penggunaan alat transportasi non-bbm seperti sepeda menuju akses transportasi umum, hal tersebut dapat menjadi salah satu solusi mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan menghemat bahan bakar. 

Media transportasi penghubung antar kota harus menjadi prioritas yang utama, memberikan kebijakan push yang bersifat membatasi tidak akan menjadi solusi, apabila kebijakan pull tidak memadai.