Pengunjung mengamati mesin produksi tekstil terkini pada pameran Indo Intertex-Inatex 2023 di Jakarta International Expo Kemayoran. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Makroekonomi

Kesenjangan Industri: Tambang Disayang, Tekstil Dilupakan

  • Head of Center of Industry Trade and Invesment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho mengkritik kebijakan pemerintah di mana hiilirsasi pertambangan justru menjadi fokus utama daripada menyelamatkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang tertekan.

Makroekonomi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Head of Center of Industry Trade and Invesment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho mengkritik kebijakan pemerintah di mana hiilirsasi pertambangan justru menjadi fokus utama daripada menyelamatkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang tertekan.

Andry menyayangkan, padahal tekstil juga merupakan bagian hilirisasi migas di mana tekstil adalah produk hilir dari Petrokimia, yang harus didukung juga prioritasnya.

"Tekstil juga termasuk produk hilir Petrokimia harusnya pemerintah juga tak pandang bulu dalam memprioritaskan industri tektil ini ketimbang hiilirsasi pertambangan saja," kata Andry dalam acara diskusi INDEF "Industri Tekstil Menjerit, PHK melejit pada Kamis, 8 Agustus 2024.

Andry menegaskan jika melemahnya industri tekstil akan berdampak kepada kinerja industri Petrokimia. Andry melihat, industri Petrokimia di RI sudah mulai menunjukkan tren perlemahan,  di mana hal ini adalah efek domino dari terkoreksinya industri tekstil dan produk tekstil.

Lebih lanjut, industri pengolahan non-migas, termasuk tekstil, telah memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB/GDP), di mana sektor-sektor lain seperti makanan dan minuman, kimia farmasi dan produk tradisional, elektronik, alat angkutan, tekstil dan logam dasar berkontribusi sekitar 12,3% terhadap GDP tahun 2023.

Ia memprediksi industri logam dasar akan menggeser posisi tekstil sebagai kontributor kelima terbesar terhadap GDP pada tahun 2024. INDEF meminta pemerintah bergerak cepat menyelamatkan industri tekstil yang semakin terkontraksi tiap kuartalnya.

Sulitnya Meningkatkan Pangsa Ekspor

Andy menjelaskan perbandingan pangsa ekspor industri saat ini posisi Indonesia tak sampai 2% dari Bangladesh dan Vietnam. Bedasarkan data INDEF, pangsa pasar Indonesia awalnya 1,66% jadi 1,58% sedangkan Bangladesh di angka 2,43% menjadi 4,72% lalu Vietnam 1,86% menjadi 4,59% pada 2022.

Dari sisi rasio impor terhadap ekspor Indonesia mengalami kenaikan sebelumnya 40,6% menjadi 73,1% disusul Vietnam di angka 61,9% menjadi 42,5% dan Bangladesh 14,2% menjadi 28,5%.

Maka dari itu INDEF mengkritisi, pemerintah seakan memberikan karpet merah terhadap produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia dengan mudah padahal negara lain justru membatasi produk murah membanjiri negaranya.

Dari tahun 2020 hingga 2023 menunjukkan gempuran produk tekstil ilegal di Indonesia justru menjadi-jadi. Pemerintah diminta menjelaskan ke publik modus impor ilegal yang dilakukan seperti apa dan siapa pelakunya tidak hanya membentuk satgas impor ilegal tanpa hasil.