<p>Ilustrasi perlindungan data pribadi. / Pixabay</p>
Fintech

Kesulitan Implementasi UU PDP: Antara Regulasi dan Kesiapan Industri

  • Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), Syahraki Syahrir, mengungkapkan bahwa kendala utama dalam penerapan UU PDP berasal dari kurangnya kesiapan pemerintah dan industri, khususnya sektor teknologi finansial (fintech).

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang mulai berlaku sejak 17 Oktober 2024, terus menjadi sorotan dalam diskusi terkait tata kelola data di Indonesia. Meski regulasi ini bertujuan melindungi data pribadi masyarakat, implementasinya masih menemui berbagai hambatan di lapangan.

Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), Syahraki Syahrir, mengungkapkan bahwa kendala utama dalam penerapan UU PDP berasal dari kurangnya kesiapan pemerintah dan industri, khususnya sektor teknologi finansial (fintech). 

“Apakah semua pelaku fintech telah mematuhi UU ini? Itu masih menjadi pertanyaan besar. Banyak pihak, baik masyarakat maupun pelaku usaha, masih bingung dalam memahami aturan ini,” ujar Raki dalam diskusi Catatan Akhir Tahun IFSoc yang digelar Kamis, 19 Desember 2024. 

Kesenjangan Infrastruktur dan Tantangan Kapasitas Perusahaan

Salah satu tantangan signifikan dalam implementasi UU PDP adalah kurangnya infrastruktur pengelolaan dan pengawasan yang memadai. 

Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk memastikan keberlanjutan regulasi ini. Di sisi lain, pelaku industri fintech juga menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan operasional bisnis mereka dengan persyaratan yang diatur oleh undang-undang.

“Perusahaan fintech besar mungkin memiliki sumber daya yang cukup untuk mematuhi regulasi ini, tetapi perusahaan kecil sering kali kesulitan menyesuaikan diri,” tambah Raki. 

Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan kapasitas antar perusahaan yang berpengaruh pada tingkat kepatuhan terhadap regulasi.

Peran Penting Aturan Turunan dan Pembentukan Lembaga PDP

Ketua IFSoc Rudiantara menekankan pentingnya percepatan pengesahan aturan turunan UU PDP. Regulasi ini, menurut Rudiantara, harus diimbangi dengan pembentukan lembaga yang khusus mengawasi pelaksanaan aturan tersebut.

“Industri fintech sangat bergantung pada kepercayaan pengguna. Tanpa aturan turunan yang jelas dan lembaga pengawas yang kuat, risiko pelanggaran data pribadi dapat meningkat,” tegas Raki. 

Ia menambahkan, lembaga PDP sebaiknya berdiri independen dan langsung berada di bawah Presiden guna menjaga otoritas dan efektivitas penegakan hukum.

Pelaksanaan UU PDP: Pendekatan Bertahap untuk Keseimbangan Regulasi

Pendekatan bertahap menjadi salah satu solusi yang diusulkan oleh para ahli untuk mengatasi tantangan ini. Raki menekankan bahwa kesiapan industri perlu menjadi prioritas dalam pelaksanaan UU PDP. 

“Tidak semua perusahaan mampu langsung memenuhi semua ketentuan UU PDP. Pendekatan yang fleksibel diperlukan agar implementasi dapat berjalan dengan baik,” ujarnya.

Teknologi dan Tata Kelola: Peluang dan Tantangan di Era Digital

Di tengah tantangan penerapan UU PDP, industri fintech di Indonesia juga dihadapkan pada perkembangan teknologi yang pesat. Peningkatan adopsi kecerdasan buatan (AI) menjadi salah satu peluang yang diidentifikasi oleh IFSoc.

 Menurut Eddi Danusaputro, anggota Steering Committee IFSoc, fintech memiliki potensi besar dalam memanfaatkan data untuk pengembangan model AI yang lebih optimal.

Namun, Eddi juga menyoroti perlunya investasi jangka panjang untuk menciptakan inovasi baru. “Saat ini, investasi AI lebih banyak difokuskan pada adopsi teknologi. Ke depan, kita perlu membuka jalan bagi pengembangan model baru yang dapat membawa dampak lebih mendalam,” jelasnya.

Krisis Tata Kelola di Sektor Fintech

Ketua IFSoc, Rudiantara, menyebut tata kelola sebagai salah satu pekerjaan rumah utama bagi industri fintech. Dengan semakin banyaknya pengguna, termasuk ekspansi layanan pembayaran lintas negara, kebutuhan akan regulasi yang seimbang semakin mendesak.

Pinjaman daring (pindar) juga menjadi perhatian utama. Hendri Saparini, anggota Steering Committee IFSoc, menyoroti pentingnya regulasi yang mendukung keberlanjutan industri pindar sekaligus melindungi pengguna. “Platform pindar harus mampu menjaga keseimbangan antara risiko yang mereka tanggung dan perlindungan bagi borrower maupun lender,” ujar Hendri.

Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan: Kunci Keberhasilan

Kolaborasi antara regulator, industri, dan masyarakat menjadi faktor kunci dalam memastikan keberhasilan penerapan UU PDP. Tirta Segara, anggota Steering Committee IFSoc, mengapresiasi langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah, termasuk inisiatif seperti Indonesia Anti Scam Center (IASC) dan Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (GENCARKAN).

Menurut Tirta, diperlukan langkah kolaboratif untuk menghadapi berbagai modus pelanggaran, termasuk judi online. “Kolaborasi antara pemerintah, regulator, dan masyarakat harus terus diperkuat untuk mencegah cepatnya perkembangan modus pelanggaran,” tegasnya.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Kepatuhan UU PDP

Penerapan UU PDP di Indonesia merupakan langkah penting untuk melindungi data pribadi masyarakat. Namun, keberhasilan aturan ini tidak dapat dicapai tanpa upaya kolaboratif antara pemerintah, industri, dan masyarakat. Pendekatan yang bertahap dan fleksibel, ditambah dengan percepatan pengesahan aturan turunan, menjadi langkah strategis untuk mengatasi tantangan yang ada.

Sebagai regulasi yang cukup kompleks, UU PDP membutuhkan dukungan penuh dari semua pihak untuk menciptakan ekosistem digital yang aman dan terpercaya. Dengan demikian, Indonesia dapat terus mendorong pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif dan berkelanjutan.