Akuntan Profesional jadi Pilihan Karier Menjanjikan di Sektor Keuangan Bagi Gen Z dan Milenial
IKNB

Ketidakpatuhan pada Batasan Regulasi Jadi Awal Mula Kejahatan Korporasi di Sektor Keuangan

  • Perusahaan yang kesulitan membayar klaim nasabah lebih sering terjadi pada perusahaan asuransi jiwa. Hal ini karena asuransi jiwa banyak menerima dana nasabah dengan tenor jangka panjang atau bahkan seumur hidup.

IKNB

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Kapler Marpaung, seorang pengamat asuransi, menyatakan bahwa perusahaan asuransi yang gagal membayar klaim nasabah sering kali tidak memiliki batasan jenis investasi yang sesuai dengan regulasi atau tidak mematuhi aturan yang berlaku. 

Menurutnya, perusahaan yang kesulitan membayar klaim nasabah lebih sering terjadi pada perusahaan asuransi jiwa. Hal ini karena asuransi jiwa banyak menerima dana nasabah dengan tenor jangka panjang atau bahkan seumur hidup.

"Di sektor asuransi jiwa, yang menerima banyak dana dari masyarakat dengan tenor jangka panjang atau seumur hidup, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan jenis-jenis investasi yang diperbolehkan serta berapa besarannya," ujar Kapler dalam webinar Membongkar Kejahatan Korporasi di Sektor Keuangan, Rabu, 24 Juli 2024.

Kapler juga menyebut bahwa kondisi keuangan yang tidak sehat dan tidak memenuhi syarat Risk Based Capital (RBC) menjadi salah satu penyebab perusahaan asuransi gagal membayar klaim kepada nasabah, seperti yang terjadi pada kasus Kresna Life. 

Ia menjelaskan bahwa Kresna Life memiliki tingkat RBC di bawah 120%, yang merupakan batas minimum yang ditetapkan.

OJK memberikan sanksi administratif kepada perusahaan yang tidak memenuhi syarat ini dan mewajibkan perbaikan kualitas keuangannya. Jika perbaikan tidak dilakukan, izin usahanya bisa dicabut.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa salah satu indikator untuk menilai kesehatan keuangan perusahaan asuransi adalah tingkat RBC. 

Jika tingkat RBC suatu perusahaan lebih dari 120%, kita bisa nyatakan perusahaan tersebut sehat. Namun, jika di bawah 120%, maka perusahaan tersebut dianggap tidak sehat," tambahnya.

Selain masalah RBC, Kapler juga menyoroti praktik kejahatan di perusahaan asuransi yang melakukan "window dressing" atau memalsukan laporan keuangan agar terlihat sehat. 

Modus Alibaba

Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Hukum Denny Indrayana menyoroti maraknya kejahatan korporasi dengan modus penerima manfaat terakhir atau ultimate beneficial owner di sektor keuangan. 

"Modus ini sering disebut sebagai modus Ali Baba. Ali yang terlihat di depan, sementara Baba yang sebenarnya mengendalikan," ujar Denny.

Denny menjelaskan bahwa modus Ali Baba atau ultimate beneficial owner sebenarnya adalah pemilik manfaat yang seringkali menjadi selubung bagi seseorang untuk melindungi diri dari kejahatan di sektor keuangan. 

Mereka sulit dijangkau oleh hukum karena kejahatan dilakukan secara tidak langsung dan melibatkan pihak-pihak yang tidak tercantum sebagai subjek dalam undang-undang.

"Kita sering mendengar kasus office boy diangkat menjadi direktur, sopir menjadi direktur utama, atau orang-orang yang dijadikan boneka sementara pengendali sebenarnya berada di belakang layar," jelas Denny.

Menurutnya, kejahatan dengan modus penerima manfaat terakhir ini sering terjadi di sektor keuangan. Orang yang mengendalikan korporasi biasanya tidak tercantum dalam dokumen-dokumen resmi, tetapi tetap menerima keuntungan.

Pentingnya Fit and Proper Test dari Regulator

Praktisi pasar modal sekaligus Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menyebut bahwa fit and proper test dari regulator sangat penting untuk mencegah tindak kejahatan korporasi di sektor keuangan.

Salah satu yang perlu didorong adalah persyaratan IPO yang perlu diperketat. Hal ini diharapkan dapat memastikan aliran penggunaan dana IPO tepat sasaran, serta tidak membuka peluang kejahatan sektor keuangan.

“Kalau saya bisa kasih saran ke OJK dan SRO adalah jangan mudah meloloskan saham untuk IPO. Jangan mengejar kuantitas,” kata Budi.

Bukan tanpa alasan saran ini diajukan. Budi mengingat sejumlah kasus penyelewengan dana dari penawaran umum yang mengalir untuk kepentingan pribadi.

Beberapa kasus yang menjadi perhatian Budi mencakup kasus kontrak pengelolaan dana (KPD) di PT Optima Kharya Capital Management, dan PT Katarina Utama Tbk (RINA) yang listing pada 2010.

Kasus Optima Kharya sempat melibatkan AJB Bumiputera dan Dana Pensiun PT Kereta Api Indonesia (KAI). Selain itu, emiten RINA diduga menyalahgunakan dana hasil IPO serta memanipulasi laporan keuangan.

Pada saat itu, dana nasabah KPD (Optima Kharya) tidak masuk ke rekening terpisah, melainkan ke rekening perusahaan, sedangkan untuk Katarina, diduga adanya penyelewengan dana IPO.

Budi berharap otoritas terkait dapat lebih mengawasi tindakan manajemen perusahaan di industri pasar modal. Budi juga menegaskan bahwa sebaiknya orang-orang yang pernah bermasalah harus lebih diperhatikan oleh regulator sehingga mereka tidak bisa lagi memangku jabatan di dewan direksi maupun komisaris.

“Oleh karena itu, fit and proper test di OJK perlu ditegakkan kembali,” ujarnya.