
Ketika Simpul-simpul Kritis Kesenian Terus Dibungkam
- Jika sebelumnya mendengar tentang buku yang dibakar, lukisan yang dilarang, dan pameran seni yang ditutup, teater dilarang tampil, baru-baru ini Sukatani, band punk asal Purbalingga, mengalami pembungkaman terhadap karya seni mereka.
Nasional
JAKARTA – Kebebasan berekspresi merupakan hak setiap orang untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi serta gagasan dalam berbagai bentuk dan melalui berbagai cara. Hal ini mencakup ekspresi lisan, tulisan, materi audiovisual, serta ekspresi dalam bidang budaya, seni, dan politik.
Dilansir dari Amnesty International, istilah ini sudah ada sejak era Polis Athena di Yunani sekitar 2.400 tahun yang lalu. Pada masa itu, kebebasan berekspresi masih sangat terbatas dan hanya diperuntukkan bagi sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekuasaan.
Seiring waktu, warga Athena memperluas konsep kebebasan berekspresi untuk seluruh warga. Berbagai kalangan, termasuk pemimpin, filsuf, cendekiawan, seniman, hingga pekerja, memanfaatkan kebebasan ini untuk memperluas wawasan serta mengkritik pemerintahan Polis.
- Apakah Sisa kWh Hangus Setelah Diskon Tarif Listrik 50 Persen Berakhir?
- Kisruh Kasus Royalti, Berikut Sumber Harta Kekayaan Agnez Mo
- Ojol Minta THR ke Aplikator, Driver Online Siap Diformalisasi?
Konsep ini terus berkembang hingga akhirnya menjadi dasar kebebasan berekspresi yang dikenal saat ini. Namun kebebasan berekspresi masih menghadapi beragam tantangan hingga kini, bahkan untuk negara demokrasi seperti Indonesia.
Jika sebelumnya mendengar tentang buku yang dibakar, lukisan yang dilarang, dan pameran seni yang ditutup, teater dilarang tampil, baru-baru ini Sukatani, band punk asal Purbalingga, mengalami pembungkaman terhadap karya seni mereka.
Sukatani menjadi sorotan warganet setelah mereka menyampaikan permintaan maaf terkait lagu Bayar Bayar Bayar. Melalui akun Instagram resminya, Sukatani menyampaikan permohonan maaf terbuka kepada institusi Polri atas lagu tersebut.
Sukatani menjadi trending di media sosial, terutama setelah lagu Bayar Bayar Bayar dirilis di tengah aksi protes mahasiswa yang turun ke jalan sambil menggaungkan tagar #IndonesiaGelap.

Hal itu direspons YLBHI dengan siap memberikan bantuan hukum kepada band Sukatani. Ini setelah Muhammad Syifa Al Ufti atau Electroguy (gitaris) dan Novi Chitra Indriyaki atau Twistter Angels (vokalis) memutuskan untuk menarik lagu Bayar Bayar Bayar dari seluruh platform streaming digital.
Menurut Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, kritik sosial dalam bentuk apa pun dilindungi oleh undang-undang, bahkan oleh instrumen hukum internasional. Oleh karena itu, tidak seharusnya ada ancaman, pemaksaan, apalagi dipaksa untuk membuka topeng atau meminta maaf.
“Kepada seluruh seniman, jangan takut. Kita harus saling solidaritas dan saling jaga. Kita harus membuktikan Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan berekspresi,” katanya.
Dilansir dari Jurnal Multimedia Dehasen, musik bukan sekadar hiburan, tetapi alat yang efektif untuk menyampaikan pesan moral, sosial, dan politik. Melalui nada dan liriknya, musik dapat memengaruhi pendengar serta menjadi wadah ekspresi jiwa yang mampu menggugah perasaan.
Seni, yang seharusnya menjadi wadah bebas untuk berdialog, justru dipandang sebagai ancaman oleh pihak-pihak yang merasa terusik. Belum hilang di ingatan publik ketika lukisan Yos Suprapto harus diturunkan dari Galeri Nasional karena mengkritik penguasa.
Sejumlah pihak menilai pembatalan pameran Yos Suprapto merupakan bentuk lain dari pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi. Pembungkaman ekspresi pun terjadi di dunia teater.
Pementasan teater berjudul “Wawancara dengan Mulyono” oleh Teater Payung Hitam, yang dijadwalkan berlangsung di Kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Sabtu, 15 Februari 2025, batal digelar.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Indra Ridwan mengatakan, keputusan ISBI Bandung tidak mengizinkan pertunjukan tersebut digelar di lingkungan kampus dengan mempertimbangkan berbagai alasan.
Salah satunya, ISBI Bandung memiliki wewenang untuk memastikan fasilitas kampus digunakan untuk kegiatan akademik dan pengembangan seni budaya yang bersifat konstruktif serta bebas dari konflik kepentingan.
“Termasuk yang bernuansa politik, serta menghindari konten yang berpotensi mengandung pro dan kontra, yang dapat memicu keresahan atau pertentangan di masyarakat.”
Kemunduran HAM di Era Jokowi
Meski era pemerintahan Joko Widodo terus menegaskan perlindungan HAM merupakan salah satu prioritas, kenyataannya terdapat kemunduran dalam penegakan HAM dan reformasi hukum.
Penerapan berbagai peraturan yang represif semakin memperburuk kebebasan sipil dan menciptakan rasa takut dalam menyampaikan pendapat di ranah digital. Ketika masyarakat sipil mengkritik atau menggelar aksi demonstrasi, mereka sering kali menghadapi respons keras dari aparat keamanan.
Amnesty International menyebut aktivis, jurnalis, akademisi, serta ruang-ruang sipil tempat mereka beraktivitas justru menjadi sasaran serangan, bukannya mendapatkan perlindungan dan dukungan dari pemerintah.
Amnesty International pun mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap kemunduran kebebasan sipil. Dalam rentang waktu Januari 2019 hingga Mei 2022, tercatat sedikitnya 328 kasus serangan serta intimidasi, baik secara fisik maupun digital, yang menargetkan masyarakat sipil, dengan total korban mencapai setidaknya 834 orang.
Dilansir dari antikorupsi.org, dalam Pemilu 2014, Jokowi tampil di sampul majalah Time dengan tajuk: “A New Hope.” Optimisme yang mengiringi awal kepemimpinan Jokowi dinilai publik hanya tinggal ilusi. Menjelang akhir masa jabatannya, ia justru terang-terangan melanggar prinsip demokrasi.
Pembatasan ruang kebebasan dan kritik publik oleh pemerintahan Jokowi dianggap merupakan bagian dari upaya untuk memusatkan kekuasaan secara mutlak. Hal ini tak ubahnya Orde Baru.
Selama rezim otoriter Orde Baru (1966–1998), kebebasan berekspresi dalam politik sangat dibatasi. Aktivis dan tokoh oposisi ditangkap bahkan dihilangkan, sementara negara menerapkan kontrol ketat terhadap media serta pembatasan hukum pada gerakan oposisi dan kelompok non-konformis.
- Mengukur Dampak Pelemahan Rupiah Terhadap Pasar Modal
- UNVR dan ANTM Ambles di Penutupan LQ45 Hari Ini
- IHSG Ditutup Menguat, ELIT dan POLU Melesat
Kekuasaan terpusat pada Soeharto tanpa mekanisme pengawasan, yang pada akhirnya melahirkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme secara masif. Hukum di masa Orde Baru dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Sementara kebijakan publik lebih mengutamakan kepentingan penguasa dan kroni-kroninya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pemerintahan Prabowo Subianto masih enggan paham pentingnya HAM. "Padahal pendiri bangsa-bangsa di dunia menjunjung tinggi HAM, baik kebebasan politik maupun keadilan sosial. Tanpa niat baik, ini bisa mengulangi kegagalan pemerintahan sebelumnya,” ujar Usman,