<p>Starbuck, salah satu gerai yang dikelola oleh Mitra Adiperkasa. / Pixabay</p>
Makroekonomi

KFC dan Starbucks Indonesia Boncos di Kuartal III-2024, Melulu karena Boikot?

  • Beberapa emiten di Bursa Efek Indonesia yang terkena aksi boikot produk karena diduga memiliki keterkaitan dengan Israel pada Kuartal III-2024, secara umum mengalami penurunan kinerja yang ditandai dengan menurunnya pendapatan.

Makroekonomi

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA - Sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia yang menjadi sasaran aksi boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel pada Kuartal III-2024, secara umum mencatatkan kinerja yang kurang memuaskan akibat penurunan pendapatan.

PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), pengelola KFC Indonesia, menjadi emiten yang paling terdampak dengan kerugian bersih Rp557,08 miliar, melonjak 266,58% dari Rp152,42 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Kerugian yang membengkak ini dipicu oleh penurunan pendapatan menjadi Rp3,59 triliun, turun 22,28% dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Manajemen KFC Indonesia pun menyebut situasi ini dipengaruhi oleh ketegangan di Timur Tengah.

Selain itu, KFC Indonesia mengungkapkan bahwa kondisi tersebut semakin diperburuk oleh dampak pandemi Covid-19. Hal ini tercermin dalam laporan keuangan perusahaan yang dikenal dengan tagline "Jagonya Ayam," di mana perusahaan terus mencatatkan kerugian sejak 2020.

Diketahui, kerugian awal KFC Indonesia sebesar Rp327 miliar pada 2020 melonjak menjadi Rp407 miliar pada 2021. Meskipun menurun menjadi Rp198 miliar pada 2022 dan Rp152,42 miliar di kuartal III-2023, kerugian kembali naik signifikan pada kuartal III-2024. 

Akibat dari kondisi tersebut, hingga September 2024, KFC Indonesia menutup 47 gerai dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap  2.274 karyawan. Menukil laporan keuangan perseroan, per 30 September 2024, jumlah gerai yang masih beroperasi hanya tersisa 715, turun dari 762 gerai sejak 31 Desember 2023.

PT MAP Boga Adiperkasa Tbk (MAPB), pengelola gerai Starbucks Indonesia yang juga menjadi sasaran boikot karena diduga terafiliasi dengan Israel, melaporkan kerugian bersih sebesar Rp79,13 miliar hingga Kuartal III-2024. Angka ini berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana perusahaan mencatat laba bersih sebesar Rp111,44 miliar.

Penurunan kinerja ini dipicu oleh penurunan penjualan sebesar 21,1%, menjadi Rp2,42 triliun pada kuartal III-2024, dibandingkan Rp3,07 triliun pada periode yang sama tahun 2023. Penurunan paling tajam terjadi pada segmen minuman, yang anjlok 26,4% secara tahunan, dari Rp1,81 triliun menjadi Rp1,33 triliun.

PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) juga mengalami nasib serupa dengan penurunan kinerja yang signifikan. Penjualan bersih perusahaan tercatat sebesar Rp27,4 triliun pada Kuartal III-2024, turun 10,12% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Laba bersihnya juga mengalami penurunan tajam sebesar 28,15% secara tahunan, menjadi Rp3 triliun. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah penurunan emiten yang bergerak di sektor konsumer ini hanya disebabkan boikot produk yang diduga terafiliasi Israel. 

Efek Deflasi 

Pasalnya, selama periode tersebut Indonesia tengah mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024, dengan puncaknya pada September sebesar 0,12% (mtm), menurunkan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 menjadi 105,93.

Badan Pusat Statistik melaporkan deflasi ini dipicu oleh penurunan harga pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, dengan komoditas utama seperti cabai merah, tomat, dan telur ayam ras. Tren ini menjadi yang terpanjang sejak krisis moneter 1998.

Namun, tren deflasi berakhir pada Oktober 2024, dengan inflasi sebesar 0,08% (mtm), meningkatkan IHK menjadi 106,01. Inflasi tahunan tercatat 1,71%, didorong oleh kenaikan harga pada kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya, khususnya emas perhiasan.

Kendati begitu, Dosen UGM Yudistira Hendra Permana belum lama ini menyatakan kondisi deflasi di Indonesia diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun ini.

“Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu menelaah lebih mendalam faktor penyebab deflasi serta memahami efeknya, baik dalam jangka pendek maupun panjang, untuk mengatasi penurunan harga secara umum dan bertahap ini,” jelasnya dikutip dari laman ugm.ac.id.

Yudistira menjelaskan bahwa meskipun terdapat pro dan kontra mengenai deflasi, banyak yang hanya memahaminya sebagai situasi di mana harga barang dan jasa menjadi lebih murah sehingga konsumen diuntungkan. 

Namun, sebenarnya deflasi mencerminkan daya beli masyarakat yang menurun, sementara produsen terpaksa menurunkan harga jual. 

“Situasi ini juga diperburuk oleh penurunan penerimaan pajak akibat melemahnya aktivitas ekonomi, serta adanya risiko meningkatnya angka pengangguran,” paparnya.