<p>Kaleidoskop 2020. Ilustrasi Grafis: Azka Yusra/TrenAsia</p>
Industri

Kaleidoskop 2020 (Serial 2): Aksi Korporasi Kakap dan Bangkitnya Investor Lokal Milenial

  • Kebangkitan bursa ini tidak lepas dari melonjaknya angka investor milenial dalam setahun belakangan. Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan, saat ini 74,83% investor berusia di bawah 30-40 tahun.

Industri
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Tidak ada yang menyangkal bahwa 2020 adalah tahun berat dan penuh tantangan. Pandemi COVID-19 telah membuat seluruh sendi perekonomian ‘terkilir’ dan tak mampu bekerja seperti sedia kala.

Efek pandemi terasa juga di pasar modal Tanah Air. Saat pertama kali kasus COVID-19 hadir di Indonesia pada 2 Maret 2020, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung jeblok ke level 5.361,24.

Respons negatif itu berlangsung cukup panjang hingga IHSG harus tumbang ke titik terendah pada 24 Maret 2020 di level 3.937,63. Walhasil. sejak awal tahun hingga akhir semester I-2020, IHSG pun terperosok 22,13% ke level 4.903,39.

Koreksi itu menjadi yang terparah sejak 18 tahun terakhir. Berdasarkan data Bloomberg, pelemahan IHSG terparah terakhir kali terjadi semester I-2008 IHSG sebesar 14,44%.

Beruntung IHSG bisa kembali bangkit pada semester II-2020. Pada Rabu, 23 Desember 2020, IHSG kembali ke level 6.008,7. Terpaut 4,37% dibandingkan dengan pembukaan bursa awal tahun di level 6.283,58.

Pewarta memperhatikan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jum’at, 25 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Investor Milenial

Kebangkitan bursa ini tidak lepas dari melonjaknya angka investor milenial dalam setahun belakangan. Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan, saat ini 74,83% investor berusia di bawah 30-40 tahun.

Direktur KSEI Supranoto Prajogo menyebut, jumlah investor di Tanah Air telah bertambah 3,61 juta hingga 30 November lalu. Jumlah itu meningkat 45,51% dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah investor tahun lalu yang hanya 2,48 juta.

Proyeksinya, jumlah ini akan bertambah lagi sebanyak 200.000 orang hingga akhir Desember 2020. Sehingga jumlah pertumbuhan investor tahun ini bakal menyentuh 3,8 juta orang hingga akhir tahun.

“Ada penambahan sebanyak 216 ribu orang dalam satu bulan dari Oktober-November 2020,” tutur Supranoto dalam acara kumpul media, Rabu, 23 November 2020.

Tidak hanya milenial, investor domestik secara keseluruhan juga mulai menunjukkan dominasinya di pasar modal. Per November 2020, investor lokal tercatat mengempit aset Rp2.342,82 triliun. Nilai itu setara 56,89% dari total aset keseluruhan di pasar modal.

Nilai itu mulai mengalahkan dominasi investor asing yang kini hanya memiliki total Rp1.775,4 triliun. Jumlah itu setara 43,11% dari total keseluruhan aset pasar modal.

Kebangkitan investor lokal ini mampu mendorong laju bursa hingga hampir menyentuh level awal tahun kendati banyak investor asing mulai melarikan dananya. Tercatat hingga 23 November 2020, net foreign sell (NFS) di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mencapai Rp47,74 triliun.

Komisaris Utama PT Hanson International Tbk. (MYRX) Benny Tjokrosaputro. / Hanson.co.id
Akhir Kasus Jiwasraya

Selain kebangkitan investor milenial, keputusan pailit juga sempat mewarnai perdagangan efek tahun ini. Salah satu yang paling banyak menyerap perhatian adalah keputusan pailit terhadap PT Hanson International Tbk (MYRX).

Kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang melibatkan Direktur Utama Hanson International Benny Tjokropsaputra alias Bentjok menjadi awal dari keputusan pailit ini. Dalam kasus ini, kerugian Jiwasrya mencapai Rp13 triliun.

Dari kerugian itu, Kejaksaan Agung pun mengambil keputusan untuk menyita seluruh aset Hanson International termasuk 5.000 hektare tanah milik perseroan. Atas penyitaan itu, Hanson International masuk dalam gugatan pailit di Pengadilan negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada 12 Agustus 2020.

“Menyatakan PT Hanson International Tbk selaku termohon PKPU/debitor pailit dengan segala akibat hukumnya,” ungkap Direktur Hanson International Hartono Santoso dalam surat resminya, Senin, 31 Agustus 2020.

Penandatanganan Perjanjian Jual Beli (Sale and Purchase Agreement/SPA) tahap I untuk pengalihan kepemilikan sebanyak 1.911 dari total 6.050 menara telekomunikasi Telkomsel ke Mitratel di Jakarta, Selasa (20/10). / Dok. Telkom
Jual-beli Tower

Dalam setahun belakangan, juga telah terjadi aksi besar-besaran pengambil-alihan tower pemancar atau base transceiver station (BTS) oleh emiten-emiten menara di Indonesia. Aksi pertama dilakukan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR).

Melalui anak usahanya PT Professional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), TOWR telah mengakuisisi 1.000 unit tower milik PT Indosat Tbk (ISAT) senilai Rp1,95 triliun. Selain itu, TOWR juga mengakuisisi sebanyak 1.646 tower milik PT XL Axiata Tbk (EXCL) pada Oktober 2020.

Dengan pembelian ini, maka TOWR bersama anak-anak usahanya pun kini memiliki total 21.283 menara. Ke depan, tidak menutup kemungkinan jika TOWR pun akan melakukan pembelian menara lagi.

“Kami juga terbuka untuk mengakuisisi menara baru jika ada pihak yang menawarkan,” terang Wakil Direktur Sarana Menara Nusantara Adam Ghifari dalam paparan publik Agustus lalu.

Setali tiga uang dengan TOWR, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) juga berencana untuk mengakuisisi 3.000 menara milik PT Inti Bangun Sejahtera Tbk (IBST). Total transaksi untuk pengambilalihan menara ini mencapai US$280 juta setara Rp3,97 triliun.

CEO Tower Bersama Infrastructure Herdi Wijaya Liong mengungkapkan, akuisisi ini bakal menambah kepemilikan menara telekomunikasi perseroan menjadi lebih dari 19.000 sites.

“Yang segera akan menghasilkan pendapatan dan EBITDA yang lebih tinggi,” kata Herdi dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa, 22 Desember 2020.

PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah (BNIS) telah mempublikasikan Ringkasan Rancangan Penggabungan Usaha (merger) / Dok. Kementerian BUMN
Merger dan Holding BUMN

Di luar itu, aksi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir melakukan penggabungan ataupun holding emiten pelat merah juga turut menjadi perhatian. Tercatat, ada dua aksi merger terbesar BUMN yang terjadi tahun ini.

Pertama, holding farmasi yang menggabungkan PT Bio Farma (Persero), PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF), PT dan Indofarma (Persero) Tbk (INAF) pada akhir Januari lalu. Bio Farma menjadi induk atas holding ini.

Aksi kedua adalah merger terbesar bank umum syariah (BUS) anak usaha BUMN yang menggabungkan PT Bank BRISyariah Tbk (BRIS), PT Bank BNI Syariah (BNIS), dan PT Bank Syariah Mandiri (BSM). Dalam hal ini, Bank BRISyariah terpilih sebagai entitas yang menerima penggabungan (surviving entity).

Dengan penyatuan bank-bank syariah ini, kata Erick, Indonesia resmi memiliki salah satu bank syariah dengan aset terbesar di dunia. Aksi merger ini akan menghasilkan total aset Rp245,87 triliun.

Aset terbesar berasal dari BSM dengan total Rp114,4 triliun. Kemudian BNIS dengan aset Rp50,78 triliun. Lalu BRIS dengan total Rp49,6 triliun.

“Saat ini kita masih tertinggal dari negara islam lainnya karena itu kita harus bangkit. Namun kita juga harus yakin, bila kita bersatu insya Allah kita mampu jadi pusat ekonomi dan keuangan syariah di dunia,” kata Erick.

Bank hasil merger itu bakal menempatkan tiga bank pelat merah sebagai pemegang saham mayoritas. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) sebesar 51,2% dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) sebanyak 25%. Lalu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) 17,4%, DPLK BRI Saham Syariah 2% dan publik 4,4%.

“Struktur pemegang saham tersebut didasarkan atas perhitungan valuasi dari masing-masing bank peserta penggabungan,” tulis siaran pers yang diterima TrenAsia.com.

Kantor Pusat PT Bank Jago Tbk yang sahamnya dibeli Gojek Indonesia / Dok. Bank Jago
Aksi Akhir Tahun

Menjelang akhir tahun, pemerintah memberikan dana talangan kepada dua perusahaan BUMN, yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS). Total dana talangan bagi kedua perusahaan itu Rp11,5 triliun.

Garuda Indonesia mendapatkan dana Rp8,5 triliun dengan jangka waktu jatuh tempo 3 tahun. Krakatau Steel mendapatkan dana Rp3 triliun dengan jatuh tempo 7 tahun.

Skema pencairan dana dilakukan dengan skema obligasi wajib konversi (OWK) atau mandatory convertible bond (MCB). PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) alias SMI menjadi mediator pemerintah dalam pencairan dana ini.

Selain pencairan dana talangan, aksi akuisisi saham PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek Indonesia) ke PT Bank Jago Tbk (ARTO) juga mewarnai penutup tahun. Melalui anak usahanya, PT Dompet Karya Anak Bangsa (GoPay), Gojek membeli 1,96 miliar lembar saham ARTO dengan nilai Rp1.150 per lembar atau total Rp2,25 triliun.

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo mengungkapkan, investasi ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat pertumbuhan dan keberlanjutan bisnis Gojek. Diharapkan, dengan kemitraan ini maka Gojek dapat memberikan solusi keuangan yang lebih inklusif melalui teknologi.

“Bank berbasis teknologi seperti Bank Jago akan memperkuat ekosistem Gojek sekaligus akan membuka akses yang lebih luas kepada layanan perbankan digital bagi masyarakat Indonesia,” tutur Andre dalam siaran pers yang diterima TrenAsia.com, Jumat, 18 Desember 2020.

Tampaknya, tahun 2020 yang menjadi periode sulit perekonomian dunia, justru memiliki banyak peluang. Terbukti, dari bangkitnya jumlah investor domestik, terutama milenial, serta banyaknya aksi-aksi korporasi kakap di pasar modal. (SKO)

Artikel ini merupakan sambungan dari serial Kaleidoskop 2020 sebelumnya:

  1. Kaleidoskop 2020 (Serial 1): Pandemi dan Jalan Terjal Ekonomi RI