Bataafsche Petroleum Maatschappij
Nasional

Kilas Balik Korupsi Pertamina di Tahun 1976: Rugikan Negara hingga Puluhan Miliar Dolar AS

  • Dugaan korupsi yang dilakukan oleh petinggi-petingginya di tahun 1976 yang menimbulkan kerugian negara mencapai puluhan miliar dolar Amerika Serikat.
Nasional
Rumpi Rahayu

Rumpi Rahayu

Author

JAKARTA - PT Pertamina (Persero) hingga saat ini masih menduduki posisi sebagai Badan Usaha Milik Usaha (BUMN) terbesar dengan perolehan laba pada 2022 mencapai US$3,8 miliar.

Kesuksesan Pertamina hingga mencapai di titik sekarang tentu tidak diperoleh begitu saja, terdapat perjalanan dan lika-liku Pertamina termasuk dugaan korupsi yang dilakukan oleh petinggi-petingginya di tahun 1976 yang menimbulkan kerugian negara mencapai puluhan miliar dolar Amerika Serikat.

Semuanya berawal di tahun 1957, yaitu ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) A.H. Nasution menggalakkan program dwifungsi ABRI. Ia memberikan mandat kepada Ibnu Sutowo, yang kala itu menjabat sebagai Deputi II Bidang Operasi Kepala Staf Angkatan Darat merangkap Deputi Pelaksana Perang Pusat untuk memimpin PT Eksplorasi Tambang Sumatra Utara (perusahaan Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappi) yang kemudian dikenal sebagai Perusahaan Minyak Nasional (Permina).

Karena tak memiliki pengalaman di dunia perminyakan, langkah pertama yang dilakukan oleh Ibnu Sutowo adalah merekrut staf-staf terlatih salah satunya adalah Mayor Johanes Marcus Pattiasina yang telah makan banyak asam garam di dunia perminyakan.

Melansir dari buku Riwayat Hidup Ibnu Sutowo yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo, Permina bukanlah perusahaan yang mentereng. Bahkan kantornya pun masih menumpang di perumahan militer kala itu. Produksinya juga tak seberapa.

“Membangun PT Permina pada hakekatnya berbicara soal cita-cita, soal ambisi. Permina dalam tahun 1957 hanyalah sebuah nama perusahaan minyak saja, dengan lapangan-lapangan tua dan terlantar, peralatan dan pabrik-pabrik yang hancur sebagai akibat perang dunia kedua, perang kemerdekaan dan pembrontakan. Suatu perusahaan dengan karyawannya yang terpecah-pecah oleh ideologi. Inilah wajah Permina,” ungkap Ibnu Sutowo dalam buku Saatnya Saya bercerita (2008) seperti dilansir dari laman website voi.id.

Permina secara perlahan mulai tumbuh hingga pada tanggal 20 Agustus 1968, Permina dan PN Pertamin resmi digabung menjadi satu Perusahaan Negara (PN) sekarang dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bernama Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina). Soeharto kala itu menunjuk Ibnu Sutowo sebagai Direktur PN.

Pertamina di tangan Ibnu Sutowo terus tumbuh hingga menjadi perusahaan raksasa. Terlebih ketika harga minyak mentah tiba-tiba melonjak hingga tiga sampai empat kali lipat akibat perang Arab-Israel yang meletus pada bulan Oktober 1973.

Pertamina semakin berjaya, kesuksesan Pertamina membuatnya dilibatkan hampir di semua proyek pemerintah. Melansir dari buku Kartika Thahir, Ibnu Sutowo dan Pertamina, selain berfokus pada bisnis minyak. Pertamina juga mulai merambah ke proyek-proyek lain dari membuat sawah, membangun gedung. Sebut saja Bina Graha, Balai Sidang Senayan, Gedung Perkantoran Graha Purna Yudha, hingga bangunan-bangunan kecil seperti pengadilan negeri di Jakarta kesemuanya dibangun oleh Pertamina.

Tak hanya di Jakarta, Pertamina juga mulai mengembangkan bisnis nonminyak di beberapa kota lain bahkan negara lain seperti di Pertamina Cottage di Bali, Hotel Mewah Patra Jasa di Semarang, Gedung Pertemuan Banua Patra di Balikpapan, hingga Restoran Mewah Ramayana di New York, Amerika Serikat.

Beragam proyek ambisius lain yang dipercayakan pemerintah untuk digarap Pertamina juga terus bertambah seperti proyek pabrik baja di Cilegon bernama Krakatau Steel. hingga kawasan industri modern di Batam.

Selain itu, Pertamina juga merencanakan pembuatan sebuah pabrik pupuk di atas dua buah kapal yang akan dilabuhkan di pantai Bontang, Kalimantan Timur dengan target menghasilkan pupuk sebanyak 560.000 ton pertahun. Jika memang berhasil pabrik ini akan menjadi satu-satunya pabrik pupuk terapung. Kontrak pembelian dua kapal bekaspun telah ditanda tangai oleh Ibnu Sutowo di bulan Maret 1974.

Pada bulan Maret 1975, kehancuran Pertamina bermula. Sebuah bank di Texas, Amerika Serikat bernama First Republic Bank of Dallas mengumumkan bahwa Pertamina tak mampu membayar utang jangka pendek di bank tersebut. Jumlahnya tak besar, hanya jutaan dolar namun ini hanyalah permulaan. Satu per satu bank dari berbagai penjuru dunia termasuk juga kontraktor dalam negeri mulai berdatangan menagih utang Pertamina. Total keseluruhan hutang pertamina mencapai 10,5 miliar dolar Amerika Serikat. Jumlah ini tentu sangat tak sebanding dengan pendapatan Pertamina yang hanya mencapai 400 juta dolar per tahun.

Kerugian Pertamina ini dianggap sebagai buntut dari praktek penyimpangan, dugaan korupsi, hingga pemborosan seperti gaya hidup petinggi Pertamina yang serba mewah, terutama Ibnu Sutowo yang kerap mencampur adukkan urusan pribadi dengan Pertamina, peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Pertamina yang selalu digelar di luar negeri, hingga pemberian hadiah-hadiah mahal yang diberikan Ibnu Sutowo kepada orang yang ia sukai sesuka hatinya.

Salah satu tokoh yang getol mengkritisi Ibnu Sutowo adalah Mochtar Lubis, seorang wartawan senior yang juga pemimpin redaksi di Surat Kabar Harian Indonesia Raya.

Melansir dari laman website Historia, sepanjang tahun 1970-1973, Indonesia Raya gencar memberitakan sepak terjang Ibnu ketika mengelola Pertamina. Termasuk keuangan Pertamina yang tidak transparan dan Ibnu Sutowo yang kerap menggunakan kas Pertamina untuk keuangan pribadinya.

“Koran Indonesia Raya juga menulis, katanya, Pertamina dikuasai oleh Ibnu Sutowo bersama segelintir orang dalam yang memperkaya diri sendiri dan merugikan negara. Kerja Pertamina, katanya pula, melompat-lombat sampai ke luar bidang minyak, hanya untuk maksud memperkaya diri pribadi dan merintangi inisiatif swasta.”

Tak berhenti sampai di situ, ternyata Pertamina juga menunggak utang yang cukup besar pada kas negara. Inilah yang akhirnya membuat Bank Indonesia mengambil alih seluruh perkara utang agar kepercayaan dunia luar pada Indonesia tidak runtuh dalam sekejap.

Pada tahun 1976, Pertamina berangsur-angsur pulih dari krisis yang menjeratnya, akhirnya Ibnu Sutowo bersama dengan tujuh direktur Pertamina yang lain diberhentikan dari jabatannya.

Ibnu Sutowo tidak dikenai pidana apapun karena Pemerintah beranggapan bahwa krisis Pertamina adalah masalah yang muncul karena kesalahan manajemen bukan kriminal.