Kilas Balik Program Panca Usaha Tani, Swasembada Pangan Era Soeharto
- Keberhasilan ini mengakhiri ketergantungan Indonesia pada impor beras yang berlangsung lama dan mengubah negara ini dari pengimpor terbesar menjadi produsen yang mampu mencukupi kebutuhan domestik.
Nasional
JAKARTA - Istilah swasembada pangan kembali mengemuka setelah Presiden Prabowo Subianto mencanangkan ketahanan pangan nasional. Dalam sejarah Indonesia, era pemerintahan Soeharto mencatatkan pencapaian yang monumental dalam bidang ketahanan pangan yakni swasembada beras pada tahun 1984.
Keberhasilan Presiden ke-2 Indonesia ini tidak hanya mengangkat status Indonesia di mata dunia, tetapi juga menjadi dasar bagi upaya kemandirian pangan nasional.
Saat itu, swasembada pangan menjadi prioritas utama pemerintahan Soeharto sebagai bagian dari strategi untuk mengatasi krisis pangan, menurunkan inflasi, dan memastikan kestabilan politik serta kesejahteraan rakyat.
Fokus Pembangunan Pertanian Melalui Repelita dan Panca Usaha Tani
Sejak awal kepemimpinannya pada tahun 1966, Soeharto telah menegaskan komitmennya pada sektor agraria. Melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), pemerintah menerapkan berbagai program intensifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya beras.
Langkah utama dalam strategi ini adalah penerapan Panca Usaha Tani, yaitu lima prinsip utama yang dijalankan oleh petani untuk meningkatkan produktivitas: penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat, pengendalian hama, serta pengairan atau irigasi yang baik. Program ini merupakan implementasi dari revolusi hijau di Indonesia yang pada saat itu sangat digalakkan.
Subsidi Pupuk dan Fasilitasi Pertanian
Pemerintah Soeharto juga membangun infrastruktur pertanian yang kuat untuk mendukung swasembada pangan. Subsidi pupuk dan pestisida, ketersediaan kredit bank bagi petani, serta penyediaan varietas unggul seperti Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW) adalah beberapa kebijakan yang mendorong keberhasilan petani dalam memaksimalkan hasil pertaniannya.
Pabrik pupuk didirikan di berbagai daerah, sementara itu koperasi dan Bulog (Badan Urusan Logistik) juga diperkuat untuk menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pangan.
Program Penyuluhan dan Pembangunan Infrastruktur Irigasi
Di tingkat desa, teknologi pertanian modern diperkenalkan kepada petani melalui program penyuluhan dan kegiatan Kelompencapir yang menjadi wadah komunikasi antara petani dan pemerintah. Di samping itu, pembangunan infrastruktur irigasi yang masif pada era Soeharto menciptakan sistem pengairan yang andal bagi lahan pertanian, yang hingga kini masih diakui sebagai salah satu infrastruktur irigasi terbaik di Indonesia.
Keberhasilan ini mengakhiri ketergantungan Indonesia pada impor beras yang berlangsung lama dan mengubah negara ini dari pengimpor terbesar menjadi produsen yang mampu mencukupi kebutuhan domestik. Prestasi ini pun mendapatkan pengakuan internasional.
Pidato di Konferensi FAO ke-23: Pengakuan Dunia Terhadap Kinerja Soeharto
Keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada beras mengundang perhatian dunia. Pada tahun 1985, Soeharto diundang untuk berpidato di Konferensi FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) ke-23 di Roma, Italia.
Dalam pidatonya, Soeharto menyatakan bahwa kesuksesannya adalah hasil kerja sama dari berbagai pihak, terutama para petani Indonesia.
“Jika pembangunan pangan kami dapat dikatakan mencapai keberhasilan, maka hal itu merupakan kerja raksasa dari suatu bangsa secara keseluruhan,” ujar Soeharto kala itu di Roma, tahun 1985, dikutip dari laman HMSoeharto.id, Selasa, 5 November 2024.
Soeharto juga menekankan pentingnya program keluarga berencana untuk menyeimbangkan kenaikan produksi pangan dengan pengendalian jumlah penduduk.
"Kenaikan produksi pangan tidak akan banyak artinya jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali," tambah Soeharto.
Pemerintahan Soeharto saat itu memberikan sumbangan 100.000 ton beras kepada FAO untuk korban kelaparan di Afrika. Oleh karena itu, Direktur Jenderal FAO, Dr. Eduard Saoma mengapresiasi kesuksesan Indonesia dalam menciptakan ketahanan pangan yang mandiri.
Dalam pidatonya di FAO, Soeharto menekankan bahwa bantuan pangan dari negara maju seharusnya mendorong negara berkembang untuk mencapai swasembada, bukan menciptakan ketergantungan.
Dia juga mengangkat isu pentingnya keadilan dalam perdagangan internasional dan akses ekspor komoditas pertanian dari negara berkembang. Soeharto menyoroti bagaimana perlunya negara maju menghapuskan kebijakan proteksionisme demi kemajuan ekonomi di negara berkembang.