Suasana salah satu gerai apotek Kimia Farma, Kamis 19 Agustus 2021. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Kimia Farma Kurangi Pabrik Obat, DPR: Hebat, Seperti Tekan Tombol Saja

  • Langkah Kimia Farma untuk mengurangi jumlah pabrik dari sepuluh menjadi lima dengan alasan kerugian yang meningkat dinilai tidak tepat.
Nasional
Alvin Pasza Bagaskara

Alvin Pasza Bagaskara

Author

JAKARTA - Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengkritisi rencana emiten BUMN farmasi PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) untuk menutup lima fasilitas pabrik obat dalam 3-5 tahun mendatang. Pasalnya, langkah ini diperkirakan akan banyak memiliki dampak negatif, termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK).

Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, M Husni, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Rabu, 19 Juni 2024, menyatakan bahwa langkah Kimia Farma untuk mengurangi jumlah pabrik dari sepuluh menjadi lima dengan alasan kerugian yang meningkat tidak tepat.

“Saya melihat Kimia Farma mempunyai 10 pabrik dan mau ditutup lima, hebat nih Pak, bangun pabrik setengah mati, tetapi meninggalkannya seperti tekan tombol saja," kata Husni dalam RDP Komisi VI DPR RI dikutip pada Kamis, 20 Juni 2024. 

Husni bilang penutupan lima pabrik Kimia Farma dalam lima tahun ke depan justru merupakan langkah yang tidak efisien. Mengingat kebutuhan obat bagi masyarakat Indonesia yang mencapai 270 juta penduduk, industri farmasi diharapkan tetap tumbuh. 

Selain itu, Husni juga menyoroti bahwa harga obat-obatan yang diproduksi Kimia Farma cukup tinggi dibandingkan dengan harga obat di tempat lain. "Jadi tidak ada alasan Kimia Farma merugi, cuma akibat dari manipulasi keuangan dan sebagainya, ya inilah yang terjadi. Apalagi waktu masa Covid, hampir di seluruh dunia nggak ada industri farmasi yang sakit, Pak," jelasnya. 

Di sisi lain, Anggota Komisi VI DPR, Sonny T. Danaparamita, menyatakan bahwa pengurangan lima pabrik farmasi akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dapat memperburuk kondisi industri farmasi. 

"Ada 10 pabrik yang akan dikurangi menjadi lima, dan terakhir disebutkan rencana pembangunan pabrik radiofarmasi. Kami mempertanyakan apakah ini benar-benar sesuai kebutuhan atau hanya sekadar proyek. Jangan sampai kami diberi peluang untuk menduga-duga sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi," ujarnya.

Dalih Efisiensi 

Sementara itu, Direktur Utama Bio Farma Group, Shadiq Akasya, yang merupakan Induk Holding BUMN farmasi itu, menjelaskan bahwa efisiensi fasilitas manufaktur Kimia Farma merupakan bagian dari langkah reorientasi bisnis. 

Shodiq menuturkan pihaknya akan melakukan penataan fasilitas produksi dan rantai pasokan terpadu serta mengidentifikasi dan menata fasilitas produksi Kimia Farma Group, termasuk menambahkan fasilitas baru di Bio Farma.

"Dengan jumlah pabrik yang ada sekarang, yaitu 10 pabrik, kami merencanakan penataan untuk 3-5 tahun ke depan. Kami berharap lima pabrik sudah cukup untuk mengoptimalkan produksi," jelasnya.

Emiten bersandikan KAEF ini memutuskan untuk melakukan efisiensi pabrik guna menekan beban perseroan yang terus meningkat. Meskipun pendapatan sepanjang 2023 tercatat naik, KAEF masih membukukan rugi bersih sebesar Rp1,48 triliun.

Sebelumnya, Direktur Utama KAEF, David Utama, menyatakan bahwa dari 10 pabrik obat yang dimiliki perseroan saat ini, akan dirampingkan menjadi lima pabrik sebagai bagian dari mekanisme efisiensi. 

"Efisiensi pabrik adalah keputusan yang harus diambil, suka atau tidak suka. Dari sisi komersial masih ada pelemahan, dan biaya non-operasional sangat memberatkan. Ini menjadi salah satu penyebab kinerja kami terpuruk," ujar David di Jakarta belum lama ini.

Berdasarkan laporan keuangannya, KAEF mencatatkan beban pokok penjualan sebesar Rp6,86 triliun, naik 25,83% dari tahun 2022 yang sebesar Rp5,45 triliun. Kondisi keuangan yang buruk ini berdampak pada harga sahamnya, yang tercatat telah melemah sebesar 61,25% secara year-to-date (ytd).

Pada perdagangan Rabu, 19 Juni 2024, saham KAEF ditutup melemah sebesar 4,27% menjadi Rp560 per saham. Sementara itu, PER (Price to Earnings Ratio) dan PBVR (Price to Book Value Ratio) dari emiten farmasi dengan market cap sekitar Rp3,12 triliun tercatat masing-masing -2,10 dan 0,53.