Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Nasional

Kinerja APBN 2021 Tumbuh Positif, Ekonom Celios Dorong Pemerintah Optimalisasi PNBP

  • Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mendorong agar pemerintah perlu mengoptimalisasi potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Nasional

Daniel Deha

JAKARTA -- Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2021 bekerja sangat keras sehingga terkonsolidasi cukup dalam. Hal itu terbukti dari defisit APBN yang berada di bawah outlook dan realisasi penerimaan negara yang melampaui target.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN 2021, 3 Januari 2022, mengatakan bahwa defisit APBN 2021 tercatat sebesar 4,65% atau sebesar Rp783,7 triliun. Realisasi defisit tersebut lebih kecil Rp222,7 triliun dari target APBN 2021 yang sebesar 5,7% dari PDB atau sebesar Rp1.006,4 triliun.

Sementara itu, realisasi penerimaan negara melampaui target menjadi Rp2.003,1 triliun atau 114,9% dari target APBN 2021 yang sebesar Rp1.743,6 triliun. Capaian tersebut tumbuh 21,6% lebih tinggi dibandingkan APBN tahun 2020 yang sebesar Rp1.647,8 triliun.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mendorong agar pemerintah perlu mengoptimalisasi potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Pada tahun 2021, PNBP mencapai Rp452 triliun atau sekitar 151,6% dari target APBN. Realisasi PNBP ini tumbuh 31,5% dibandingkan tahun 2020 yang sebesar Rp343,8 triliun.

Menurut Bhima, kinerja ekonomi tahun 2021 cukup ditopang oleh tumbuhnya PNBP dari sektor non migas akibat booming harga komoditas di pasar internasional. Beberapa komoditas unggulan Indonesia yang mengalami kenaikan harga di pasar internasional seperti batu bara, sawit, timah, nikel, tembaga dan bauksit.

"Di 2022, meskipun ada kenaikan harga komoditas tapi juga ada kebijakan yang mempengaruhi penerimaan dari PNBP. Salah satunya adalah pelarangan ekspor batu bara sepanjang Januari," katanya kepada TrenAsia.com, Rabu, 5 Januari 2022.

Adapun kebijakan pelarangan ekspor batu bara diterbitkan baru-baru ini oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Pelarangan tersebut berlaku bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), IUP Khusus tahap kegiatan Operasi Produksi, IUPK Sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Kebijakan tersebut diambil karena menipisnya ketersediaan batu bara dalam negeri yang akan dipasok ke sejumlah pembangkit listrik milik PT PLN (Persero) dan Independent Power Producer (IPP). Kurangnya pasokan ini akan berdampak kepada lebih dari 10 juta pelanggan PLN di seluruh Indonesia.

Bhima menegaskan bahwa tahun ini pemerintah tidak perlu lagi terlalu bergantung pada pergerakan harga komoditas yang melambung. Musababnya, harga komoditas masih fluktuatif dan bisa sewaktu-waktu kembali normal.

"Harga komoditas juga masih belum dipastikan, apakah ini supercylce commodity yang artinya pergerakan harga komoditas hanya dalam tempo yang singkat atau bertahan hingga akhir tahun. Jadi nggak bisa bergantung dari komoditas," tandasnya.

Optimalisasi Potensi PNBP

Bhima mengatakan pemerintah perlu melakukan diversifikasi PNBP sehingga tidak terus bergantung pada harga komoditas, migas, Badan Layanan Umum (BLU), dan PNBP lainnya.

Ada beberapa sektor potensial yang bisa mengerek PNBP Indonesia tahun ini. Yang pertama adalah sektor perikanan. Menurut dia, sektor perikanan belum maksimal digarap untuk mengungkit pendapatan negara.

"Perlu ada inisiatif untuk mendorong misalnya hilirisasi nilai tambah PNBP di perikanan," katanya.

Belum lama ini, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono mengatakan mulai tahun ini pihaknya akan menerapkan program penangkapan ikan terukur berbasis kuota, atau yang disebut dengan ekonomi biru.

Kebijakan penangkapan ikan terukur tersebut mendorong peluang investasi pada aktivitas primer dan sekunder serta menyerap tenaga kerja lokal dan memberikan stimulasi pada ekonomi daerah.

Dari program tersebut, KKP menargetkan pendapatan hingga Rp120,6 triliun dari 4,9 juta ton ikan per tahun. Sementara perputaran uang dari program tersebut ditaksir mencapai Rp281,36 triliun per tahun.

Menurut Bhima, sektor perikanan sangat potensial bagi perekonomian Indonesia. Sebagai negara maritim pemerintah perlu menggali potensi pendapatan dari sektor ini.

"Jadi itu (perikanan) potensi yang cukup besar juga," katanya.

Hal kedua yang dianggap potensial untuk mengerek PNBP adalah pengawasan yang ketat di sektor mineral dan batu bara (minerba). Pemerintah perlu mengontrol potensi penerimaan negara dari sektor inti tersebut.

Kemudian, sektor ketiga yang juga tidak kalah potensial adalah telekomunikasi. Dengan pengguna internet lebih dari 200 juta per tahun 2021, Bhima menilai bahwa sektor telekomunikasi sangat menjanjikan di masa depan.

"Mungkin itu bisa didorong apalagi pengguna digital di Indonesia terus bertambah," katanya.