Sri Mulyani di kawasan pabrik PT Samsung Electronics Indonesia, Cikarang, Jumat,27 Januari 2023.jpeg
Makroekonomi

Kinerja APBN Hingga Pertengahan 2023 Dinilai Prima

  • Di sisi lain, belanja negara yang hanya tumbuh tipis 0,9% dibandingkan periode sama di 2022 mendapat sorotan.

Makroekonomi

Rizanatul Fitri

JAKARTA - Di tengah dinamika perlambatan ekonomi dunia saat ini, perekonomian Indonesia masih menunjukkan daya tahan prima. Kinerja APBN hingga pertengahan 2023 tetap solid menjaga pemulihan ekonomi dan melindungi masyarakat, sejalan dengan penguatan ekonomi domestik.

Ketika aktivitas manufaktur global terseok, industri manufaktur Indonesia justru menjadi salah satu dari negara-negara di dunia yang mampu bertahan di zona ekspansif. Capaian tersebut tercermin dari Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia yang terjaga di fase ekspansi selama 22 bulan beruntun, meningkat dari dari level 50,3 pada Mei 2023 menjadi 52,5 pada Juni 2023.

Di sisi lain, belanja negara yang hanya tumbuh tipis 0,9% dibandingkan periode sama di 2022 mendapat sorotan. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan perbaikan sektor manufaktur nasional didorong tingkat permintaan yang masih kuat serta meningkatnya kapasitas produksi dan kebutuhan tenaga kerja.

Sinyal positif lain terlihat dari berlanjutnya tren penurunan inflasi hingga akhir semester I 2023. Inflasi bulan Juni 2023 tercatat 3,5% (yoy), menurun dari bulan Mei yang mencapai 4,0% (yoy). 

Pemerintah berupaya mengendalikan inflasi dengan mengantisipasi berbagai risiko yang dapat menyebabkan gejolak harga guna mencapai sasaran inflasi 3,0±1,0% di akhir 2023. “Upaya pengendalian inflasi secara menyeluruh akan diperkuat dengan koordinasi pusat dan daerah, termasuk mengoptimalkan APBN dan APBD dalam menjaga stabilitas harga,” kata Febrio dikutip dari laman Kemenkeu, Kamis 3 Agustus 2023.

Penguatan ekonomi domestik berjalan seiring dengan semakin solidnya kinerja APBN di paruh pertama 2023. Hingga pertengahan 2023, pendapatan negara mencapai Rp1.407,9 triliun atau 57,2% dari target APBN dan tumbuh 5,4% (yoy) dengan belanja negara terealisasi sebesar Rp1.255,7 triliun atau 41,0% dari pagu APBN atau tumbuh 0,9% (yoy).

Dengan capaian pendapatan serta belanja negara tersebut, kinerja APBN pertengahan 2023 mendapat apresiasi positif Ekonom CORE Indonesia, Akhmad Akbar Susamto. “Realisasi APBN di semester 1 2023 ini cukup bagus ya dan saya kira kita perlu apresiasi itu,” ungkap Akhmad.

Menurutnya, terjaganya perekonomian domestik tetap solid hingga triwulan II 2023 didukung oleh proyeksi lembaga-lembaga keuangan dunia. Karena ekonomi Indonesia masih akan bertahan di kisaran 5% pada tahun ini, maka penerimaan negara hingga akhir tahun pun akan tetap tumbuh positif dan APBN cenderung masih akan mengalami surplus.

Di sisi lain, Akhmad menyoroti belanja negara yang hanya tumbuh tipis 0,9% dibandingkan periode sama di 2022. Akhmad mengakui setelah selama 3 tahun (2020 hingga 2022) APBN bekerja keras melindungi masyarakat dari guncangan pandemi dan tekanan harga komoditas global, APBN kini sudah semakin sehat. 

Konsolidasi Fiskal

Hal itu diraih dengan adanya kebijakan konsolidasi fiskal dengan angka defisit sudah kembali di bawah 3% bahkan sejak 2022. Meski demikian, Akhmad berharap pemerintah bisa tetap mengoptimalkan belanja meskipun tengah melakukan konsolidasi fiskal.

“Upaya untuk melakukan konsolidasi fiskal sudah betul arahnya. Namun jangan sampai kemudian kecenderungan kita untuk melakukan konsolidasi fiskal ini membuat kita menjadi kurang greget dalam membantu menggerakkan perekonomian dengan APBN,” terangnya.

Menurut dia, pemerintah perlu terus mengoptimalkan belanja, khususnya belanja yang memberikan manfaat konkret bagi masyarakat. Optimalisasi belanja diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat yang selanjutnya akan mendorong daya laju ekonomi domestik agar tetap tangguh di tengah ketidakpastian perekonomian dunia.

Akhmad mengapresiasi semangat pemerintah dalam menambah anggaran untuk membantu masyaraka. Namun dia mengingatkan agar pemerintah memperhatikan efektivitas bantuan tersebut.  “Daripada memberi bantuan beras, akan lebih efektif jika diberikan dalam bentuk bantuan tunai,” ujarnya. 

Lebih lanjut, pemberian bantuan pangan beras dinilai memiliki lebih banyak risiko, seperti risiko pengelolaan beras, pengadaan beras, hingga harga beras yang relatif tidak stabil. “Jadi ketika bantuan itu dalam bentuk barang termasuk beras itu sebenarnya risikonya akan lebih besar dibandingkan kalau bantuan diberikan dalam bentuk tunai langsung masuk rekening,” tandas Akhmad.