Masjid Al Wustho, Pura Mangkunegaran, Solo.
Gaya Hidup

Kisah 5 Masjid Bersejarah di Kota Solo, Bangun Peradaban hingga Semai Toleransi

  • Kota Solo memiliki sejumlah masjid dengan nilai sejarah tinggi yang hingga kini masih berdiri. Deretan masjid ini memunyai ciri khas tersendiri yang mewarnai perjalanan Kota Bengawan.

Gaya Hidup

Chrisna Chanis Cara

SOLO—Ajaran Islam sudah lama masuk ke Kota Solo dan berkembang hingga saat ini. Tak hanya memberikan kontribusi bagi peradaban, melainkan juga untuk perekonomian, perkembangan arsitektur hingga akulturasi dan toleransi antarumat beragama. 

Kota Solo memiliki sejumlah masjid dengan nilai sejarah tinggi yang hingga kini masih berdiri. Deretan masjid ini memunyai ciri khas tersendiri yang mewarnai perjalanan Kota Bengawan. Berikut kisah sejumlah masjid bersejarah di Kota Solo, seperti dikutip dari berbagai sumber:

Masjid Laweyan

Masjid Laweyan adalah masjid tertua di Kota Solo. Tempat ibadah yang berada di Jalan Liris, Belukan, Pajang, Laweyan ini dibangun pada masa Kerajaan Pajang tahun 1564. Masjid ini menyimpan sejarah peradaban Kampung Laweyan yang dikenal sebagai kampung batik. 

Masjid Laweyan juga dikenal sebagai Masjid Ki Ageng Henis karena lokasinya sekompleks dengan permakaman Ki Ageng Henis. Ki Ageng Henis adalah tokoh penting dalam membangun peradaban di Kampung Laweyan. Kakek Panembahan Senopati ini adalah tokoh penyebar Islam di Laweyan. Kampung Laweyan dulu dikenal sebagai penganut Hindu. 

Berkat syiar Islam secara damai oleh Ki Ageng Henis, banyak masyarakat Laweyan yang memeluk Islam. Sebelumnya, bangunan Masjid Laweyan merupakan pura yang sudah diwakafkan untuk dibangun masjid. Nuansa akulturasi Hindu-Islam pun kental di masjid yang berada di tepi Sungai Jenes itu, mulai dari arsitektur bangunan dan lain sebagainya.

Masjid Laweyan

Masjid Agung 

Masjid Agung adalah masjid yang berada di kompleks Alun-alun Utara Keraton Kasunanan Solo. Keberadaannya tak lepas dari sejarah pemindahan Keraton Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745 oleh Paku Buwana II. Masjid ini menyimpan fakta istimewa seperti artefak bangunan berupa kayu-kayu masjid dibawa seluruhnya dari bangunan Masjid Agung Kartasura. Diketahui, ibu kota Kartasura porak-poranda kala itu akibat peristiwa Geger Pecinan. 

Masyarakat pada masa itu masih mengacu pada pola Masjid Agung Demak, yang sangat percaya bahwa kayu-kayu tidak boleh dibiarkan atau ditinggal begitu saja di ibu kota Kartasura yang sudah hancur. Saat ini Masjid Agung masih menjadi jujukan untuk beribadah atau berwisata. Pengunjung juga dapat beristirahat di tempat ini apabila lelah sehabis perjalanan. 

Masjid Al Wustho

Berdirinya Masjid Al Wustho tak lepas dari peran Pura Mangkunegaran. Masjid yang berada di Jalan Kartini, Ketelan, Banjarsari, itu dibangun atas prakarsa KGPAA Mangkunegara I (1725-1795). Saat awal berdiri, masjid tersebut bernama Masjid Mangkunegaran yang berlokasi di Kauman. 

Pada masa KGPAA Mangkunegara II (1796-1835), masjid dipindahakan ke dekat Pura Mangkunegaran dengan pengelolaan oleh abdi dalem. Masjid Al Wustho masih mempertahankan keasliannya, mulai dari tembok, mimbar, menara, gapura dan bedug. Gapuranya yang dihiasi kaligrafi menjadi bagian yang ikonik dan menjadi ciri khas Masjid Al Wustho. 

Masjid Al Hikmah 

Masjid Al Hikmah terkenal menjadi simbol kerukunan umat beragama di Solo. Masjid yang terletak di Jaan Gatot Subroto, Kratonan, Serengan itu berlokasi berdampingan dengan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningrat. Kedua bangunan itu hanya dipisahkan tembok pembatas. 

Berdiri sejak tahun 1947, Masjid Al Hikmah selalu memberikan pesan toleransi dengan saling menghormati setiap perayaan agama di GKJ. Bahkan umat kedua tempat ibadah itu saling membantu dalam pengamanan perayaan keagamaan baik Islam mapun Kristen. 

Masjid Al Hikmah dan GKJ Joyodiningrat kerap dikunjungi warga dari berbagai daerah yang ingin mengetahui langsung kerukunan umat beragama yang sudah terbangun lama di Kota Solo.

Masjid Al Hikmah (kanan) berdampingan dengan GKJ Joyodiningrat (Iqra.id)

Masjid Darussalam

Para perantau masyarakat Banjar membidani lahirnya Masjid Darussalam di Jayengan, Serengan, sekitar tahun 1900-an. Pada masanya, masyarakat Banjar dikenal sebagai pedagang emas dan berlian di Kota Bengawan. Hingga kini tradisi pembagian bubur Samin atau bubur Banjar pun masih bertahan selama bulan Ramadan.

Masjid tersebut memiliki arsitektur yang unik berupa perpaduan Jawa dan Sumatera. Saat ini, Masjid Darussalam menjadi bagian wisata religi yang sering dikunjungi warga dari berbagai daerah. Masjid tersebut juga dekat dengan kawasan Kampun Permata Jayengan dan Masjid Al Hikmah.