<p>Majalah Forbes menobatkan pemilik Indorama, Sri Prakash Lohia sebagai orang terkaya ke-5 di Indonesia. / Indorama.com</p>
Industri

Kisah Para Konglomerat (Serial 2): Sri Prakash Lohia, Jualan Benang hingga Berlimpah Uang

  • Sri Prakash Lohia, pemilik Indorama ini muncul di urutan ketiga dari daftar 50 orang terkaya di Indonesia 2021 versi Forbes. Posisi ini naik dua tingkat setelah sebelumnya pada 2019 dan 2020 ia menjadi orang terkaya ke-5 di Indonesia.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Serbuan virus COVID-19 membuat hampir seluruh negara di dunia kalang kabut. Sebab, situasi pandemi ini menyebabkan laju ekonomi secara global terjungkal.

Indonesia sendiri mengalami resesi pada 2020 lantaran ekonomi mengalami kontraksi dua kali berturut-turut. Pertama, angkanya minus 5,32% pada kuartal II dan minus 3,49% pada kuartal III tahun lalu.

Melemahnya perekonomian ini berpengaruh terhadap seluruh sektor industri. Banyak kinerja perusahaan yang anjlok akibat situasi tersebut. Para konglomerat pun tak bisa dimungkiri mengalami penurunan kekayaan. Namun, tak sampai terkuras harta mereka, sejumlah nama tetap bertengger dan dinobatkan menjadi orang terkaya di Indonesia.

Salah satu yang mencuat adalah Sri Prakash Lohia. Nama ini muncul di urutan ketiga dari daftar 50 orang terkaya di Indonesia 2021 versi Forbes, Rabu, 21 April 2021. Posisi ini naik dua tingkat setelah sebelumnya pada 2019 dan 2020 ia menjadi orang terkaya ke-5 di Indonesia.

Adapun di dunia, Lohia saat ini menempati urutan ke-404 dengan kekayaan mencapai US$6,6 miliar setara Rp95,68 triliun. Meski sempat turun menjadi US$4,3 miliar pada 2020 dan US$4,2 miliar pada 2016, setiap tahun kekayaan Lohia cenderung mengalami tren peningkatan.

Pada 2012, kekayaan Lohia tercatat sebesar US$2 miliar, kemudian dua tahun berturut-turut naik menjadi US$3,4 miliar dan US$3,5 miliar pada 2013 dan 2014. Berlanjut pada 2015, kekayaannya bertambah menjadi US$4,7 miliar, hingga paling puncak sebesar US$7,3 miliar pada 2019.

Awal Mula Pindah
Pedagang menunggu pembeli di Pasar Tekstil Cipadu, Tangerang, Banten, Kamis, 17 September 2020. Foto:Ismail Pohan/TrenAsia

Sosok Lohia lahir pada tanggal 11 Agustus 1952 di India, dari pasangan Mohan Lal Lohia dan Kanchan Devi Lohia. Ia memiliki tiga saudara, yakni Ajay Prakash, Anil Prakash, dan Aruna.

Lohia sendiri memutuskan pindah dan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) pada 1970 atau saat usianya menginjak 18 tahun. Meskipun demikian, saat ini pria yang memiliki dua orang putra ini tinggal di London.

Pria yang merupakan alumnus Sarjana Niaga dari Universitas Delhi pada 1971 ini memiliki pengalaman puluhan tahun di bidang industri.

Karier Lohia dimulai ketika pindah ke Indonesia bersama ayahnya. Sepak terjangnya bermula lewat pendirian PT Indorama Synthetics Tbk (INDR), perusahaan yang bergerak di bidang petrokimia dan memproduksi benang pintal.

Tahun produksi perusahaan tersebut diawali pada 1976. Kemudian pada 1991, INDR mulai melakukan diversifikasi produk dan merambah industri serat polyester jenis Polyethylene Terephthalate (PET).

Watak Lohia yang tidak mudah berpuas diri membuatnya berpikir untuk membuka bisnis lain. Alhasil, setahun berikutnya pada 1992, ia mendirikan Indorama Ventures sebagai pengembangan sayap perusahaan. Produk dari Indorama Ventures meliputi bahan baku dari botol plastik Coca Cola, Pepsi serta Aqua botol.

Posisi Lohia dalam menjabat di perusahaan INDR juga bermacam-macam. Ia menjadi direktur perusahaan sejak 1975, yang kemudian diangkat sebagai wakil presiden direktur pada 1990 dan presiden direktur pada 2004. Kariernya pun berlanjut pada 2009 di mana posisinya naik menjadi presiden komisaris.

Bahkan, ia juga menjabat sebagai komisaris utama di berbagai anak perusahaan Grup Indorama yang tersebar di 37 negara. Jumlah karyawan yang dipekerjakan mencapai 19.000 pekerja yang tersebar di beberapa negara, seperti Nigeria, Turki, Thailand serta Amerika Serikat.

Kemudian pada 2006, investasi Lohia dikembangkan di industri petrokimia lewat akuisisi Eleme Petrochemicals Company yang berbasis di Nigeria. Nilai pengambilalihan bisnis ini mencapai US$225 juta sebagai bagian dari ekspansi perusahaan.

Adapun untuk INDR sendiri, perusahaan ini pertama kali melakukan Initial Public Offering (IPO) di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 3 Agustus 1990. Saat itu, jumlah total saham terdaftar sebanyak 32.363.340 lembar saham, dan dana yang terkumpul Rp87,5 miliar.

Investor yang tercatat sebagai pemilik saham INDR meliputi, Indorama Holdings B.V (IHBV) sebagai pemegang saham pengendali sebesar 34,03%, diikuti investor asing 31,71%, PT Irama Investama Indonesia (PTII) 25%, dan publik atau lokal sebesar 4,37%.

Mutakhir, emiten produsen bahan baku industri tekstil ini telah mengakuisisi kepemilikan saham PT Cikondang Kancana Prima (CKP) pada akhir 2020.

Mengutip keterbukaan informasi di PT Bursa Efek Indonesia (BEI), penandatanganan kedua belah pihak dilakukan pada 23 Desember 2020. INDR mengambil alih 80% kepemilikan saham di perusahaan tambang dan pengolahan emas tersebut.

Nominal yang dikeluarkan dalam transaksi ini mencapai Rp300 miliar. Dengan adanya aksi tersebut, CKP pun resmi menjadi anak perusahaan INDR.

Kinerja Indorama
Pabrik Indorama milik konglomerat Sri Prakash Lohia / Indorama.com

Sebagai informasi, sepanjang 2020 emiten bersandi INDR ini mencatat penurunan laba yang dapat diatribusikan ke entitas induk 83,65% year-on-year (yoy) menjadi US$6,23 juta atau setara Rp87,22 miliar (asumsi kurs Rp14.000 per dolar Amerika Serikat). Pada 2019, laba INDR tercatat sebesar US$38,11 juta.

Pendapatan perusahaan pun ikut tergerus 23,27% yoy dari US$767,75 juta pada 2019 menjadi  US$589,04 juta pada periode ini.

Namun, total kas dan setara kas INDR masih bertambah, dari US$19,15 juta pada 2019 menjadi US36,7 juta pada 2020.

Adapun jumlah liabilitas jangka panjang naik menjadi US$128,3 juta dari sebelumnya US$127,3 juta. Begitu pula dengan liabilitas jangka pendek yang sebesar US$259,07 juta, dari sebelumnya US$258,29 juta.

Untuk total ekuitas, pada 2020 nilainya meningkat menjadi US$376,47 juta, dari tahun sebelumnya yang sebesar US$367,91 juta.

Total aset INDR pun ikut bertambah pada periode ini dari US$753,55 juta pada 2019 menjadi US$763,85 juta. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Kisah Para Konglomerat.

Kisah Para Konglomerat (Serial 1): Michael Bambang Hartono, Dari Pabrik Mercon Sampai Jadi Paling Kaya