<p>Konglomerat pemilik CT Corpora Chairul Tanjung dengan keluarga / Instagram @putri_tanjung</p>
Industri

Kisah Para Konglomerat (Serial 4): Chairul Tanjung, Anak Wartawan yang Jadi Jutawan

  • Julukan “Si Anak Singkong” begitu melekat pada sosok konglomerat ternama di Indonesia ini. Si Anak Singkong yang sudah malang-melintang membangun berbagai gurita bisnis itu tidak lain adalah Chairul Tanjung, pemilik perusahaan CT Corp.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Julukan “Si Anak Singkong” begitu melekat pada sosok konglomerat ternama di Indonesia ini. Si Anak Singkong yang sudah malang-melintang membangun berbagai gurita bisnis itu tidak lain adalah Chairul Tanjung, pemilik perusahaan CT Corpora.

Melansir laman Forbes, Rabu 28 April 2021, harta kekayaan Chairul Tanjung mencapai US$4,2 miliar atau setara Rp60,9 triliun (Asumsi kurs Rp14.512 per dolar Amerika Serikat).

Siapa yang menyangka, lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (UI) ini sukses berbisnis hingga menduduki peringkat 589 orang paling kaya se-dunia.

Chairul Tanjung pernah menduduki peringkat ke-9 sebagai orang paling tajir di Indonesia pada 2020. Kekayaan Chairul Tanjung bahkan melebihi Tahir & Family, konglomerat sekaligus founder Mayapada Group.

Jualan Sepatu Anak
Ilustrasi Bank Mega kawasan sudirman, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Jauh sebelum menikmati kesuksesan bisnisnya, Chairul menjalani keseharian sebagai pemuda sederhana. Kondisi finansial Chairul sempat berada dalam titik terendah setelah media cetak ayahnya tutup. Ayahnya, Abdul gafar Tanjung, merupakan wartawan era Orde Baru di salah satu koran beroplah kecil.

Biaya kuliah yang tidak sedikit dan kondisi finansial keluarga membuat Chairul harus mencari pemasukan tambahan. Sejak masa kuliah, Chairul Tanjung diketahui sempat menjadi penjualan buku pelajaran, kaos, dan tukang fotokopi di kampusnya. Selain itu, dirinya juga pernah mendirikan toko peralatan kedokteran dan laboratorium di Senen, Jakarta Pusat.

Kesulitan ekonomi itu justru memacu bakat bisnis Chairul Tanjung. Si Anak Singkong ini mulai terbiasa dan berani mendirikan bisnis dengan skala yang lebih besar. Jauh sebelum CT Corp lahir, Chairul Tanjung rupanya telah dulu mendirikan PT Pariarti Shindutama.

Perusahaan itu didirikan Chairul bersama tiga rekannya. Bermodalkan kredit dari Bank Exim senilai Rp150 juta, Chairul Tanjung bermimpi bisa menjadi eksportir produk sepatu anak-anak terbesar di Indonesia.

Perusahaan yang didirikan pada 1987 itu mulai menunjukkan perkembangan yang memuaskan. Chairul pernah mendapat ‘rejeki nomplok’ usai mendapat pesanan 160.000 pasang sepatu dari Italia.

Kendati demikian, Chairul Tanjung tidak bisa sepenuhnya merasakan berkah dari usaha pertama yang dibangunnya. Pada tahun yang sama, Chairul memutuskan hengkang dari PT Pariarti Shindutama lantaran ada perbedaan pandangan soal ekspansi usaha.

Jejak Awal Gurita Bisnis Chairul Tanjung
Gedung TransTV di kawasan CT Corp milik konglomerat Chairul Tanjung / Transtv.co.id

Keputusannya hengkang dari perusahaan bukanlah akhir dari perjalanan bisnis Chairul. Malah, jejak awal CT Corp dimulai sejak saat itu. Pasalnya, Chairul Tanjung berani memulai bisnisnya sendiri yang dinamakan Para Group.

Sebelum menjadi konglomerasi, Para Group milik Chairul Tanjung fokus terhadap bisnis pembuatan alas kaki berorientasi ekspor dan industri perumahan dalam negeri.

Kepiawaian Chairul Tanjung membangun bisnis membuatnya berani merambah sektor bisnis baru mulai 1995. Dari sini, Chairul Tanjung mulai membangun konglomerasi bisnis Para Group.

Perusahaan konglomerasi milik Chairul mempunyai Para Inti Holdindo sebagai father holding company. Beberapa sub holding dari Para Inti Holdindo antara lain Para Global Investindo (bisnis keuangan), Para Inti Investindo (media dan investasi), dan Para Inti Propertindo (properti).

Tulang Punggung Pertama Para Group
Ilustrasi Bank Mega kawasan sudirman, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Usaha Chairul di bidang keuangan, yakni PT Bank Mega Tbk (MEGA) menjadi tulang punggung utama dari Para Group dalam melancarkan aksi bisnisnya. Bank milik Chairul Tanjung ini kokoh meski diterjang krisis finansial pada 1998.

Bahkan, Bank Mega mampu meminjamkan dana ke bank lain saat ekonomi Indonesia sedang tidak stabil. Salah satunya adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA yang kala itu milik Salim Group dengan total pinjaman mencapai Rp1,3 triliun pada 1998.

Keputusan tersebut berbuah manis. Usai meminjamkan dananya, Chairul Tanjung diberi jalan untuk bekerja sama dengan Salim Group dalam pengelolaan proyek Batam dan Singapura.

Bank Mega menjadi entitas bisnis pertama milik Chairul Tanjung yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 28 Maret 2001. Kiprah Bank Mega tergolong moncer. Bank tersebut mampu melakukan initial public offering (IPO) berselang tiga tahun dari krisis finansial yang melanda perbankan di Indonesia. Kini, Bank Mega telah berkembang dan tercatat memiliki nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp59,9 triliun.

Selain perbankan, beberapa usaha di bidang keuangan lain yang dimiliki Para Group adalah Asuransi Umum Mega, Asuransi Jiwa Mega Life, Para Multi Finance, Mega Capital Indonesia, Bank Mega Syariah, dan Mega Finance.

Di bidang investasi dan properti, gurita bisnis Chairul Tanjung tersebar di berbagai daerah. Usaha tersebut antara lain, Para Bandung Propertindo, Para Bali Propertindo, Batam Indah Investindo, dan Mega Indah Propertindo.

Salah satu buah kesuksesan investasinya adalah menjadikan Bandung Supermall menjadi central business district pada 1999. Pembangunan Bandung Supermall yang telah berubah nama menjadi Trans Studio Mall Bandung itu menelan biaya hingga Rp99 miliar di atas tanah seluas 3 hektare.

Chairul Tanjung kemudian mengubah nama Para Group menjadi CT Corp pada 2008 silam.

Geliat investasi Chairul Tanjung tidak kalah agresif.  Chairul Tanjung tercatat mencaplok hingga 40% saham Carrefour Indonesia pada 2010.

Tidak hanya itu, Si Anak Singkong juga tercatat memiliki saham di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) sebesar 25,80% pada Februari 2020. Investasi Chairul dilancarkan melalui PT Trans Airways di GIAA kemudian menyusut menjadi hanya 9,9% akibat penurunan kinerja perusahaan pelat merah tersebut.

Bisnis Media Si anak Wartawan
Konglomerat Chairul Tanjung dan anak sulungnya Putri Indahsari Tanjung / Instagram @putri_tanjung

Memiliki ayah seorang wartawan membuat Chairul Tanjung menggali soal prospek bisnis media. Lain dari ayahnya yang berkecimpung di dunia media cetak, Chairul Tanjung melihat prospek yang lebih cerah dari perusahaan media penyiaran.

Pada Agustus 1998, Trans TV besutan Chairul Tanjung memperoleh izin perdana siaran di layar kaca Indonesia. Pertumbuhan bisnis yang menjanjikan dari Trans TV membuat perusahaan ini melancarkan aksi akuisisi pada stasiun televisi TV7 milik Kompas Gramedia pada 2006.

Bisnis media yang semakin moncer membuat Chairul Tanjung mendirikan unit bisnis berjejaring bernama TransMedia pada 2018. Sederet bisnis yang dimiliki Transmedia antara lain Trans Tv, Trans7, hingga TransVision.

Salah satu kunci kesuksesan dari TransMedia milik Chairul Tanjung adalah kecermatannya dalam membaca selera pasar. Transmedia berhasil mengeruk cuan banyak dari hak siar kompetisi piala dunia pada 2018 dan menjajaki kerja sama dengan agensi hiburan terbesar di Korea Selatan, SM Entertainment.

Pria kelahiran 16 Juni 1962 ini juga tercatat pernah menduduki posisi strategis sebagai Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian pada 2014 silam. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Chairul Tanjung untuk menggantikan posisi Hatta Rajasa. Kesuksesannya sebagai pengusaha membuat SBY kepincut menjadikan Chairul Tanjung untuk memimpin sektor perekonomian Tanah Air. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Kisah Para Konglomerat.

  1. Kisah Para Konglomerat (Serial 1): Michael Bambang Hartono, Dari Pabrik Mercon Sampai Jadi Paling Kaya

2. Kisah Para Konglomerat (Serial 2): Sri Prakash Lohia, Jualan Benang hingga Berlimpah Uang

3. Kisah Para Konglomerat (Serial 3): Bos Petrokimia Prajogo Pangestu, dari Sopir jadi Tajir