<p>Konglomerat pemilik Grup Emtek, Eddy Kusnadi Sariaatmadja / Forbes Indonesia</p>
Industri

Kisah Para Konglomerat (Serial 5): Eddy Kusnadi, dari Jualan Komputer hingga Jadi Raja Media dan Start Up Unicorn

  • Ketika pandemi banyak merugikan berbagai sektor bisnis di dunia, kekayaan CEO PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) Eddy Kusnadi Suriaatmadja justru meroket 80% menjadi US$1,4 miliar atau sekitar Rp20,26 triliun (dengan kurs Rp14.526 per dolar AS) pada 2020.

Industri
Reza Pahlevi

Reza Pahlevi

Author

JAKARTA – Ketika pandemi banyak memukul berbagai sektor bisnis di dunia, kekayaan konglomerat CEO PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) Eddy Kusnadi Sariaatmadja justru melejit 80% menjadi US$1,4 miliar atau sekitar Rp20,26 triliun (asumsi kurs Rp14.526 per dolar Amerika Serikat) pada 2020.

Hingga Rabu, 28 April 2021, kekayaan Eddy bahkan meroket 121,42% menjadi US$3,1 miliar dari jumlah kekayaannya pada akhir 2020 tersebut. Kekayaannya ini pun membuat dirinya berada di peringkat 1.008 orang terkaya sejagat versi Majalah Forbes.

Di Indonesia, jumlah kekayaan lulusan Teknik Sipil University of New South Wales ini membuatnya melompat dari posisi 20 orang terkaya pada akhir tahun lalu menjadi posisi 7 orang terkaya di Indonesia versi Forbes per 28 April 2021.

Moncernya Grup Emtek di tengah pandemi ini pun turut mengerek posisi co-founder Emtek, Susanto Suwarto, masuk daftar orang terkaya di Indonesia versi Forbes pada akhir 2020 lalu. Susanto pertama kali masuk daftar ini dan menempati posisi ke-50 dengan kekayaan US$475 juta (Rp6,86 triliun).

Kinerja mantap EMTK dapat dilihat dari laporan keuangan tahunan perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan mencatatkan peningkatan pendapatan sebesar 8,25% menjadi Rp11,94 triliun sepanjang 2020 lalu. Pada tahun sebelumnya, pendapatan perusahaan mencapai Rp11,03 triliun.

Pendapatan yang meningkat pun membuat perusahaan meraup laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp2,06 triliun pada tahun lalu. Catatan ini berbanding terbalik dengan 2019 ketika Emtek harus mencatat rugi bersih sebesar Rp1,52 triliun.

Sebagai informasi, Emtek utamanya didukung oleh perusahaan-perusahaan media dalam naungan mereka seperti SCTV, Indosiar, O Channel, Kapanlagi Network hingga Vidio.com, yang sebenarnya terpukul keras akibat pandemi COVID-19.

Meski begitu, diversifikasi bisnis Emtek di berbagai sektor seperti penjualan barang, jasa kesehatan dan rumah sakit, jasa perbaikan dan perawatan, serta jasa lainnya ternyata mampu menyumbang pendapatan bagi perusahaan.

Hal ini dapat dilihat dari pendapatan segmen media yang turun, sementara segmen solusi meningkat pada 2020. Pendapatan segmen media tercatat turun tipis 7,9% menjadi Rp5,14 triliun dari sebelumnya Rp5,58 triliun. Di sisi lain, pendapatan segmen solusi melonjak 27,85% menjadi Rp6,34 triliun dari sebelumnya Rp4,96 triliun.

Berawal dari jualan komputer
Grup Emtek. / Emtek.co.id

Eddy Kusnadi Suriaatmadja memulai gurita bisnisnya lewat PT Elang Mahkota Komputer pada 3 Agustus 1983. Awalnya, perusahaan ini didirkan Eddy sebagai distributor komputer dengan merek dagang Compaq di Indonesia. Nama PT Elang Mahkota Teknologi baru muncul pada 1997 dan resmi menggantikan nama sebelumnya.

Meski sukses mengembangkan perusahaan besar di bidang teknologi, Eddy masih belum puas dan tertarik terjun ke ranah media. Pada 2000, Emtek mulai masuk ke Surya Citra Televisi (SCTV) dan mendirikan PT Cipta Aneka Selaras yang kemudian menjadi induk perusahaan SCTV.

PT Cipta Aneka Selaras pun berubah nama menjadi PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) pada 2002. Keluarga Sariaatmadja selanjutnya mulai memiliki penuh SCMA setelah Henry Pribadi dan Indika Group melepas sahamnya di SCMA pada 2005.

Selain SCTV, Emtek juga memiliki stasiun televisi lokal bernama O Channel yang didirikan pada 2004. Mengutip situs resmi Emtek, stasiun televisi ini berisi tayangan program untuk wanita, gaya hidup dan hiburan, dengan segmen pangsa pemirsa ibu rumah tangga dan kalangan menengah.

Tidak puas dengan dua stasiun televisi, Emtek menambah lagi satu stasiun televisi. Kali ini, stasiun televisi swasta Indosiar menjadi sasaran. Pada 2011, Emtek membeli PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) dari Salim Group.

Pada 2013, SCMA pun digabung dengan IDKM hingga membuat Surya Citra Media (SCM) sebagai pemilik SCTV dan Indosiar. SCM sendiri masih dinaungi oleh Emtek hingga saat ini.

Selanjutnya, SCM bekerja sama dengan Trinity Optima Production untuk mendirikan PT Surya Trioptima Multikreasi. Perusahaan ini merupakan cikal bakal dari layanan streaming video bernama Vidio.com.

Mengutip Forbes, Vidio.com menjadi salah satu alasan bisnis Emtek dapat berkibar di tengah pandemi. Sebagai pemilik hak siar La Liga dan UEFA Champions League, Vidio ternyata dapat menarik hati para pecinta sepak bola di Indonesia.

Selain bergerak di bidang media, lini bisnis Emtek juga dilengkapi dengan jasa kesehatan dan rumah sakit. PT Elang Medika Corpora merupakan anak usaha Emtek untuk bidang kesehatan ini. Tahun lalu, Emtek melebarkan sayapnya di lini bisnis ini dengan membeli saham PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk (SAME), pengelola jaringan rumah sakit Omni Hospital.

Merambah bisnis digital dan start-up
Ilustrasi Dompet digital Dana / Dok. DANA

Pada 2012, Emtek mendirikan PT Kreatif Media Karya (KMK) sebagai anak usaha bidang digital. Mulanya, perusahaan ini ada untuk mengelola media daring buatan Emtek.

Pada 2014, KMK mengelola Liputan6.com sepenuhnya. Hal ini membuat Liputan6.com yang sebelumnya hanya memproduksi 30-50 artikel tiap harinya bertambah menjadi ratusan artikel. Perubahan ini pun membuat Liputan6.com dapat menarik 4,2 juta pengguna serta 18,4 juta klik tiap bulannya.

Selain Liputan6.com, KMK juga mengelola layanan streaming online Vidio.com dan portal berita sosial hiburan Bintang.com. KMK juga mengelola Bola.com, salah satu portal berita olahraga terbesar di Indonesia.

Tidak puas hanya mengelola media buatan sendiri, KMK pun berinvestasi di perusahaan-perusahaan lain. KMK berinvestasi terutama di perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang digital dan masih berstatus perusahaan rintisan alias start-up.

Perjalanan KMK merambah dunia start-up dimulai ketika mereka membentuk perusahaan patungan dengan perusahaan asal Singapura, PropertyGuru. Perusahaan patungan ini pun berinvestasi di Rumah.com, salah satu portal jual beli properti terbesar di Indonesia.

Tak berhenti di situ, KMK mengakuisisi Karir.com pada tahun yang sama. Karir.com merupakan situs rekrutmen dan lowongan kerja buatan Indonesia.

Start Up Unicorn
Situs belanja online alias e-commerce unicorn Bukalapak / Bukalapak.com

E-commerce Bukalapak pun menjadi sasaran KMK selanjutnya. Emtek lewat KMK menyalurkan investasi Seri B di Bukalapak pada November 2014. Meski sempat mencatat rugi di awal investasi, pertaruhan Emtek terhadap situs jual beli terbesar ketiga di Indonesia ini mulai membuahkan hasil tahun lalu.

Enam tahun berselang setelah investasi pertamanya di Bukalapak, Microsoft menyuntik dana segar US$100 juta (Rp1,4 triliun) pada November 2020. Microsoft menyebut perjanjian ini akan membantu Bukalapak membangun infrastruktur cloud yang tangguh untuk mendukung layanan Bukalapak bagi lebih dari 12 juta usaha mikro, kecil dan menengah serta 100 juta pelanggan.

Kini, Bukalapak telah menyandang gelar sebagai unicorn. Capaian itu dilihat dari seberapa besar nilai valuasi saham perusahaan. Setidaknya ada tiga level prestasi yang biasa disematkan, yaitu unicorn, decacorn, dan hectocorn.

Perusahaan startup bergelar unicorn adalah perusahaan yang nilai valuasi sahamnya sudah mencapai US$1 miliar atau setara dengan Rp14,7 triliun (kurs Rp14.700 per dolar Amerika Serikat).

Startup Decacorn mempunyai valuasi 10 kali lipat dari unicorn, yaitu sebesar US$10 miliar atau setara Rp147 triliun. Terakhir, prestasi paling tinggi yang pernah disematkan kepada perusahaan startup adalah hectocorn, dengan valuasi US$100 miliar atau sekitar Rp1,47 kuadriliun.

Emtek pun terus percaya diri dengan manuver investasi ala venture capital-nya ini. Tercatat, Emtek pun memiliki saham di gerbang pembayaran Doku, perencana pernikahan Bridestory, situs dagang fesyen muslim HijUp.com, dan lain-lain.

Emtek juga bekerja sama dengan perusahaan di balik Alibaba, Ant Financial, untuk membuat dompet digital bernama Dana. Pada Desember 2020, Emtek mendivestasikan sahamnya sebesar 6% yang praktis membuat Emtek tidak lagi menjadi perusahaan pengendali aplikasi dompet digital tersebut.

16 April lalu, aplikasi transportasi online asal Singapura, Grab Holding Inc, tercatat membeli saham Emtek sebesar 4,6% dengan nilai sekitar Rp4 triliun. Belum ada kepastian rencana di balik pembelian saham Emtek ini oleh Grab hingga saat ini.

Meski begitu, beredar rumor pembelian saham ini memiliki tujuan agar dompet digital milik Grab, OVO, dapat merger dengan Dana. Pihak Emtek pun membantah rumor ini dan mengatakan pembelian saham oleh Grab tersebut hanya digunakan untuk tambahan modal perusahaan di berbagai lini bisnisnya.

Dalam risetnya 15 April lalu, Trimegah Sekuritas melihat merger Dana dan OVO ini dapat menjadi pesaing terbesar GoPay, aplikasi dompet digital besutan Gojek. Jumlah pengguna OVO dan Dana yang dapat mencapai 145 juta pengguna dapat mengalahkan GoPay yang memiliki sekitar 115 juta pengguna di pasar dompet digital.

Belum ada yang tahu pasti apa langkah selanjutnya Eddy dan Emtek. Yang jelas, apapun langkah yang diambil dapat menentukan lanskap persaingan bisnis digital Indonesia di masa depan. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Kisah Para Konglomerat.

  1. Kisah Para Konglomerat (Serial 1): Michael Bambang Hartono, Dari Pabrik Mercon Sampai Jadi Paling Kaya

2. Kisah Para Konglomerat (Serial 2): Sri Prakash Lohia, Jualan Benang hingga Berlimpah Uang

3. Kisah Para Konglomerat (Serial 3): Bos Petrokimia Prajogo Pangestu, dari Sopir jadi Tajir

4. Kisah Para Konglomerat (Serial 4): Chairul Tanjung, Anak Wartawan yang Jadi Jutawan