rokok
Nasional

KNPK: Isu Larangan Penjualan Rokok Eceran Menghina dan Menjebak Presiden

  • Koordinator Komite Pelestarian Kretek Badruddin menanggapi beredarnya isu Presiden Joko Widodo melarang penjualan rokok eceran. Menurutnya, isu tersebut adalah jebakan dan hinaan kepada Presiden Indonesia.

Nasional

Debrinata Rizky

JAKARTA – Koordinator Komite Pelestarian Kretek Badruddin menanggapi beredarnya isu Presiden Joko Widodo melarang penjualan rokok eceran. Menurutnya, isu tersebut adalah jebakan dan hinaan kepada Presiden Indonesia.

“Kenyataannya, isu ini sengaja didorong sedemikian rupa oleh kelompok antitembakau. Padahal pelarangan penjualan rokok eceran baru sebatas usul Kementerian Kesehatan kepada Presiden, bukan keputusan seperti yang beredar di belakangan ini,” terang Badruddin dalam keterangan resminya, Selasa, 27 Desember 2022.

Menurut Badruddin, kabar yang dipelintir seperti ini dapat mencelakakan Presiden Jokowi dan menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Apalagi, lanjut Badruddin, mendekati tahun politik, semua informasi yang tidak valid dapat menyesatkan banyak orang dan riskan memicu gesekan antar kelompok. Disinyalir, isu tersebut merupakan dorongan dari kelompok-kelompok antitembakau.

“Antirokok sejak dulu memang terbiasa mencatut nama-nama besar untuk memuluskan agenda mereka. Jadi saya kira media juga harus lebih disiplin melakukan verifikasi dan cover both sides, tidak asal comot informasi yang belum diverifikasi,” tutur Badruddin.

Isu tersebut muncul setelah terbitnya Keputusan Presiden 25/2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023. Keppres tersebut memuat usulan kementerian ke presiden, salah satunya untuk membahas revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan di tahun depan. Salah satu usulan pembahasannya ialah poin pelarangan penjualan rokok batangan.

Lebih lanjut, Badruddin menjelaskan, masuknya rencana revisi PP 109/2012 yang diprakarsai oleh Kementerian Kesehatan saat ini sejatinya juga masih menjadi perdebatan dan belum meraih kesepakatan antarkementerian. Ia bilang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, termasuk para pelaku usaha tembakau, telah menolak rencana revisi.

“PP 109/2012 sudah mengatur ketat regulasi pengendalian tembakau. Implementasinya masih memberikan ruang untuk dioptimalkan, sehingga sejatinya tidak perlu ada usulan revisi. Sebab aturan tersebut telah menyeluruh, termasuk mengatur larangan jual beli rokok kepada anak. Ini repotnya kalau kebijakan didorong oleh kepentingan-kepentingan dan titipan-titipan tertentu dibalik usulan revisi tersebut,” sambung Badruddin.

Secara terpisah, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menilai rencana revisi PP 109/2012 akan mengganggu ekosistem pertembakauan nasional dari hulu hingga hilir. Sebabnya, industri telah berada dalam tekanan situasi ekonomi dan tantangan yang bertubi-tubi.

“Yang saat ini tengah didorong sangat tidak adil, saat ini kondisi ekosistem tembakau bahkan belum pulih, tapi sudah mau dihantam berbagai regulasi termasuk kenaikan cukai. Karena regulasi di tembakau ini tidak hanya cukai, ada yang nonfiskal, seperti ada Perda Kawasan Tanpa Rokok dan PP 109/2012. Ini semua mengimpit ekosistem IHT (industri hasil tembakau),” ungkapnya

“Kalau tetap digerus kebijakan yang tidak berpihak, justru akan menjadi kontraproduktif. Apalagi, perekonomian saat ini baru pulih dari pandemi, dan sektor UMKM memiliki peran yang besar dalam menjaga ketahanan ekonomi pascapandemi kini. Kami ingin pemerintah juga realistis melihat kondisi ini, bagaimana UMKM, pedagang asongan sekarang perlu didorong pertumbuhannya,” jelas Budidoyo.

Ekosistem IHT, dijelaskan Budidoyo, memiliki sifat yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Oleh karenanya, regulasi-regulasi yang eksesif terhadap IHT pasti akan berdampak buruk, mulai dari petani tembakau dan cengkih, para pekerja di pabrik hingga para ritel dan pedagang asongan.

Menurut Budidoyo, regulasi pengendalian tembakau sudah menunjukkan capaian yang baik. Selama lima tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat prevalensi merokok telah menurun hingga 3,4%.

BPS mencatat, prevalensi perokok pada usia sama atau lebih dari 15 tahun pada 2022 sebesar 28,26%, menurun 70 bps dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 28,96%. Sementara prevalensi perokok anak, atau usia sama atau di bawah 18 tahun sebesar 3,44%, atau 25 bps dibandingkan tahun 2021 sebesar 3,69%. Angka ini juga terus menurun dibandingkan sejak 2018 dengan prevalensi sebesar 9,65%, kemudian 2019 sebesar 3,87%, dan 2020 sebesar 3,81%.