Ilustrasi kebebasan berpendapat.
Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Penundaan Pengesahan Revisi Kedua UU ITE

  • Hingga saat ini masyarakat belum menerima salinan resmi naskah rancangan revisi UU ITE. Hal ini tak lepas dari proses pembahasan selama ini yang dilakukan tertutup dan tidak membuka ruang partisipasi publik yang bermakna.
Nasional
Chrisna Chanis Cara

Chrisna Chanis Cara

Author

JAKARTA—Elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE mendesak penundaan pengesahan revisi kedua UU ITE yang telah disepakati DPR dan pemerintah untuk dibahas pada sidang paripurna. 

Pasalnya, hingga saat ini masyarakat belum menerima salinan resmi naskah rancangan revisi UU ITE. Hal ini tak lepas dari proses pembahasan selama ini yang dilakukan tertutup dan tidak membuka ruang partisipasi publik yang bermakna.

Berdasarkan catatan koalisi, dari 14 kali rapat kerja yang dilakukan oleh panitia kerja (Panja) Komisi I dan DPR, hanya beberapa rapat saja yang diumumkan secara resmi ke publik. Risalah rapat juga hanya berisi siapa saja yang hadir tanpa menyertakan isi pembahasan. 

Selain itu, draf rancangan revisi UU ITE yang dibahas tidak pernah diumumkan secara resmi. Sehingga, masyarakat sipil kesulitan untuk melakukan proses pengawasan dan pemantauan terhadap pembahasan revisi undang-undang ini.

Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian memaparkan tidak dipungkiri bahwa selama ini partisipasi dari masyarakat terhadap Revisi Kedua UU ITE memang ada. 

Namun apakah masukan yang diberikan tersebut dipertimbangkan atau masuk ke dalam muatan revisi tidak pernah diketahui. “Revisi ini seharusnya momentum untuk menutup ruang kriminalisasi dengan menggunakan perangkat hukum atau judicial harrasment. Pemerintah seharusnya sadar bahwa ini tidak sehat untuk demokrasi." paparnya dalam keterangan pers, dikutip Kamis, 23 November 2023. 

Lebih lanjut, Rozy menilai pendapat dari berbagai fraksi yang disampaikan pada rapat kerja Komisi I DPR dengan pemerintah tidak menyoroti terkait pasal-pasal pidana yang selama ini mengkriminalisasi masyarakat sipil. 

Di sisi lain, forum itu justru melainkan menunjukkan semangat untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. “Praktik seperti ini menambah nilai degradasi atau penurunan angka demokrasi di Indonesia, di mana pembahasan undang-undang yang selama ini menjadi problem bagi demokrasi ternyata dilakukan secara tertutup, rahasia, dan diam-diam," papar Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI).

Tertutupnya pembahasan revisi kedua UU ITE dinilai menyalahi prinsip negara demokrasi yang seharusnya membuka partisipasi bermakna bagi publik. Sebuah prinsip di mana seharusnya masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk dipertimbangkan masukkannya, hak untuk mendapatkan penjelasan, serta hak untuk mengajukan komplain (right to be heard, right to informed, right to be considered, right to be explained, right to be complained). 

Koalisi Serius juga mencatat selama proses revisi kedua UU ITE, pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE terus digunakan untuk membungkam suara-suara rakyat yang kritis. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat sepanjang Januari-Oktober 2023, setidaknya ada 89 kasus kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal bermasalah UU ITE. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat menjelang momentum politik Pemilu 2024.

"Yang diharapkan masyarakat sipil dari revisi kedua ini adalah perbaikan yang substansial terhadap pasal-pasal bermasalah yang selama ini sering disalahgunakan, sehingga revisi yang dilakukan harus total dan memastikan hasilnya dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," papar Nenden Sekar Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet.

Putus Akses Informasi

Selain masih bercokolnya pasal-pasal pidana yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang kritis, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai revisi kedua UU ITE ini memberikan kewenangan besar kepada pemerintah untuk memutus akses terhadap informasi. 

Kewenangan ini muncul melalui penambahan kewenangan pemutusan akses dan memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses yang dianggap melanggar hukum, bermuatan pornografi, perjudian, dan lainnya. 

Pemerintah juga berwenang memoderasi konten yang dianggap berbahaya bagi keselamatan nyawa atau kesehatan individu/masyarakat. Ketentuan-ketentuan ini muncul dalam Pasal 40 ayat 2B, 2C, dan 2D.

Dengan ketentuan ini, negara bisa dengan mudah memutus akses terhadap informasi yang dianggap berbahaya. Ini diperkuat pemberian kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memutus sementara akun media sosial, rekening, uang elektronik, dan aset digital dalam Pasal 43 ayat 5 huruf L.

Pemerintah dinilai tidak belajar dari kasus pemutusan akses internet di Papua pada 2019 yang akhirnya dinyatakan melanggar hukum oleh Mahkamah Agung. Jika disahkan, revisi kedua UU ITE ini justru akan menjadi landasan hukum bagi kesewenang-wenangan negara alih-alih melindungi hak asasi manusia.