<p>Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. / Facebook @BankIndonesiaOfficial</p>
Industri

Kok Suku Bunga Kredit Belum Juga Turun?

  • Bank Indonesia (BI) meminta industri perbankan merespons rendahnya suku bunga acuan BI- 7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) secepatnya dengan cara menurunkan suku bunga kredit.

Industri

Reky Arfal

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) meminta perbankan menurunkan suku bunga kredit lantaran BI- 7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) sudah sangat rendah.

Hal ini diharapkan menjadikan para pelaku usaha berpacu mengambil kredit, ekspansi dan belanja yang ujungnya akan membangkitkan ekonomi nasional.

Sepanjang tahun 2020, BI-7DRR telah turun 25 basis poin (bps) dari 5% menjadi 3,75%. Meski demikian, perbankan dinilai kurang tanggap meresponsnya. Tercatat Desember 2020, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Modal Kerja menjadi 8,88% (turun 88 bps), SBDK Investasi menjadi 9,21% (turun 102 bps), SBDK Konsumsi menjadi 10,97% (turun 65 bps).

Kemudian SBDK Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menjadi 8,36% (turun 73,1 bps), non-KPR menjadi 8,69% (turun 56,3 bps), Ritel menjadi 8,88% (turun 84,2 bps), Korporasi menjadi 8,75% (turun 79,9 bps), dan mikro menjadi 7,33% (turun 49 bps). Namun, penurunan SBDK ini dinilai tidak secepat suku bunga acuan dari BI.

Untuk menindaki itu, BI berencana melakukan penguatan komunikasi, transparansi suku bunga, serta akan menerbitkan aturan terbaru publikasi asesmen suku bunga kredit berdasarkan SBDK dan spread SBDK. Harapannya dapat memperkuat pemahaman dunia usaha, dan mendorong bank menurunkan suku bunga kreditnya masing-masing.

Menanggapi hal ini, Kepala Ekonom BRI, Anton Hendranata mengatakan perbankan butuh waktu untuk menurunkan suku bunga pinjaman. Sebab, ketika suku bunga acuan BI turun, maka yang pertama mesti turun adalah suku bunga deposito, baru kemudian suku bunga pinjaman.

“Pertumbuhan kredit sudah lama turunnya. Hanya saja, memang agak melambat penurunan kreditnya. Ada hal yang ekstraordinary karena pandemi. Pada situasi ini permintaan lemah, daya beli masyarakat pun terbatas,” kata Anton di Jakarta, Minggu 7 Februari 2021.

Penurunan suku bunga kredit diperlukan, tetapi tidak cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan kredit karena dipengaruhi oleh banyak faktor mulai dari konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, suku bunga, kualitas kredit yang tercermin dari kredit bermasalah (NPL), dan penjualan eceran.

“Jika konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat tidak kuat maka penyaluran kredit tidak akan terdorong meskipun perbankan sudah menurunkan suku bunga dan perbankan sudah menurunkan bunga,” ujar Anton.

Fenomena Moneter

Sementara itu Piter Abdullah selaku Ekonom CORE Indonesia menjelaskan, rigiditas atau kekakuan suku bunga kredit merupakan fenomena moneter. Tidak turunnya suku bunga kredit ketika suku bunga acuan sudah turun bukan dikarenakan kurangnya transparansi bank dalam proses penetapan suku bunga kredit atau kurang efisiennya pengelolaan bank.

Menurut Piter, sejak dulu BI seharusnya menganalisis penyebab tidak berjalannya transmisi moneter jalur suku bunga. Rigiditas suku bunga terjadi karena ada yang salah dalam operasi moneternya. Sistem insentif yang diciptakan operasi moneter ini membuat bank punya posisi tawar yang besar terhadap nasabah kredit.

“Di sisi lain nasabah pemilik dana besar punya bargaining power terhadap bank dan mampu menetapkan suku bunga. Jadi untuk menghilangkan rigiditas suku bunga kredit, BI perlu melakukan evaluasi terhadap operasi moneternya,” jelas Piter.

Ketika Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan, respon terbaik dari bank adalah menurunkan suku bunga deposito dan menahan suku bunga kredit. “Artinya fenomena rigiditas suku bunga kredit sudah bisa diprediksi sejak awal. Bank akan memanfaatkan momentum turunnya suku bunga acuan untuk melebarkan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar,” ucap Piter.

Bank berpeluang mendapatkan keuntungan dengan memperlebar NIM. Kebijakan moneter yang cenderung kontraktif menawarkan insentif bagi bank sehingga bank yang memiliki cost of fund yang cukup rendah bisa memilih menempatkan dananya di instrument moneter atau menyalurkannya dalam bentuk kredit.

“Bank memiliki bargaining position yang cukup tinggi terhadap nasabah kredit, termasuk dalam hal menetapkan suku bunga,” tutup Piter.