Pekerja melinting tembakau di gerai Kamarasa yang menjual tembakau dengan berbagai varian di kawasan Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu, 5 Januari 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Nasional

Kolaborasi Pemangku Kepentingan Kunci Atasi Misinformasi Produk Tembakau Alternatif

  • Pemahaman mengenai tingkat profil risiko produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin perlu didorong untuk mencegah persepsi yang salah beredar lebih luas di tengah masyarakat.
Nasional
Feby Dwi Andrian

Feby Dwi Andrian

Author

JAKARTA – Pemahaman mengenai tingkat profil risiko produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin perlu didorong untuk mencegah persepsi yang salah beredar lebih luas di tengah masyarakat. Dukungan dan peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemahaman yang komprehensif di masyarakat tentang produk hasil pengembangan inovasi ini.

Guru Besar Universitas Sahid Jakarta, Profesor Kholil, menjelaskan masyarakat perlu diedukasi secara akurat dan lengkap mengenai kelebihan serta kekurangan produk tembakau alternatif dibandingkan rokok. Tentunya, dalam mengedukasi masyarakat, perlu disesuaikan dengan latar belakang serta profil dari para perokok dewasa. “Hasil penelitian kami pada 2021 menunjukkan bahwa konten narasi yang bersifat umum tidak efektif untuk menurunkan bahaya rokok,” kata Kholil saat dihubungi.

USAHID telah melakukan kajian terhadap 930 responden yang melibatkan sejumlah akademisi, dokter, tenaga kesehatan, perokok, dan pengguna produk tembakau alternatif. Dalam kajian yang dilakukan tahun lalu, mereka merekomendasikan adanya pembedaan konten narasi tentang bahaya merokok pada segmen yang berusia di bawah 25 tahun dan yang di atas 25 tahun. 

Untuk segmen yang berusia di bawah 25 tahun, komunikator yang dapat dimaksimalkan untuk menyampaikan tentang bahaya merokok dan potensi dari produk tembakau alternatif adalah keluarga dan tokoh masyarakat. Adapun pada segmen di atas 25 tahun, komunikator yang ideal adalah para ahli kesehatan, dokter, dan publik figur. 

Menurut Kholil, strategi komunikasi ini perlu dilakukan secara berbeda sesuai dengan latar belakang masyarakat untuk mengurangi misinformasi mengenai produk tembakau alternatif. “Latar belakang pendidikan dan status sosial juga harus diperhatikan karena komunikasi akan efektif jika ada kesepahaman antara komunikator dan komunikan. Kesepahaman akan timbul jika tidak ada penghalang, baik karena status sosial, bahasa, maupun psikologis,” ujarnya. 

Dalam mengimplementasikan strategi komunikasi tersebut, perlu dibangun kolaborasi dengan melibatkan pemangku kepentingan (pentahelix) seperti pemerintah, pelaku usaha, akademisi, media, dan masyarakat. “Akademisi mengapa perlu dilibatkan? Karena akademisi ini diharapkan dapat melakukan pendekatan-pendekatan empiris serta teori-teori yang dihasilkan,” lanjut Kholil. 

Kholil meneruskan, jika sosialisasi dapat dilakukan secara akurat dan lengkap, maka masyarakat akan dapat memahami tentang bahaya merokok dan potensi untuk beralih dari kebiasaan merokok melalui produk tembakau alternatif dengan menyesuaikan aspek ekonomi, kesehatan, umur, dan lain-lain. 

“Misinformasi apapun sangat berbahaya karena publik bisa mengambil kesimpulan atau bahkan tindakan yang kontra produktif merugikan dirinya. Mengedukasi masyarakat secara akurat dan lengkap menjadi sangat penting,” tegasnya. 

Dalam kesempatan berbeda, tim peneliti USAHID, Hifni Alifahmi, menambahkan kampanye edukatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan memang perlu dilakukan agar mendapatkan hasil maksimal dalam menginformasikan bahaya merokok dan potensi dari produk tembakau alternatif. “Selain informatif, kampanye yang dilakukan harus bersifat edukatif dan persuasif. Kalau pakar seperti dokter pasti didengar, tapi publik figur juga memiliki peran penting untuk milenial,” katanya.