Kominfo Didesak Akomodasi Kegiatan Jurnalistik dalam RPP PDP
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan AJI Indonesia mendesak adanya pengecualian pemrosesan data pribadi untuk kegiatan jurnalistik dan kepentingan publik dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (RPP PDP).
Nasional
JAKARTA---Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan AJI Indonesia mendesak adanya pengecualian pemrosesan data pribadi untuk kegiatan jurnalistik dan kepentingan publik dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (RPP PDP).
Dorongan itu menjadi masukan LBH Pers dan AJI untuk menanggapi RPP PDP melalui situs www.pdp.id. Sebelumnya, Kementerian Kominfo membuka masukan dari publik untuk RPP PDP pada 14 September 2023 dan kemudian diperpanjang hingga 25 September 2023. LBH Pers dan AJI memasukkan tanggapan tersebut karena berdasarkan isi RPP PDP yang belum memuat pengecualian pemrosesan data pribadi untuk tujuan jurnalistik.
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan pengecualian untuk tujuan jurnalistik sangat penting demi menghindari praktik pembatasan atau sensor terhadap pemberitaan. “Jangan sampai menutup kejahatan dengan dalih melanggar hak privasi orang-orang tertentu,” ujarnya dalam keterangan pers, dikutip Rabu 27 September 2023.
- Astra Financial Raup Rp463,67 Miliar di GIIAS Surabaya 2023
- Libatkan 20 Investor, Groundbreaking Tahap II IKN Ditarget November
- Tak Mau Kalah, Getty Images Luncurkan AI Image Generator dengan Stok Fotonya Sendiri
Menurut Ade, Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain di mana hukum PDP digunakan sebagai dasar gugatan Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP) terhadap kerja-kerja jurnalistik untuk kepentingan publik. “Pengecualian jurnalistik dalam hukum PDP sebenarnya telah diterapkan di banyak negara,” ujarnya.
General Data Protection Regulation (GDPR) yang berlaku di Uni Eropa misalnya, mengakui bahwa hak atas privasi bukanlah hak absolut dan mengakomodir kepentingan jurnalistik sebagai bentuk untuk menyelaraskan perlindungan terhadap data pribadi dengan hak atas kebebasan berekspresi dan informasi.
Ade mengatakan beberapa penerapan mengenai pengecualian untuk tujuan jurnalistik dengan melihat kesesuaiannya dengan kode etik terkait juga dapat ditemukan misalnya di Belgia, Austria, Prancis, dan Estonia. “Di luar Eropa, praktik serupa juga terjadi di Kanada dan Australia,” imbuhnya.
- AdaKami Tegaskan Nomor DC dalam Kasus yang Viral di Medsos Tidak Tercatat dalam Sistem
- Bos Indomobil Soebronto Laras Meninggal Dunia
- Podomoro Golf View dan UI Jajaki Kerja Sama Pembangunan Apartemen Mahasiswa
Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas mengatakan hak atas privasi dan hak kebebasan berekspresi, di dalamnya termasuk pada aspek jurnalisme, adalah dua hak fundamental yang setara yang harus dilindungi negara. “Namun pelaksanaan kedua hak tersebut dapat saling bertabrakan,” ujarnya.
Ika menyebut kegiatan pers seringkali melibatkan informasi tentang individu yang memiliki kepentingan publik. “Sedangkan pers juga dapat melakukan pelanggaran privasi.”
Menurut Ika, jaminan terhadap pers yang bebas dapat menghasilkan jurnalisme berkualitas demi memenuhi hak publik mendapatkan informasi, mengawasi penyalahgunaan kekuasaan, menyediakan platform untuk pertukaran gagasan secara terbuka. “Oleh karena itu dibutuhkan kerangka hukum yang jelas untuk menyelaraskan dua hak fundamental tersebut.”
Berdasarkan catatan di atas, LBH Pers dan AJI Indonesia mendesak Kominfo:
1. Mendorong agar penyusunan berbagai regulasi turunan UU PDP dapat menyeimbangkan antara hak privasi dengan aspek kebebasan pers;
2. Membuka ruang partisipasi yang lebih bermakna pada seluruh pemangku kepentingan yang bekerja pada isu-isu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers;
3. Mendorong keberadaan lembaga PDP yang kuat dalam pelindungan data pribadi dengan menyertakan pelibatan Dewan Pers dan komunitas pers lainnya saat menyusun regulasi.