Komitmen Transisi Energi Hijau, Jokowi Sebut Indonesia Butuh Biaya Jumbo Rp1.249 triliun
- Indonesia membutuhkan dana sangat besar yakni US$87 miliar setara Rp1.249 triliun untuk pengembangan energi hijau atau energi terbarukan.
Nasional
JAKARTA -- Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejak tahun lalu menyatakan komitmen transisi menuju energi hijau dengan menekankan pembangunan dan pengembangan sumber energi baru dan terbarukan (EBT).
Komitmen tersebut bahkan telah dirumuskan sebagai satu tema penting yang akan dibahas para pemimpin dunia selama Keketuaan Presidensi G20 Indonesia yang berpuncak pada November 2022 di Bali.
Namun, Jokowi mengatakan pembiayaan untuk pengembangan energi terbarukan tidaklah kecil. Indonesia membutuhkan dana sangat besar, yaitu sekitar US$87 miliar setara Rp1.249 triliun (asumsi kurs Rp14.354 per dolar AS) untuk mengembangkan EBT, sektor kehutanan, guna lahan, dan karbon laut.
- Jual 900 Foto Selfie, NFT Ghozali Everyday Laku Hingga Rp14 Miliar
- SpaceX Milik Elon Musk Ingin Bangun Bandara Pesawat Supersonik di Ibu Kota Baru RI
- Pertamina Temukan Sumber Migas Baru di Jambi, Ini Besarannya
"Bagi negara berkembang seperti Indonesia, harus didukung teknologi dan didukung pendanaan agar tidak terlalu membebani masyarakat, terlalu membebani keuangan negara, terlalu membebani industri," katanya dalam World Economic Forum, secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis, 20 Januari 2022.
Kepala Negara menekankan Indonesia akan secara bertahap dan hati-hati melakukan transisi menuju energi hijau dengan melepaskan energi fosil batu bara yang telah puluhan tahun menjadi backbone sumber energi nasional.
Hal itu karena, selain pendanaan yang sangat besar, pengembangan energi hijau membutuhkan akses teknologi tinggi. Ketersediaan sumber daya manusia menjadi penopang untuk menggerakkan teknologi tersebut, sementara Indonesia belum siap.
"Indonesia telah berkomitmen secara bertahap memulai transisi ke energi ramah lingkungan. Tapi, transisi energi memerlukan pembiayaan, memerlukan pendanaan yang sangat besar, dan akses terhadap teknologi hijau," pungkas mantan Walikota Solo.
Jokowi pun meminta kontribusi negara maju untuk pembiayaan dan transfer teknologi. Sumber pendanaan dan alih teknologi akan menjadi game changer, pengembangan skema pendanaan inovatif harus dilakukan Indonesia dan negara berkembang lainnya.
"Yang paling penting memang bagaimana dua hal tadi, sekali lagi, teknologi (dan) pendanaan menjadi kunci," tukasnya.
Di dalam negeri, Jokowi menegaskan bahwa pemerintahannya akan meminta dukungan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) energi untuk mendesain transisi energi yang adil dan terjangkau.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dan PT Pertamina (Persero) akan menjadi leading sector dalam proses menuju energi bersih tahun 2060 mendatang.
Sementara di tingkat internasional, pemerintah telah bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) memulai mekanisme transisi energi (energy transition mechanism) dari batu bara ke energi baru terbarukan. Beberapa investor asing juga telah menyatakan ketertarikan mereka untuk berinvestasi di sektor EBT.
"Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah perlu bekerja sama secara domestik, bekerja sama secara global," kata mantan Gubernur DKI Jakarta.
Kebijakan Transisi Energi Hijau
Jokowi menyebutkan ada sejumlah strategi kebijakan Indonesia dalam rangka mewujudkan ekonomi hijau.
Pertama, melalui pembangunan rendah karbon sebagaimana yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang.
Kedua, kebijakan net-zero emission dengan diterbitkannya peta jalan untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060, termasuk net sink sektor kehutanan pada 2030.
"Yang ketiga, memberikan sejumlah stimulus hijau untuk mendorong peningkatan realisasi ekonomi hijau," kata Jokowi.
Dia menambahkan, dalam upaya konservasi dan restorasi lingkungan, laju deforestasi Indonesia turun signifikan sampai ke 75% pada periode 2019-2020 menjadi 115.000 hektare (ha). Kebakaran hutan juga turun drastis. Titik api, misalnya, tahun 2014 ada 89.000 hotspot, kemudian tahun 2021 hanya 1.300 ha. Luas lahan pada 2014 seluas 1,7 juta hektare, tahun lalu turun menjadi 229 ribu ha.
Restorasi lahan gambut juga berjalan dengan baik dari 2016-2021 seluas 3,7 juta ha. Rehabilitasi mangrove dilakukan juga secara besar-besaran.
Sepanjang 2020-2021, Indonesia telah merehabilitasi 50.000 ha hutan mangrove dan target sampai ke tahun 2024 seluas 600.000 ha.
"Saya kira ini terluas di dunia dengan daya serap karbon empat kali lipat dibanding hutan tropis. Bahkan dengan below-ground mangrove dapat mencapai 10-12 kali lipat," papar Jokowi.
Dia mengatakan Indonesia juga telah menyiapkan skema pembiayaan konservasi dan restorasi dengan mendirikan badan pengelola dana lingkungan hidup yang bertugas mengelola dana lingkungan hidup, yang bersumber dari dalam dan dari luar negeri dengan prinsip berkelanjutan, kredibel, dan akuntabel.
Selain itu, ada juga penerbitan Green Sukuk, sebuah skema pembiayaan inovatif untuk membiayai agenda pembangunan yang ramah lingkungan. Termasuk juga penerbitan government bonds kategori Environmental, Social, dan Governance (ESG) untuk memperluas basis investasi yang harus environmental and socially responsible.
"Pengembangan mekanisme nilai ekonomi karbon sebagai insentif bagi pihak swasta dalam mencapai penurunan emisi juga kita lakukan. Penerapan budget taking untuk anggaran iklim pada APBN dan menerapkan pajak karbon dalam menangani perubahan iklim," imbuh Jokowi.
Jokowi mengungkap Indonesia berpotensi menjadi global market leader dalam skema perdagangan karbon dunia. Bahkan, Indonesia diprediksi mampu mengalahkan potensi perdagangan karbon di Peru, Kenya, dan Brazil sebagai sesama negara yang memiliki luasan hutan tropis terbesar di dunia.
Menurut dia, pembentukan harga karbon di Indonesia juga relatif kompetitif dibandingkan negara pionir perdagangan karbon lainnya di dunia, seperti Brazil, Peru, dan India.
Indonesia telah memiliki beberapa proyek percontohan seperti REDD+ dengan skema Results-based Payment, seperti Green Climate Fund kemudian Forest Carbon Partnership Facility dan juga Biocarbon Fund dengan total nilai komitmen sekitar US$273,18 juta setara Rp3,92 triliun.
"Sumber-sumber pertumbuhan baru, terutama ekonomi hijau, akan terus dikembangkan. Antara lain, pengembangan ekosistem industri kendaraan tenaga listrik dan pembangunan kawasan industri hijau terbesar di Kalimantan Utara. Kolaborasi dengan pihak swasta akan diperkuat," ungkap Jokowi.