Kompetisi Sengit 5 Bank Terbesar RI: BCA Paling Konsisten, BNI Kian Lambat
- Di antara 5 bank paling besar di Indonesia, yakni Bank Mandiri, BRI, BCA, BNI, dan BTN, siapakah peraih gelar jawara pertumbuhan laba bersih paling kencang dalam 5 tahun terakhir?
Korporasi
JAKARTA - Perbankan menjadi sektor yang dianggap seksi di bursa saham dalam negeri. Buktinya, lima dari 10 emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) diisi oleh pelaku industri sektor jasa keuangan perbankan.
Kendati demikian, emiten perbankan pun tidak luput dari disrupsi ekonomi akibat pandemi COVID-19. Sejak diserang pandemi COVID-19, emiten perbankan sempat mengalami volatilitas, baik dari segi bisnis maupun kinerja keuangan.
Pergerakan profitabilitas emiten perbankan pun sempat terganjal pada tahun lalu, tidak terkecuali lima bank dengan aset terbesar di Indonesia. Setahun berselang, emiten-emiten perbankan mulai kembali bangkit dengan mencatatkan pertumbuhan laba bersih.
- Sukses Gaet 1 Juta Investor Muda, Ini Resep Ajaib Sekuritas
- Bongkar 8 Megaproyek Jokowi yang Terancam Mangkrak
- Tak Mau Dikuasai Asing, BUMN Turun Gunung Danai Start Up Lokal
Analis Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo menyebut emiten perbankan menunjukan perbaikan prospek seiring aktivitas usaha yang mulai semakin longgar sejak awal 2021. Kendati begitu, kemampuan digitalisasi serta strategi ekspansi yang tepat akan menentukan prospek emiten perbankan dalam beberapa tahun ke depan.
“Emiten perbankan menunjukan pemulihan, sebagaimana adanya permintaan kredit yang mulai tumbuh kembali. Tantangan utamanya adalah bagaimana mengelola digitalisasi dan ekspansi agar tetap diminati nasabah, karena bagaimana pun digitalisasi dalam perbankan nanti akan menjadi kenormalan baru,” ucap Lucky saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com, Rabu, 3 November 2021.
Sebelum melirik pada prospek ke depan, tidak ada salahnya untuk melihat kembali rekam jejak pertumbuhan laba bersih lima bank jumbo. Siapa yang paling melaju kencang?
1. Bank Mandiri
Emiten pelat merah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) sempat mengalami penurunan signifikan laba bersih hingga 32,1% year on year (yoy) menjadi Rp13,8 triliun. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, emiten bersandi saham BMRI ini memutuskan untuk menggenjot pencadangan.
Hal itu tercermin dari peningkatan biaya provisi dari Rp12 triliun pada 2015 menjadi Rp24,6 triliun pada 2016. Strategi ini tidak terlepas dari Non performing laon (NPL) gross BMRI yang sempat menembus 4% pada 2016.
Strategi penguatan pencadangan itu rupanya membuahkan hasil. Laba bersih bank berlogo pita kuning ini melesat 49,5% yoy menjadi Rp20,6 triliun pada 2017. Secara beriringan, NPL emiten pelat merah ini juga terpantik turun menjadi 3,64% pada periode yang sama.
Selanjutnya, BMRI terus mencatatkan kinerja keuangan yang stabil, sebagaimana tampak dari pertumbuhan laba bersih 21,2% yoy menjadi Rp25,02 triliun pada 2018.
- Apa Masalah Utama Garuda Indonesia hingga Terancam Bangkrut? Bekas Komisaris, Peter F. Gontha Buka Suara
- Garuda Indonesia Terancam Bangkrut, Chairul Tanjung Berpotensi Merugi Rp19,7 Triliun
- Ini 3 Alasan Erick Thohir Pecat 4 Direktur dan 1 Komisaris MIND ID
Laju pertumbuhan Bank Mandiri sempat melambat pada 2019. Emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini mencatatkan pertumbuhan laba bersih 9,9% yoy menjadi Rp27,5 triliun pada periode yang sama.
Dihantam pandemi, Bank Mandiri tak kuasa menahan tekanan bisnis dengan perolehan laba bersih hanya Rp17,1 triliun atau susut 38% yoy. Menginjak sembilan bulan pertama 2021, BMRI kembali mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 37,1% yoy.
Laba bersih Bank Mandiri merangkak naik dari Rp14 triliun pada kuartal III-2020 menjadi Rp19,23 triliun pada kuartal III-2021. Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri Panji Irawan mengatakan segmen wholesale banking yang kembali menggeliat menjadi pelumas utama pertumbuhan laba bersih perseroan.
“Bank Mandiri harus memberikan peningkatan terhadap wholesale banking yang menguasai 64 persen portofolio kami. Akan kami kembangkan melalui digitalisasi pada platform Korpa," ujar Panji dalam konferensi pers pekan lalu.
2. BRI
Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) tercatat tidak pernah mengalami pertumbuhan laba bersih di atas 20% dalam lima tahun terakhir. Memasuki 2016, emiten bersandi saham BBRI ini membukukan laba bersih Rp25,8 triliun atau tumbuh 2,4% yoy.
Dua tahun berikutnya BBRI mencatatkan perbaikan profitabilitas dengan laba bersih yang meningkat dobel digit. Lebih rinci, laba BRI naik 10,7% yoy menjadi Rp29,04 triliun pada 2017 dan 11,6% yoy menjadi Rp32,4 triliun pada 2018.
Laju pertumbuhan laba bersih emiten pelat merah ini pun terus memburuk. Hal ini tercermin dari pertumbuhan laba bersih yang kembali single digit 7% yoy menjadi Rp34,7 triliun pada 2019 dan puncaknya tertekan 46,5% yoy pada 2020.
Di sisi lain, BRI mengalihkan fokus dengan memperkuat pencadangan. Hal ini tampak dari NPL Coverage BRI yang sempat menyentuh 250% pada kuartal I dan meningkat jadi 252% pada September 2021.
Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza menyatakan NPL Coverage sampai akhir tahun ini diproyeksikan tidak akan melebih pada 2020. Keputusan ini disokong oleh adanya perpanjangan restrukturisasi kredit hingga 2023 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Hingga akhir tahun kami proyeksikan pencadangan tidak akan setinggi 2020 dengan asumsi ekonomi yang kian pulih. BRI sendiri mencatatkan pertumbuhan laba bersih semakin membaik dengan tumbuh 34,74 persen yoy senilai Rp19,07 triliun,” ucap Aestika kepada TrenAsia.com, Selasa, 2 November 2021.
3. BCA
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi satu-satunya bank jumbo yang konsisten mencatatkan pertumbuhan laba bersih dobel digit pada 2016-2019. Bank swasta terbesar ini mengantongi laba bersih Rp20,6 triliun atau tumbuh 14,4% yoy pada 2016.
Pertumbuhannya pun cenderung stabil, yakni 13,1% yoy menjadi Rp23,3 triliun pada 2017 dan 10,9% yoy menjadi Rp25,9 triliun pada 2018. Pada 2019, laba bersih BBCA sempat melambat tipis menjadi 10,5% yoy menjadi Rp28,6 triliun.
Bila BRI dan Bank Mandiri harus alami koreksi laba bersih hingga dobel digit akibat pandemi, nasib berbeda dicatatkan BCA. Laba bersih BCA hanya terkontraksi 5,14% yoy menjadi Rp27,13 triliun pada 2020.
Tidak sampai di sana, BCA juga mengimbangi tekanan bisnis tersebut dengan pengendalian kualitas aset yang prima. Di akhir 2020, bank milik konglomerat paling tajir di Indonesia, keluarga Hartono, sempat menekan NPL menjadi 1,8%.
BCA pun mengerek laba bersih 15,8% year on year (yoy) pada kuartal III-2021. Laba bersih emiten bersandi saham BBCA ini naik dari Rp20,03 triliun pada kuartal III-2020 menjadi Rp23,19 triliun pada kuartal III-2021. Adapun NPL BCA pada kuartal III-2021 menyentuh 2,4%.
4. BNI
Emiten pelat merah lainnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) justru mengalami tren perlambatan pertumbuhan laba bersih dalam lima tahun terakhir. Pada 2016, laba bersih BBNI sempat melaju kencang 25,1% yoy menjadi Rp11,34 triliun.
Setahun berselang, laba bersih BBNI tumbuh 20,1% yoy menjadi Rp13,62 triliun pada 2017. Pertumbuhan tersebut semakin melambat jadi 10,3% yoy dengan nilai Rp15,02 triliun pada 2018 dan hanya 2,5% yoy menjadi Rp15,38 triliun pada 2019.
BNI pun tidak kuasa menahan gangguan pandemi COVID-19 dengan mencatatkan kontraksi laba bersih 78,54% yoy menjadi Rp3,3 triliun pada 2020. Untungnya, BBNI memperkuat NPL Coverage ratio menjadi 182,4% dari sebelumnya 133,5% pada 2019 sebagai antisipatif menghadapi ketidakpastian ekonomi.
5. BTN
Bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) paling bontot, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) diketahui memiliki volatilitas tinggi dari segi profitabilitas dalam lima tahun terakhir. BBTN sempat membukukan pertumbuhan laba bersih 41,49% yoy menjadi Rp2,61 triliun pada 20167.
Pertumbuhan itu berlanjut sebesar 15% yoy menjadi Rp3,02 triliun pada 2017. Setahun berselang, laba bersih BBTN merosot 7,28% yoy menjadi Rp2,8 triliun. Kinerja keuangan BBTN mencapai titik terendah pada 2019, sebagaimana tampak dari kontraksi laba bersih hingga 92% yoy.
Laba bersih BBTN parkir di level Rp219 miliar pada 2019. Padahal BBTN meraih pertumbuhan pendapatan bunga dari Rp22,81 triliun pada 2018 menjadi Rp25,6 triliun pada 2019.
- GTN Berkolaborasi dengan Samsung untuk Menghadirkan Samsung Experience Store dan Samsung Excellent Partner di Seluruh Indonesia
- Untuk Capai Emisi Nol Persen, Jokowi Butuh Dukungan Rp1.400 Triliun dari Negara Kaya
- Pandemi Bikin Demam Sepeda, Penjualan Element Bike Nyaris Rp1 Triliun
Direktur Keuangan BTN kala itu, Nixon Napitupulu menjelaskan perseroan juga alami kesulitan likuiditas. Kondisi likuiditas BTN semakin terbatas usai adanya implementasi PSAK pada 2019.
Pada 2019, BTN mengalokasikan pencadangan sebesar Rp6,1 triliun karena implementasi PSAK 71. CKPN ini meningkat dari 2018 yang hanya sebesar Rp3,3 triliun. Alokasi CKPN ini membawa Capital Adequacy Ratio (CAR) menjadi 18,26% di 2019.
hal ini juga ditempuh sebagai imbas dari NPL BTN yang sempat menembus 4,78% pada 2019. “Likuiditas ketat di 2019 mengakibatkan perhimpunan DPK semakin kompetitif yang berdampak pada pricing DPK dan meningkatkan sumber pendanaan bank dari non-DPK. Beban bunga naik," ujar Nixon dalam konferensi pers tahun lalu.
Bank yang fokus pada pembiayaan perumahan ini pun memperbaiki catatan laba bersihnya pada 2020. Emiten bersandi BBTN ini mencatatkan pertumbuhan laba bersih hingga 664,59% yoy pada 2020.
Pada kuartal III-2021, perbaikan kinerja keuangan pun terus terjadi di BTN. Laba bersih BTN melesat 35% yoy menjadi Rp1,5 triliun pada sembilan bulan pertama tahun ini.