Komunitas Perokok Bijak Nilai Larangan Penjualan Rokok Batangan Tak Masuk Akal
- Rencana pemerintah melarang penjualan rokok batangan menuai pro dan kontra dari sejumlah elemen masyarakat, tak terkecuali konsumen.
Nasional
JAKARTA – Rencana pemerintah melarang penjualan rokok batangan menuai pro dan kontra dari sejumlah elemen masyarakat, tak terkecuali konsumen. Komunitas Perokok Bijak menilai aturan ini tidak masuk akal karena sulit diimplementasikan.
“Kalau tidak boleh jual ketengan, sanksinya apa? Yang melanggar mau dipenjara? Silakan saja turunkan polisi dan TNI untuk mengawasi begitu banyak pedagang asongan dan sopir angkot yang membeli rokok ketengan. Artinya kalau bikin aturan yang masuk akal dan bisa diaplikasikan,” ujar Ketua Komunitas Perokok Bijak Suryokoco Suryoputro.
Suryokoco menilai bahwa konsumen akan selalu mencari cara agar dapat mengakses rokok. Alih-alih mengurangi konsumsi, larangan penjualan rokok batangan justru akan meningkatkan konsumsi rokok karena harus membeli dalam jumlah banyak sekaligus. Padahal, lanjut Suryokoco, banyak konsumen yang sengaja membeli batangan untuk meminimalisir konsumsi rokok.
- Inilah 5 Makanan Viral Selama Tahun 2022 di Indonesia
- Menarik! Astra Otoparts Jual Franchise SPKLU Mulai dari Rp20 Juta-an
- Kaleidoskop Transportasi 2022: Geliat Tol Laut, Titik Balik Garuda Indonesia hingga Bongkar Pasang Tarif Ojol
“Kalau perokok itu beli satu bungkus jadi lebih boros. Tapi kalau ketengan, beli ketika mau saja, jadi konsumsinya tidak bebas. Ketika keliatan barangnya ada dan masih banyak, konsumsinya juga jadi banyak,” jelasnya.
Apabila aturan ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi perokok anak, Suryokoco menilai aspek edukasi yang justru harus diperkuat. Pemerintah, lanjutnya, dapat mengoptimalkan peran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menjalankan fungsi edukasi kepada anak sekolah.
“Kalau bicara perokok anak, kan gampang, pemerintah tinggal duduk bareng bersama Pak Nadiem Makarim. Anak sekolah yang ketahuan merokok, sekali-dua kali ditegur, tiga kali dikeluarkan dan semua sekolah tidak boleh menerima lagi. Selesai, tidak akan ada anak merokok,” papar Suryo.
Ia juga meminta pemerintah untuk menghargai dan memenuhi hak-hak konsumen, apalagi rokok adalah produk legal. Pasalnya, rokok menjadi hiburan bagi sebagian besar masyarakat kalangan menengah hingga bawah.
“Mungkin Presiden Jokowi dan para menteri bisa jalan-jalan keluar negeri. Kalau tukang ojek, kuli angkut, dan kita-kita yang keterbatasan ekonomi, piknik belum tentu bisa. Salah satu mencari kenikmatan itu dengan merokok. Mereka kan tinggal nyuruh pijat atau minta sediakan pesawat dan jalan-jalan keluar negeri,” tegasnya.
Suryokoco mengatakan, selama ini konsumen telah terbebani dengan adanya sejumlah aturan yang memberatkan, seperti kenaikan cukai tinggi ditambah peraturan eksesif lainnya. Padahal, menurut Suryokoco, kenaikan cukai yang tinggi tidak efektif membuat konsumen berhenti merokok. Hal ini justru membuat konsumen beralih mencari rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah.
Suryo juga menjelaskan bahwa Komunitas Perokok Bijak telah menaati aturan yang ada, yaitu rokok hanya diperbolehkan bagi orang dewasa atau berusia 18 tahun ke atas. Pihaknya juga selalu mengimbau agar konsumen membeli rokok yang legal dengan pita cukai dan tidak merokok di dekat anak-anak.
“Di sosmed kita suka mengingatkan yang dewasa untuk tidak merokok di dekat anak. Apabila ada anak, kita pindah ke tempat lain. Kita juga tidak menyuruh anak beli rokok. Kita paham yang boleh beli rokok itu yang sudah berumur. Kita juga tahu adabnya orang merokok harus di tempat yang sudah ditentukan,” pungkasnya.