logo
Bank Indonesia
Makroekonomi

Kondisi Likuiditas Ketat, BI Diharapkan Segera Longgarkan Kebijakan Moneter

  • Jika BI tetap mempertahankan suku bunga tinggi, ada potensi tekanan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Namun, stabilitas rupiah bisa lebih terjaga. Sebaliknya, jika BI menurunkan suku bunga lebih cepat, pasar mungkin akan merespons positif, tetapi dengan risiko tekanan lebih lanjut terhadap nilai tukar rupiah.

Makroekonomi

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Sektor perbankan Indonesia tengah menghadapi tantangan likuiditas yang ketat akibat kebijakan moneter ketat dari Bank Indonesia (BI). Beberapa bank besar mencatat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang stagnan, sementara permintaan kredit terus meningkat.

Head of Research & Chief Economist Rully Arya Wisnubroto mengungkapkan bahwa kondisi likuiditas di sektor perbankan saat ini cukup ketat. 

“BRI, misalnya, mencatat pertumbuhan DPK year-on-year yang hampir nol persen. Ini menunjukkan betapa ketatnya kondisi likuiditas,” ujarnya dalam acara Media Day by Mirae Asset Sekuritas di Jakarta, Kamis, 13 Februari 2025. 

Hal serupa juga terjadi pada Bank Mandiri yang mengalami pertumbuhan kredit sebesar 20%, tetapi pertumbuhan DPK hanya sekitar 6-7%. Akibatnya, Loan to Deposit Ratio (LDR) meningkat secara signifikan.

Menurut Rully, ketatnya likuiditas ini dipicu oleh kebijakan moneter Bank Indonesia yang berupaya menstabilkan nilai tukar rupiah melalui penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Di sisi lain, pemerintah juga tetap menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN), yang semakin menyerap likuiditas dari pasar keuangan.

Dampak Global dan Kebijakan The Fed

Selain faktor domestik, kondisi ekonomi global juga menjadi perhatian. Rully menekankan bahwa pasar sangat bergantung pada data ekonomi Amerika Serikat dan kebijakan suku bunga The Fed.

“Setiap bulan, data seperti tingkat pengangguran, non-farm payroll, inflasi, dan unemployment rate yang dirilis oleh AS akan mempengaruhi ekspektasi pasar. Jika datanya buruk, maka spekulasi terkait penurunan suku bunga The Fed akan semakin kuat,” kata Rully.

Ia menambahkan bahwa kebijakan ekonomi AS di bawah kepemimpinan Donald Trump, seperti penerapan tarif impor dan kebijakan deportasi, berpotensi meningkatkan inflasi. Jika inflasi naik, konsumsi masyarakat bisa tertekan dan memperlambat pertumbuhan ekonomi AS, yang pada akhirnya bisa berdampak pada pasar global, termasuk Indonesia.

Prospek Kebijakan BI dan Dampaknya ke IHSG

Rully menyoroti kemungkinan kebijakan Bank Indonesia dalam beberapa bulan ke depan. “Jika BI berani menurunkan suku bunga meskipun tekanan terhadap rupiah masih tinggi, hal ini bisa memberikan sentimen positif bagi pasar,” ujarnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa jika data ekonomi AS tetap kuat hingga akhir 2025, The Fed bisa lebih agresif dalam menahan suku bunga tinggi. Hal ini berpotensi menunda langkah BI untuk menurunkan suku bunga secara signifikan.

Terkait kebijakan fiskal, pemerintah telah mengambil langkah untuk menurunkan inflasi, seperti memberikan diskon tarif listrik selama dua bulan. 

“Pemerintah sudah melakukan bagiannya, dan kemungkinan besar mereka juga ingin BI segera menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelas Rully.

Dampak bagi Pasar Keuangan Indonesia

Jika BI tetap mempertahankan suku bunga tinggi, ada potensi tekanan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Namun, stabilitas rupiah bisa lebih terjaga. Sebaliknya, jika BI menurunkan suku bunga lebih cepat, pasar mungkin akan merespons positif, tetapi dengan risiko tekanan lebih lanjut terhadap nilai tukar rupiah.

Dengan berbagai ketidakpastian global dan domestik, keputusan BI dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi faktor kunci dalam menentukan arah perekonomian Indonesia.